Guru Bawa, Agama, dan Masyarakat Amerika
Mengunjungi Masjid Bawa kemarin, membuat Cak Nun teringat kembali pengalamannya tinggal di Amerika dan kondisi Amerika di masa lalu. 50-an tahun silam, ada generasi Hippies. Anak-anak muda dan orang-orang tua mbambung. Krisis spiritual. Nggelandang. Menolak kemapanan kebudayaan modern. Berpakaian kere atau dengan aksesori aneh-aneh sesuai dengan pemberontakan jiwa mereka. Secara keseluruhan sebenarnya itu adalah gambaran kekeringan jiwa seluruh masyarakat Amerika dan peradaban modern.
Seorang Salik Yahudi hippie mengembara, menemukan Guru Bawa di Srilanka, dan merasa inilah yang mereka cari. Maka Beliau diangkut ke Amerika dijadikan Guru Manusia dan Masyarakat di Amerika. Paralel dengan itu bermunculan juga Guru-guru lainnya dari berbagai wilayah spiritual dan pencarian jatidiri. Lahirlah ‘agama’ atau ‘sekte’ seperti Baghawan, Harekreshna, hingga Sung Myung Mun, bahkan sekte-sekte ekstrem seperti Children of God.
“Ketika saya setahun tinggal di Amerika tahun 1981, saya masuki hampir semua komunitas semacam itu. Dialog spiritual sambil dapat jatah makan gratis, jaket mantel baju kaos buku-buku gratis, seperti yang dipakai oleh almarhum Pakde Nuri (sahabat Cak Nun dan KiaiKanjeng) dan Gadjah Abiyoso, adalah jaket dari Sung Myung Mun, sekte Kristen”, kenang Cak Nun.
Lebih jauh Cak Nun menjelaskan, “Guru Bawa mengajarkan tasawuf, menerima siapa saja tanpa batasan ras dan Agama. Sepeninggal beliau ratusan atau ribuan murid-murid beliau ada yang menjalankan kelengkapan Syariat Tbariqat (Qodiriyah) Haqiqat Makrifat dan memakmurkan Masjid Bawa yang indah di Philadelphia. Tapi banyak di antara mereka yang hanya mau mengambil Haqiqatnya tapi menolak Syariatnya”.
Bagi Cak Nun, gelombang Guru Bawa dan perspektif terapan nilainya mirip Maiyah, meskipun terbatas pada individualitas manusia. Maiyah lebih kompleks tapi bisa belajar sangat banyak kepada sejarah perjuangan Guru Bawa.