CakNun.com

Manajemen Perhatian Diri

Liputan Singkat Sinau Bareng di Riverton Leisureplex Perth, 24 September 2017
Redaksi
Waktu baca ± 4 menit

Boleh dikata, teman-teman Indonesia di Australia ini adalah bagian dari well educated people. Baik karena pendidikan maupun mobilitas kultural lintas bangsa yang mereka alami. Itu sebabnya mereka memiliki perhatian terhadap banyak hal yang terjadi dalam semesta sosial politik Indonesia.

Ini tampak dari beberapa pertanyaan yang muncul dalam Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan Bu Via di Riverton Leisureplex siang-sore tadi (24/9). Misalnya, di mana peran NU dan Muhammadiyah ketika terjadi perbadaan pandangan politik seperti di Pilkada Jakarta lalu, ketika isu agama menjadi lebih kental dari isu politik itu sendiri, sehingga yang terlihat seperti benturan antar agama atau antar kelompok agama.

Sinau Bareng di Riverton Leisureplex, Perth.
Sinau Bareng di Riverton Leisureplex, Perth.

Juga pertanyaan ini: Apakah konsep kebangsaan itu terlalu besar dan luas, sehingga perlu dipersempit menjadi konsep local wisdom atau local culture agar lebih mudah diaplikasikan. Ada juga pertanyaan ini: Bagaimana kita mampu bersikap menerima perbedaan, karena pada faktanya tidak mudah ketika kita di kehidupan nyata berhadapan dengan orang yang memiliki perbedaan pandangan tentang apapun dengan kita. Terkadang kita yang tidak mau menerima pendapat orang lain, terkadang orang lain yang tidak mau menerima perbedaan pandangan yang kita miliki.

Bagaimana Mbah Nun merespons pertanyaan-pertanyaan itu? Nanti dulu. Kita swicth sejenak. Acara bertajuk “Memperkuat Wawasan Kebangsaan” ini dilangsungkan indoor. Di dalam ruang. Cukup banyak yang hadir buat ukuran komunitas masyarakat Indonesia di luar negeri. Seperti beberapa acara teman-teman Indonesia di luar negeri lainnya, jangan dibayangkan acara dilengkapi macam-macam item. Tidak ada panggung. Hanya level sederhana buat Mbah Nun dan Bu Via. Tidak ada bacdrop. Hadirin pun duduk lesehan.

Meski begitu, acara berlangsung kualitatif secara emosional maupun intelektual. Mereka menyimak paparan-paparan Mbah Nun, tapi juga sering tertawa berderai ketika mencuat ilustrasi beliau yang bikin mereka menemukan alasan untuk terpingkal. Rasa gembira dan indah juga hadir karena Mbah Nun tidak sendirian. Bu Via mendampingi, dan diminta mempersembahkan beberapa nomor lagu, di antaranya: Asmara, Bunga Mawar, Dengan Menyebut Nama Allah, dan Sayang Padaku.

Lagu terakhir itu, Sayang Padaku, liriknya ditulis oleh Mbah Nun, dan menurut Bu Via di depan teman-teman yang hadir tadi, “Liriknya cukup bagus…hehe.” Mbah Nun tersenyum mendengarnya. Sempat diceritakan beliau bahwa lagu ini pernah menjadi soundtrack sebuah sinteron di Malaysia. Dan, ketahuilah lagu Sayang Padaku ini adalah salah satu (pijakan) jawaban untuk tiga pertanyaan di atas.

Bisa? Bisa. Lagu ini tidak berbicara cinta antar manusia, melainkan keridlaan dan keikhlasan manusia kepada Allah atas apa yang terjadi atau menimpa dirinya. Lagu ini mengajak bibir kita mengucap kepada Allah: Tak apa penderitaan (politik, residensi, dll) aku alami, asalkan Engkau tetap sayang padaku ya Allah.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tadi logis dan bisa dipahami, namun kalau saja kita tak mampu mengatasi persoalan yang terkandung di dalamnya, kita matur kepada Allah: tak apa-apa belum bisa tercapai apa yang kami harapkan asalkan Tuhan tetap sayang pada kita, buat anak-cucu kita. Satu tarikan napas dengan ini, Mbah Nun menyitir sikap Rasulullah saat kepepet di perang Badar: In lam takun ‘alayya ghodlobun fala ubaali (Asalkan Engkau tak marah padaku, aku tidak masalah).

