Kami Datang ke Sini Karena Bangga Kepada Anda
Setelah menempuh perjalanan air selama 1 jam, rombongan Cak Nun KiaiKanjeng akhirnya tiba di Macau pukul 10.47 waktu setempat. Panitia menyambut kedatangan mereka, dan segera mengajak naik bis. Sebelum menuju base camp, rombongan diajak mampir di sebuah gereja tua yang tinggal bagian depannya saja. Tampaknya ini merupakan salah satu spot penting dalam sejarah masyarakat Macau. Gereja ini dulunya dibom oleh Portugis, dan hanya tersisa bagian depan. Sisa itu tidak dihancurkan sekalian dan dibiarkan apa adanya sebagai semacam pengingat dan saksi sejarah, serta seakan hendak mengatakan kepada orang-orang Portugis, “Ini dulu para pendahulumu pernah ngebom gereja ini.” Gereja itu bernama Tai Sam Pa. Di depan gereja ini, rombongan Cak Nun KiaiKanjeng menyempatkan diri berfoto.
Perjalanan naik bis ini dapat dikatakan sebagai keliling kota, meskipun tidak cukup lama dan leluasa waktunya. Dari perjalanan singkat ini, rombongan KiaiKanjeng merasakan dan melihat situasi kota dan masyarakat Macau. Secara umum, konsep gedung dan tempat tinggal warga di sini tak jauh beda dengan di Hong Kong. Bedanya, di Macau tidak sepadat di Hong Kong sehingga terasa lebih longgar. Ciri khas dan kesamaan antara Macau dan Hong Kong adalah sistem dan sarana transportasi yang sangat tertata rapi sehingga memudahkan setiap warga untuk bisa pergi ke mana saja.
Pukul 12. 15, rombongan tiba di base camp panitia. Yang mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng ini bernama MATIM atau Majelis Taklim Indonesia Macau, dan merupakan majelis taklim pertama dan tertua di Macau. Anggotanya adalah para TKI/TKW yang sebagian besar mereka, terutama yang laki-laki, bekerja sebagai tenaga cleaning service di hotel-hotel di Macau, sedangkan para TKW bekerja sebagai pembantu rumah tangga, dan ada juga yang bekerja sebagai tenaga kontrakan di kantor-kantor dengan pekerjaan serabutan. Salah satu kegiatan rutin MATIM adalah Yasinan seminggu sekali, dan pengajian bulanan secara bergiliran. Ketua MATIM ini seorang perempuan bernama Azminah.
Di base camp ini, Cak Nun berbincang-bincang dengan panitia, dan menggali persoalan sehari-hari yang mereka hadapi, serta ingin mendengar secara langsung dari mereka latar belakang mengapa mereka mengundang Cak Nun KiaiKanjeng. Teman-teman TKI di sini sangat berharap dengan pengajian Cak Nun ini, mereka semakin bersemangat dalam menjaga dan memperteguh diri di tengah lingkungan dan pergaulan di Macau yang tak selalu menguntungkan mereka di mana mereka jauh dari keluarga dan dengan kontrol sosial yang lemah, khususnya dengan adanya perjudian dan pergaulan bebas, dan bahkan adanya praktik lesbian, yang membuat mereka resah.
Tidak ada janji apapun dari Cak Nun untuk mengatasi semua soal itu, tetapi pembenahan pemahaman dan sikap hiduplah yang diberikan Cak Nun kepada mereka, sehingga mereka bisa menjadi subjek atas perubahan-perubahan dalam diri maupun untuk sekitar mereka. Hati dan pikiran mereka yang disentuh dalam cara dan dengan kekuatan energi yang khas beliau. Dalam pertemuan pra acara ini, Cak Nun juga sempat mendoakan semoga apa yang mereka dapatkan dengan bekerja di Macau ini berkah adanya hingga anak cucu. Cak Nun berpesan agar mereka pandai dalam mengelola uang mereka, “jangan dihambur-hamburkan untuk suami atau istri di kampung halaman.” Selain itu Cak Nun berdoa dan berharap, ketika mereka nanti pulang ke Indonesia, Indonesia sudah sembuh dari penyakitnya.
