CakNun.com

WaliRaja RajaWali Cara Lain Memaknai Indonesia

Bangbang Wetan
Waktu baca ± 4 menit

Selain tokoh-tokohnya yang secara profesional menyuguhkan aksi-aksi sangat memanjakan. Bunyi instrumen musik KiaiKanjeng dan tari jaranan menjadi unsur utama pementasan, menjadi complete package. Jujuk Prabowo, yang juga sutradara pementasan Sengkuni pada 2019 lalu, kembali menjadi nahkoda dalam WaliRaja RajaWali yang naskahnya ditulis langsung oleh Mbah Nun. Tidak lengkap rasanya jika kita tidak memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada para punggawa Teater Perdikan.

Melalui Buyut Iradat, Mbah Nun menyelipkan pesan agar senantiasa mengingat dan kembali pada jati diri bangsanya.
Foto: Adin (Dok. Progress)

Penampilan paripurna Sitoresmi Prabuningrat sebagai Ibu Pertiwi seolah mampu “menyihir” suasana tadi malam. Pak Jujuk tidak luput memberikan apresiasinya, “Saya tidak tahu kenapa, malam ini beliau betul-betul luar biasa, tidak ada teks yang lupa.” Kiprahnya di dunia panggung tentu tidak perlu diragukan lagi. Pada usianya yang ke-72, beliau masih bergiat aktif bersama Teater Perdikan. Hal ini semestinya menjadi inspirasi, dorongan, dan optimisme bagi kaum muda, yang dimaksud sebagai putra-putri Nusantara untuk senantiasa bekerja sama — meminjam istilah Mbah Nun — ndandani Indonesia. Itulah yang juga menjadi salah satu sorotan pada pementasan semalam. Mbah Nun seringkali mengatakan kepada jamaah untuk jadilah apa yang memang menjadi takdirmu. “Kalau kamu bebek, ya jadi bebek. Jangan jadi kambing, ayam, sapi,” tutur belialu dalam salah satu kesempatan di Bangbang Wetan.

Bukan Mbah Nun bila tidak nggedekno ati para jamaah. Melalui WaliRaja RajaWali, beliau mencoba menyampaikan karakter-karakter bangsa Indonesia. Tidak hanya yang buruk-buruk, tetapi juga yang baik-baik diungkapkan di atas panggung. Seperti soal tangguhnya mental putra-putri Nusantara yang meski telah kehilangan harga diri, terpuruk, tetapi masih selalu bangkit lagi. “Nusantara tak mati-mati,” penggalan dialog tokoh Pak Rajek.

Menjadi rahasia umum bahwa seni dan sastra merupakan salah satu jalan dalam mengkritisi kondisi atau fenomena sosial. WaliRaja RajaWali adalah contoh yang tepat dalam menggambarkannya. Klimaksnya, datang seorang tokoh bernama Maskumambang, yang mengklaim dirinya sebagai pioneer partai politik yang tidak ingin mengikuti pemilu, dengan kata lain berbeda dengan parpol pada umumnya. Lahdalah, ujung-ujungnya sama, tetap ada “pelicin”. Namun, yang menarik adalah ia juga memberi pesan agar rakyat tidak salah memilih pemimpin. Beberapa riuh tepuk tangan jamaah mengisi atmosfer Tugu Pahlawan sesaat setelah dialog-dialog yang on point berakhir.

Melalui Buyut Iradat, lagi-lagi Mbah Nun menyelipkan pesan untuk putra-putri Nusantara agar senantiasa mengingat dan kembali pada jati diri bangsanya. Mengirim optimisme bahwa dalam waktu dekat, Nusantara akan bangkit menjadi pusat kemakmuran dunia.

Pementasan WaliRaja RajaWali sekaligus 16 Tahun Bang-Bang Wetan di Tugu Pahlawan, Surabaya.
Foto: Adin (Dok. Progress)

“Nanti kita sudah tidak perlu mengirim TKW ke luar negeri. Malah mereka yang jadi TKW di Indonesia,” ucap Mbah Nun di sela-sela Pambuko. Adapun pesan besar yang hendak disampaikan melalui pementasan semalam adalah agar kita tidak salah lagi dalam memilih pemimpin, bahwa pemimpin yang dipilih mestinya adalah seorang Brahmana Raja.

“Satukan masa silam dengan masa sekarang,” menjadi dawuh pemungkas dari Buyut Iradat, yang tidak lama kemudian ditutup dengan iringan lagu Bang-Bang Wetan. Di penghujung pementasan, para stakeholder diundang ke panggung membaur dengan para tokoh WaliRaja RajaWali dan penari jaranan, lengkap membawa selendang kuning di tangan dan menari di tengah para jamaah Maiyah yang hadir. (Bangbang Wetan/Runindaru)

Bangbang Wetan
Majelis Masyarakat Maiyah Bangbang Wetan adalah majelis pencerahan ilmu setiap bulan di Surabaya. Forum ini bagian dari lingkaran simpul Maiyah yang diasuh oleh Cak Fuad, Cak Nun, Sabrang MDP, serta para pengampu lainnya. Telah berjalan sejak tahun 2006.
Bagikan:

Lainnya

Topik