Lagu Sayang Padaku adalah salah satu (pijakan) jawaban untuk tiga pertanyaan yang muncul.
Lagu Sayang Padaku adalah salah satu (pijakan) jawaban untuk tiga pertanyaan yang muncul.

Itu jawaban pertama. Soal-soal yang diam-diam berisi harapan dan keluhan dapat diletakkan dalam perspektif penderitaan, tetapi penderitaan disikapi dalam cara yang sama sekali berbeda seperti sudah dipaparkan Mbah Nun. Pada titik ini, rasanya memang klop beliau harus merespons mereka. Sebab Mbah Nun memang jago dalam soal membaca hilang atau tak disadarinya ruang kosong dalam jiwa manusia, mungkin justru karena manusia sudah kadung rasional semata. “Maka kita harus punya mekanisme diri…,” kata Mbah Nun. Artinya, teman-teman sedang diajak untuk terampil secara psikologis-spiritual dalam mengelola perhatian dan pikiran dalam diri kita.

Dengan sederhana tapi zigzag berpikirnya, Mbah Nun memberi contoh bahwa dalam hidup ini pun banyak hal yang tak disetujui atau dicocokinya, tapi itu tak bisa dituruti atau dijadikan dasar bersikap. Salah satunya kondisi seperti itu dibawa masuk ke dalam manajemen penderitaan.

Manajemen sikap berikutnya adalah tidak soal apa pandangan atau pikiran kita seperti apa, yang terpenting yang kita olah dan kita bawa ke mana-mana atau kepada orang lain adalah kebijaksanaan. Kita tak perlu terlalu mendesak-ndesakkan kebenaran kita kepada orang lain. Kita hadirkan saja kebijaksanaan dan kemashlahatan. Maka soal menyikapi perbedaan pandangan seperti pada pertanyaan ketiga tadi sikap ini bisa dijadikan landasan.

Jika dilanjutkan atau dirumuskan secara praktis, Mbah Nun mengajak teman-teman kaya akan manajemen perhatian, terampil menentukan skala prioritas, dan seterusnya dalam menghadapi berbagai hal yang menyodor ke depan diri kita. “Ada yang harus dipegang dengan tangan kanan, ada yang cukup diletakkan di tangan kiri, ada yang cukup diberi perhatian lima persen, ada yang sebaiknya cukup di dalam pikiran dan jangan dibawa masuk ke dalam hati terlampau dalam.”

Perspektif manajemen juga berlaku dalam kita memahami agama dan tanah air atau kebangsaan. “Karena aku Islam, maka saya NKRI. Karena aku dilahirkan di tanah air Indonesia,” contoh Mbah Nun. Ringkasnya kemudian, selain memberikan tawaran agar teman-teman pandai bermanajemen diri, Mbah Nun tetap menanggapi semua pertanyaan tadi dengan analisis-analisis historis dan empiris. Mbah Nun kemukakan analisisnya bagaimana Ahok kalah dengan pendekatan politik dan sejarah, bagaimana memahami gradasi antara institusi ormas dengan warga grassroot-nya, konstelasi global yang berada di belakang peristiwa atau pelaku-pelaku politik di Indonesia, posisi Indonesia sendiri dalam ranah kepentingan global, dan lain-lain.

Sinau Bareng "Memperkuat Wawasan Kebangsaan" di Riverton Leisureplex
Sinau Bareng “Memperkuat Wawasan Kebangsaan” di Riverton Leisureplex

Sesudah memaparkan semua itu, Mbah Nun tak lupa buat kembali ke kedalaman batin mereka, di tengah berbagai kondisi yang mungkin belum bisa diubah, dicapai, atau direalisasi pada skala lokal maupun nasional, dengan berpesan agar teman-teman tetap memperbanyak hal-hal yang bikin mereka gembira dan akrab. Dan menurut penerawangan kalian, tidakkah pesan itu juga berlaku buat kita semua?… (HM/FA)

Lainnya

Exit mobile version