Urusannya Selamat atau Tidak di Hadapan Allah
Sesudah siangnya pertemuan Bu Via dan Dik Haya dengan teman-teman putri Indonesia di Korea Selatan, giliran malamnya (4/10/17) Mbah Nun dan Letto berjumpa dalam ramah tamah dengan teman-teman putra. Acara digelar di Masjid Al-Ikhlas Uijeongbu. Sama seperti yang putri, teman-teman putra yang hadir ini banyak justru yang tidak bekerja di Uijeongbu. Beberapa dari Busan dan kota lain yang jaraknya sekitar 4-7 jam. Sengaja mereka memanfaatkan libur nasional di Korea Selatan ini untuk datang dan bertemu Mbah Nun.
Di Uijeongbu sendiri ada kurang lebih 400-500-an TKI yang tinggal. Mereka berasal dari berbagai komunitas dan paguyuban. Mereka mengundang Mbah Nun dan Letto atas prakarsa semua komunitas yang ada di wilayah Uijeongbu ini. Mengapa Mbah Nun? Bagi mereka, pitutur atau wejangan Mbah Nun mampu mencakup dan menyentuh banyak aspek kehidupan mereka, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun ketika mereka sebagai TKI menghadapi masalah-masalah.
Di mata Mbah Nun, teman-teman yang bekerja di luar negeri ini, jauh meninggalkan keluarga dan tanah air, adalah patriot, hebat, meski berat, dan nanti ketika mereka kembali ke Indonesia, harapannya mereka tambah “ampuh”. Itu sebabnya, teman-teman di Korea ini disemangati dan diyakinkan. Kalau hidup, jangan cengeng. Kalau cengeng, jangan hidup. Hidup memang berat, kebanting, keseleo, dan lain-lain. Inna ma’al ‘usri yusro.
Karena cinta kepada teman-teman ini, maka Mbah Nun pun mewanti-wanti, “Apa yang Anda yakini, teruskan. Set up masa depanmu dari sini, sejak sekarang. Nabung. Meskipun kuncinya adalah wa ila robbika farghob… bukan berharap dari tabungan. Hanya ridlo Allah. Apapun saja kalau bisa Allah ridlo.”
Teman-teman pekerja di Korea ini, sebagaimana terasakan dari laporan Kak Patub kepada kami, bukan orang yang cukup bekerja mencari nafkah saja. Mereka orang-orang yang punya rasa. Merasakan keadaan bangsa Indonesia dan keadaan hubungan di antara umat Islam. Kegelisahan akan situasi itu pun ada mencuat di hati mereka. Di situlah lalu Mbah Nun merespons dengan mengingatkan jika memang mau belajar tentang semua yang mereka rasakan, kita harus sabar, pelan-pelan, dan lebar dada.
Dalam kerangka belajar itu, kemudian mereka banyak bertanya kepada Mbah Nun, mulai dari soal kecenderungan aliran-aliran frontal dalam umat Islam, khilafiyah, ikhtilafiyah, dan macam-macam lagi. Mbah Nun sendiri menggambarkan, banyak hal yang mengganggu itu memang gambaran bahwa kita sedang banyak disuguhi “gendruwo-gendruwo”.
Ada beberapa yang bisa dipetik sebagai butir-butir pesan beliau untuk menghadapi semua keadaan itu: Jangan gampang anti-anti, sinauo. Belajarlah. Jika ada perbedaan harus disikapi dengan bijak. Belajarlah untuk tidak berpihak kepada golongan atau kelompok tetapi berpihaklah ke Islam.
Kondisi psikososial masyarakat dilukiskan Mbah Nun sebagai tengah mengalami paranoid massal. Semua merasa terancam satu sama lain. Anti satu sama lain. Maka hendaknya jangan mudah tertipu oleh istilah-istilah yang menggolong-golongkan orang. Jangan terjebak pada label-label.
Sejalan dengan itu, prinsip kualitatif yang harus dipegang erat adalah bahwa seorang mukmin adalah orang yang mengamankan. Bekalnya iman. Doanya amin. Mereka harus mengamankan nyawa, martabat, dan harta benda orang lain. “Jadi, ayo kita aman satu sama lain. Lalu perjelas hidupmu, perjelas skalanya…”
Dari penjelasan Mbah Nun, teman-teman belajar bahwa ada dimensi di mana istilah, term, konsep dari Islam yang bukan saja disalahpahami, tetapi sengaja dikuasai maknanya, dibelokkan kandungannya untuk kepentingan kelompok sendiri, dan karenanya tanpa ada rasa butuh sedikitpun untuk mencari kebenaran hakikinya.
Lebih menyelam lagi, Mbah Nun mengingatkan di atas semua silang sengkarut itu hendaknya kita ingat bahwa pada akhirnya urusan seorang muslim adalah bagaimana dia selamat di hadapan Allah, yaitu dengan cara tidak menyakiti Allah dan makhluk-Nya. Tidak merusak alam. Tidak merusak ekosistem hidup.
Diskusi ramah-tamah itu juga dilengkapi dengan beberapa pandangan Mas Sabrang. Dari Mas Sabrang, teman-teman belajar untuk memahami beda antara ilmu dan kebijaksanaan. Hidup bersama orang lain tak cukup dengan ilmu, tetapi perlu sikap bijak atau kebijaksanaan. Ini sekaligus merupakan kesadaran atau jalan untuk memfilter kemungkinan atau kecenderungan laku kita yang justru bisa menjauh dari esensi ajaran agama.
Mas Sabrang juga menggambarkan perubahan yang dialami manusia era saat ini, dan perlu dipahami teman-teman pekerja di Korea ini, yaitu mengenai komoditi dan komunikasi. Revolusi industri mengubah komoditi, mikrofon mengubah peradaban komunikasi, dan medsos juga mengubah pola dan mutu komunikasi manusia. Perubahan-perubahan ini perlu disadari agar sikap kita juga lebih presisi dan hati-hati.
Masih ada tema-teman lain yang lebih kasuistik yang ditanyakan kepada Mbah Nun dan Mas Sabrang. Tetapi satu hal lagi yang sangat ditekankan berulang-ulang oleh Mbah Nun: berbuat baiklah, berbuat baiklah, berbuat baiklah kepada orang lain. Jangkauan kebaikan itu sendiri akan di luar yang kita kira.
Penghujung ramah-tamah ini, teman-teman panitia menghidangkan makan malam dengan menu soto yang mereka masak dan persiapkan sendiri untuk Mbah Nun dan Letto. Alhamdulillah, silaturahmi yang indah dalam kedekatan hati dan kesungguhan untuk belajar. Barokah buat teman-teman di Uijeongbu.