Acara pengajian siang-sore ini diselenggarakan di sebuah gedung yang berada di tengah-tengah komplek pertokoan yang sarat dan dipenuhi papan nama atau iklan dalam huruf-huruf China. Untuk sampai ke tempat ini rombongan KiaiKanjeng harus berjalan kaki beberapa menit dan menaiki tangga menuju lantai 5 tempat acara digelar. Gedung pertemuan ini bernama Kangpen Community. Pukul 14.19 rombongan Cak Nun, mbak Novia dan KiaiKanjeng sudah tiba di tempat ini.
Kurang lebih satu jam sesi awal acara, KiaiKanjeng menyaksikan sisi lain atau sesuatu yang mengagumkan dan membanggakan dari sedulur-sedulur TKW ini. Sesuatu yang barangkali juga membuat mereka tak habis pikir bagaimana bisa para TKW yang sehari-hari sibuk dengan pekerjaan masih sempat memikirkan dan mencipta kehangatan keagamaan di antara mereka. Sesuatu yang mestinya mereka bawa dari budaya di tanah airnya. Lihatlah, acara diawali dengan Tilawatul Qur’an dari mbak-mbak anggota MATIM, membaca Asmaul Husna, dan satu dua sambutan. Setelah itu ada penampilan lagu-lagu dari Halimah dan Al-Irsyad.
Disusul kemudian gelar fashion show dari MATIM di mana busana yang ditampilkan adalah buatan mereka sendiri. Fashion show ini juga digelar untuk kategori anak-anak. Dan ternyata di Macau ini, MATIM juga membuka kursus menjahit. Tak hanya itu, masih ada penampilan rebana dari organisasi Mushalla dan dari kelompok Gema, diselingi dengan tari-tarian Islami. Bayangkanlah, para TKI/TKW ini mengorganisir semua itu, dengan rapi pula, sehingga acara berlangsung sangat ramai, hangat, dan hampir 95 persen pesertanya adalah TKW.
Pukul 15.53 Cak Nun dan KiaiKanjeng naik ke panggung. Cak Nun mengenakan baju hitam-hitam, sedangkan personel KiaiKanjeng memakai kostum batik. Di acara Macau ini, KiaiKanjeng hanya membawa gitar (format akustik) dan seperangkat rebana. Tahap awal, Mas Islamiyanto, Mas Zainul, dan Mas Imam mengajak semua yang hadir bareng-bareng melantunkan shalawat Sidnan-Nabi. Beberapa di antara mbak-mbak MATIM ikut melantunkan di depan secara aktif.
Membuka kesempatan ini, Cak Nun memberikan “ilmu tembus pandang” kepada para hadirin. Maksudnya pesan agar mereka tidak mudah tertipu dengan pakaian. Jangan mudah terkecoh oleh ustadz-ustadz yang bersorban. Cak Nun mengajak mereka melihat dan mencermati seseorang dari sikap dan perilakunya, bukan tampilannya. Kemudian Cak Nun meneruskan dengan menjelaskan mengenai posisi agama dan dunia dalam arti tidak ada hal apapun yang tidak terkait dengan agama. Sebuah pandangan yang secara frontal menolak sekularisme. Dan sekularisme inilah yang sejatinya menjangkiti serta merusak dunia dan kehidupan manusia, yang bukan tidak mungkin juga diidap oleh orang-orang yang secara lahiriah atau formal getol beragama. Tentu Cak Nun mennguraikan poin dan sikap dasar ini bukan tanpa relevansi dengan persoalan yang sedang dihadapi para TKI/TKW di Macau ini. Begitu pula dengan konsep ketaatan. Cak Nun membenahi dan meneguhkan hakikat ketaatan, “Kalau ada ustadz datang ke sini, jangan taat kepada dia. Taatlah kepada Allah…,” tegas Cak Nun.
Seluruh audiens sangat antusias dan merespons dengan baik pesan-pesan yang disampaikan Cak Nun. Mereka baru pertama kalinya bertemu dan bertatap muka dengan Cak Nun. Mereka menyimak pemahaman-pemahaman dasar yang belum pernah mereka dapatkan dari manapun secara sederhana tapi radikal, dan membekas di hati. Dengan konsep sederhana itu saja tetapi secara istiqamah diterapkan, maka Cak Nun yakin itu akan dapat memberikan perubahan mendasar pada diri mereka. Kepada mereka Cak Nun mengatakan, “Kami datang ke sini karena bangga kepada Anda semua.”
