CakNun.com
Catatan Sinau Bareng Amsterdam, 25 Desember 2016 (1)

Fatuuba Lil Muslimin Fil Amsterdam

Redaksi
Waktu baca ± 4 menit

Sinau Bareng atau Maiyahan Cak Nun dan Ibu Novia Kolopaking di Amsterdam, dalam rangkaian sepekan di Eropa yang sudah diawali di Frankfurt 22 Desember 2016, digelar di Islamitische Basisschool El-Amien dan diselenggarakan oleh PPME Al-Ikhlash Amsterdam. Tema utamanya adalah memeringati Maulid Nabi Muhammad Saw.

Cak Nun dan Ibu Novia hadir di Islamitische Basisschool El-Amien.
Cak Nun dan Ibu Novia hadir di Islamitische Basisschool El-Amien.

Seperti di manapun tatkala bertemu dengan banyak kalangan masyarakat, dengan kepekaan rasanya yang halus, Cak Nun selalu terharu dan tersentuh hatinya, serta ingin senantiasa membesarkan hati dan mendoakan mereka. Maka usai pembukaan, lantunan ayat Suci, shalawatan, dan dua sambutan, dari Panitia yaitu Pak Rudi Kosasih dan perwakilan Kedubes RI di Belanda yaitu I Gusti Agung Wesakapuja, Cak Nun terlebih dahulu membaca dan menguraikan makna surat al-Insyiroh (Alam Nasyroh).

Dengan berangkat dari muatan uraian ayat-ayat surat Alam Nasyroh ini, Cak Nun mendoakan agar para hadirin senantiasa diberi kemudahan oleh Allah, dikurangi beban-beban hidupnya, dan ditambahkan kekuatan dalam menyangga beban-beban kehidupan mereka. Cak Nun mengajak mereka meyakini kebenaran pernyataan Allah dalam surat al-Insyiroh ini: fainna ma’al usri yusro, inna ma’al usri yusro. Bahwa Inna ma’al usri yusro, yang dalam keyakinan Cak Nun bukanlah berarti “sesudah kesulitan akan ada kemudahan” sebagaimana pemahaman selama ini, melainkan “bersamaan dengan kesulitan itu Allah memberikan kemudahan”. Hal sederhana yang tentu menyirami dan menyejukkan publik Indonesia yang tinggal di negeri Barat di mana umat Islam adalah minoritas.

Konteks ini pula yang menyebabkan Cak Nun mengingatkan betapa tinggi kedudukan mereka di depan Rasulullah. Mereka tergolong ke dalam umat Islam yang beruntung. Umat yang digambarkan oleh Rasulullah dengan kalimat yang indah dan membesarkan hati: _Fatuuba fatuuba fatuuba liman lam yarooni wa aamana bii_ (Maka beruntunglah, maka beruntunglah, maka beruntunglah bagi mereka yang belum pernah melihatku, tetapi beriman kepadaku).” Betapa tidak. Di Amsterdam — dan kota-kota lain di Eropa atau Barat — wilayah di mana mayoritas warga bukan pemeluk agama Islam, mereka sungguh-sungguh dan istiqamah melaksanakan shalat berjamaah, menyelenggarakan pengajian, shalawatan, dan melakukan ajaran-ajaran Islam lainnya. Sekiranya mereka tinggal di dalam wilayah dengan budaya dan kondisi lingkungan yang mayoritas Muslim, tentu hal itu wajar belaka.

Untuk itulah, menyempurnakan penjelasan mengenai ayat-ayat dalam surat al-Insyiroh itu, Cak Nun menekankan bahwa sesudah mendapatkan kemudahan inna ma’al usri yusro_ itu, kita diperintahkan untuk terus-menerus melaksanakan perjuangan. Tidak boleh mudah berpuas dengan hasil yang telah dicapai. Semata hanya berharap kepada Allah. Jangan tidak pernah tidak menjadikan Allah sebagai subjek utama dalam kehidupan. _Faidza faroghta fanshob, wa ilaa robbika farghob. Masih dari surat al-Insyiroh. Yaitu ayat penghujung surat yang memerintahkan kita untuk terus melanjutkan perjuangan (selesai satu perjuangan diteruskan dengan perjuangan yang merupakan bentuk lain dari istiqamah perjuangan atau bentuk lain dari tak boleh berpuas diri) dan dalam melakukan perjuangan itu hanya berharap kepada Allah.

