Berburu Akik di Helen City Untuk KiaiKanjeng
Setelah semalaman sampai subuh begadang dengan teman-teman di rumah Mas Teguh, esoknya agenda Cak Nun dan Bu Via adalah menyusuri sudut-sudut kota Atlanta. Sama seperti saat di Philadelphia maupun New York. Ini sembari menunggu malamnya acara di Village Club House.
Berbeda dengan di Indonesia yang belum disapa air hujan, saat ini kota Atlanta sedang diguyur hujan. Tempat yang pertama dikunjungi di sini adalah kantor saluran televisi kabel CNN (Cable News Network). Di sini sepertinya berlaku rumus yang orang bilang, “Ke CNN dulu, baru sah ke Atlanta”.
Dari CNN yang tepat di tengah kota bergeser sedikit ke alun-alun Atlanta yang terkenal dengan nama Centennial Park. Di sekitar atau di seputaran alun-alun inilah terdapat semua landmark Atlanta. Ada kantor CNN itu sendiri, Coca Cola Museum, Georgia Aquarium, Philips Arena sampai Atlanta Skyview Ferriswheel.
Setelah cukup merasakan suasana alun-alun dan sekitarnya, Cak Nun dan Ibu Via diajak bergerak menuju sebuah kota bernama Helen City yang terkenal dengan julukan “The Little Bavaria in USA”. Kota ini berada pada posisi kurang lebih 60 mil ke arah utara Atlanta. Kondisi alamnya, Helen City berada di lereng Blueridge Mountain, diwarnai banyaknya bangunan-bangunan tua, hampir serupa dengan Amish Country di Philadelphia. Yang membedakan hanya suasananya. Amish Country bersuasana pedesaan, sedangkan Helen City adalah pegunungan. Wajar apabila Ibu Via mengatakan, “Kotanya kayak negeri dongeng.”
Di Helen City inilah terdapat pusat batu-batu akik yang sangat banyak dan melimpah. Macam-macam jenisnya dan rupa-rupa warna atau motifnya. Ada yg sudah jadi butir-butir akik, ada pula yg masih dalam bentuk bongkahan, kecil maupun besar. Kalau sudah seperti ini, yang diingat Cak Nun dan Ibu Via bukan siapa-siapa lagi kecuali KiaiKanjeng. Maklumlah, para personel KiaiKanjeng termasuk sangat suka sama batu. Tapi harap diingat, itu bukan sejak atau karena setahunan ini orang pada demam batu.
Jauh sebelum itu, beberapa orang di KiaiKanjeng sudah hobi mengoleksinya. Seperti pernah diceritakan Cak Nun, saat 2003, ketika mereka berjuang mendaki ke puncak gunung Turisina atau Jabal Musa di Mesir di sela-sela tur Maiyah Cinta di enam kota di Mesir, Pak Bobiet ternyata termasuk nomor wahid yang menjejakkan kaki di puncak Jabal Musa itu. Usut punya usut, motivasi mendapatkan batu itulah yang menyebabkan Pak Bobiet seperti tak kenal lelah menapak gunung yang amat berat medannya itu. Di Jabal Musa ini, khususnya di bagian puncaknya, batu-batunya juga terkenal bagus-bagus dan indah-indah.
Cak Nun sendiri punya pengalaman unik menyangkut batu akik. Setiap kali beracara di desa atau di kabupaten-kabupaten, entah di lapangan, alun-alun, atau di pelosok desa atau perkampungan, sangat sering Cak Nun tiba-tiba diberi hadiah cincin akik saat bersalaman dengan para jamaah usai acara Maiyahan. Begitulah barangkali salah satu cara mereka mengungkapkan rasa cintanya kepada Cak Nun. Salah satu akik ungkapan cinta dari masyarakat itu berbentuk agak besar dan bermotif huruf Arab Nun. Kata si pemberi , “Ini kagungan Cak Nun (Ini milik Cak Nun).”
Itulah sebabnya, mengingat KiaiKanjeng itu, dari Helen City Cak Nun segera berkirim foto-foto lautan batu itu ke grup KiaiKanjeng, dengan pesan menggoda dan memanas-manasi, “Ngene Iki Piye Jal, Konco-konco? Penake dipiyekke”.