Kehadiran Ibu Novia Kolopaking memberi warna tersendiri di tengah-tengah Mbak dan Ibu-ibu TKW sama persis seperti ketika Ibu Novia mengunjungi teman-teman mereka sesama TKW di Busan, Taiwan, dan Hong Kong. Sebuah tembang berjudul “Asmara” dilantunkan dengan apik oleh Mbak Via, panggilan akrab Ibu Novia. Tak ketinggalan Dik Haya menyumbangkan dua lagu, satu berbahasa Korea dan satunya lagi berbahasa Turki. Rampak, adik bungsu Haya, tak mau kalah. Ia membawakan sebuah lagu berbahasa Jawa. Lagu dan liriknya lucu sehingga mengundang tawa semua hadirin.
Seluruh yang dibawakan dan dipersembahkan kepada mereka oleh Cak Nun dan KiaiKanjeng sejatinya adalah cara untuk membangkitkan kerinduan mereka akan tanah air. Bukan dalam arti agar mereka kangen pulang kampung, melainkan selalu ingat bahwa mereka adalah orang-orang dari Nusantara yang memiliki karakter sosial dan ketangguhan pribadi yang tak ada duanya, sehingga mereka tergerak terus untuk berlaku sebagai bangsa yang hebat dan tangguh.
Di acara ini, sebuah pemandangan merebut perhatian KiaiKanjeng. Salah seorang TKW membawa anaknya sang majikan, diajak ikut pengajian, dan didandani dengan mengenakan jilbab. Tak ubahnya gadis kecil usia TK yang hendak ikut pengajian TPA di masjid. Beberapa dari KiaiKanjeng bergantian menggendong anak yang lucu itu. Anak yang diam-diam telah mendengarkan suara rebana dan shalawatan KiaiKanjeng. Pasti si gadis mungil ini belum paham siapa Om dan Pak De KiaiKanjeng itu, yang menggendongnya di acara itu. Tapi kelak ketika dia beranjak remaja, lamat-lamat pikirannya ingat dan hatinya kangen pada tangan “asing” yang pernah menggendongnya, sosok dari negeri yang jauh, yang datang ke tempat dia untuk sesuatu yang semoga kelak dia mengerti bahwa itu adalah “perjuangan kebaikan kemanusiaan.” Suatu momen langka dalam hidupnya.
Acara dipuncaki dengan bershalawat bersama, dan diakhiri dengan do’a yang dipimpin oleh Mas Islamiyanto. Dan di sela-sela kesibukan pasca acara, di antaranya para hadirin sibuk mengajak berfoto Cak Nun sekeluarga, Nurul sempat berbincang-bincang dengan Indah, salah seorang TKW asal Blitar. “Pengajian ini sangat menarik dan memberikan banyak pengetahuan,” kata mbak Indah. Dia juga sangat ingin Cak Nun bisa hadir kembali ke Macau. Mbak Indah juga menceritakan bahwa pengajian semacam ini bermanfaat untuk menjaga kekompakan di antara TKW, bahwa mereka satu keluarga, tak ada sekat dan sentimen-sentimen daerah.
Pukul 17.42, rombongan KiaiKanjeng berjalan kaki menuju pemberhentian bis. Di tempat ini, bahkan masih banyak audiens yang mengikuti rombongan dan meminta berfoto dengan Cak Nun. Jalanan agak sepi saat itu, karena ternyata hari ini adalah hari peringatan kemerdekaan Macau. Banyak orang yang libur, dan kabarnya di kawasan jalan menuju gereja tua tadi akan diadakan pesta kembang api dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Macau.
Selanjutnya KiaiKanjeng bergerak menuju pelabuhan untuk kembali ke Hong Kong. Sembari menunggu datangnya kapal, KiaiKanjeng menyempatkan diri untuk makan. Kali ini bukan di warung, sebab yang mereka makan adalah bekal bawaan sendiri yaitu Soto. Jadi dimakan di salah satu tempat di pelabuhan. Adegan ini mengundang perhatian banyak orang yang lalu-lalang di situ, karena merasa heran kok ada orang, kelihatan asing pula, bergerombol makan di situ. Mungkin bukan kebiasaan orang Macau untuk makan dengan perbekalan sendiri. Tetapi, itulah KiaiKanjeng, dari Indonesia.