Cak Nun membaca dan menguraikan makna surat al-Insyiroh (Alam Nasyroh).
Cak Nun membaca dan menguraikan makna surat al-Insyiroh (Alam Nasyroh).

Dipanggil Syaikhona

Ada hal unik di Sinau Bareng di Islamitische Bassisschool Al-Amien ini. Pemandu Acara atau MC memanggil Cak Nun dengan sebutan Syaikhona. Menarik, karena di Indonesia sendiri belum pernah sebutan itu terlontar di Maiyahan di berbagai tempat. Paling jauh dipanggil Romo Kiai, itu pun sesekali saja di pelosok desa. Tapi ini di Amsterdam. Seandainya di Madura tentu wajar, di mana masyarakat di sana dari atas sampai bawah familiar dengan kata Syaikhona untuk menyebut Syaikhona Kholil Bangkalan, salah satu induk ulama di Indonesia.

Tentu sang MC terlahir dan besar dalam lingkungan santri, dan menarik bahwa hal-hal detail khasanah santri itu masih dibawa dan dijaga di Amsterdam. Dan kok ya dilontarkan kepada Cak Nun. Itulah sebabnya, Cak Nun hanya bisa berharap agar panggilan itu adalah panggilan kemesraan. Bukan panggilan yang menunjuk pada gelar spiritual. Apalagi gelar itu di Indonesia hanya disematkan kepada KH Kholil Bangkalan.

Hal ini membuat Cak Nun menerangkan fenomena evolusi makna istilah atau sebutan, termasuk sebutan Habib, yang boleh jadi belum banyak dipahami selama ini termasuk di Indonesia.  Pada mulanya, habib itu sebutan untuk orang-orang yang mencintai Rasulullah Saw. Kemudian istilah ini berkembang untuk menyebut orang yang dianggap atau diyakini sebagai keturunan Rasulullah. Sementara di sisi lain, dalam sejarahnya, ada terminologi tersendiri untuk menyebut orang-orang yang merupakan keturunan Rasulullah. Yaitu Sayyid dan Syarif. Disebut Sayyid apabila beliau bergaris keturunan dari Sayyidina Hasan bin Ali. Sedangkan Syarif adalah dari garis Sayyidina Husein bin Ali.

***

Yang hadir di Sinau Bareng ini adalah pekerja dan pelajar Indonesia, yang datang dari sekitar Amsterdam, Den Haag, dan bahkan ada yang dari Jerman. Ada turut hadir pula beberapa bule yang suaminya orang Indonesia. Tentu saja acara Maulid Nabi di sini tidak seperti Mauludan di desa-desa di Indonesia di mana simbol-simbol kesantrian cukup dominan mewarnai. Kebanyakan hadirin mengenak baju biasa, bahkan kaos, dan tampaknya tak ada yang mengenakan sarung. Tetapi sedikit pun semua itu tak mengurangi muatan-muatan yang muncul dan mereka peroleh.

Pekerja dan pelajar Indonesia yang datang dari sekitar Amsterdam, Den Haag, dan bahkan Jerman.
Pekerja dan pelajar Indonesia yang datang dari sekitar Amsterdam, Den Haag, dan bahkan Jerman.

Bahkan pada segmen yang masih awal pun, mereka sudah diajak menyelami tadabbur keutuhan muatan dan makna ayat-ayatbsurat al-Insyiroh, diingatkan akan ucapan Rasulullah yang menggembirakan hati bagi orang-orang yang beriman kepada Rasulullah sementara mereka belum pernah melihatnya. Hal yang di Negara-negara Barat terasa sekali artinya, seperti yang berlangsung di acara Sinau Bareng di Amsterdam ini. Dan Cak Nun dengan titis menangkap dan mengartikulasikn hal itu kepada teman-teman Muslim Indonesia yang tinggal di Belanda ini. Sebuah ekspresi kepekaan dan kelembutan yang hari-hari ini sepertinya makin jauh dari mewarnai ruang-ruang sosial keummatan kita karena kecenderungan yang berlangsung saat ini adalah gampang menghakimi atau menyakiti sesama muslim terutama melalui media sosial. (hm/gd/fhm)

Lainnya