Pesan Maulana Iradat, Pada 2024 Pilihlah Pemimpin Kehidupan
Setelah menyaksikan pementasan naskah teater WaliRaja RajaWali di Tugu Pahlawan Jumat lalu (23/9), barangkali dalam benak teman-teman timbul rasa penasaran ingin mengenal dan menggali lebih dalam sosok yang memerankan tokoh-tokohnya. Ada tokoh Ibu Pertiwi, Pak Rajeg, Maulana Iradat, Eyang Sabdo, Eyang Noyo, Mas Mambang, serta Rakyat. Tokoh Ibu Pertiwi dan Pak Rajeg sudah kami suguhkan pada tulisan sebelumnya.
Berikut ini kami akan menyampaikan hasil wawancara kami dengan Pak Joko Kamto yang memerankan Maulana Iradat. Kami mewawancari beliau bersama Pak Nevi (pemeran Eyang Sabdo) pada Minggu pagi di Kokoon Hotel, Bongkaran, Pabena Cantikan, Surabaya. Beliau berdua menyempatkan waktu untuk kami sebelum siangnya berangkat ke Mojokerto menemani masyarakat Mojokerto Sinau Bareng pada malam harinya.
Pagi itu, dengan raut wajah sumringah Pak Jokam, sapaan akrab Pak Joko Kamto, menerangkan bahwa secara general tema naskah teater karya Mbah Nun memiliki nafas yang sama.
Pak Jokam memberi contoh pementasan naskah Sengkuni 2019 di mana beliau memerankan tokoh Sengkuni. Tokoh sengkuni mudah dikenali dari segi peran karena ada banyak referensi, banyak yang bisa diambil, salah satunya dari khasanah wayang. Sedangkan pada naskah WaliRaja RajaWali, tokoh Maulana Iradat yang beliau perankan tidak ada referensinya. Jadi, beliau berusaha mengenali tokoh Maulana Iradat dari segi bahasa. Secara bahasa, iradat bermakna kehendak, mengarah ke kehendak Allah. Semacam Allah memberi informasi melalui ilham.
Tokoh Maulana Iradat memerankan sosok yang mewakili Jagat Kasepuhan pepunden bangsa Nusantara, yang menuturkan serta menegaskan sesuatu yang sangat wingit dan serius. Tujuannya demi nasib anak cucu bangsa Nusantara. “Kalau kalian tidak membiasakan diri menyimak suara kehidupan, saya khawatir anak cucu kalian bangsa Nusantara kelak akan menjadi bangsa yang dulu dijumpai oleh Nabi Dzulqornain, Pendekar Dua Tanduk. Yang Allah sendiri menyebutnya bangsa itu sebagai la yakaduna yafqohuna qoulan”.
Kekhasan naskah pementasan teater yang ditulis Mbah Nun, menurut Pak Jokam, terutama WaliRaja ini, bersifat menyangkut persoalan riil yang berlangsung di sekitar kita, termasuk negara, serta ada payung informasi vertikal (sifat kehendak Allah) yang diserap Mbah Nun, kemudian oleh Mbah Nun berusaha dijelaskan dengan pemahaman manusia. Khususnya, kekhasan pementasan Waliraja di Surabaya lebih jelas. Pak Jokam mengatakan naskah WaliRaja RajaWali di Surabaya mencoba menjelaskan dengan bahasa lebih sederhana. Khasanah wali dijodohkan dengan khasanah brahmana. Kita bisa mudah memahami karena khasanah wali yang sedang Mbah Nun sampaikan dijelaskan dengan bahasa khasanah kebrahmanaan (manusia yang hidupnya mengutamakan Allah), sangat kental dengan khasanah bangsa Nusantara.
“Baiklah…mungkin kosakata Wali bukan bahasa Nusantara. Jadi sebutlah Brahmana-Raja. Kalian bangsa Nusantara bukanlah bangsa Sudra yang mementingkan harta benda, ilmu katon serta yang serba kasat mata. Atau bangsa Paria yang tidak malu mengemis-ngemis. Kalian juga bukan bangsa Satrya yang besar kepala karena kekuatan, kekuasaan, dan keunggulan. Lebih 20 abad lamanya kalian terdidik untuk menjadi Bangsa Brahmana. Hampir semua peninggalan sejarah kalian bermuatan nilai-nilai Brahmana. Jiwa kalian Brahmana. Tujuan hidup kalian Brahmana. Persatuan dan kesatuan kalian dilandasi oleh jiwa Brahmana. Jiwa Ibrahim. Ibrahim. Brahm. B…r…h…m. Bra ha ma. Brahmana.”
Menurut Pak Jokam, naskah Mbah Nun khas justru karena selalu menyangkut persoalan riil yang berlangsung di masyarakat. Misalnya, menghadapi pemilu serentak 2024, Maulana Iradat memberikan pegangan kepada rakyat Indonesia,”…Jangan pilih pemimpin politik, jangan pilih tokoh intelektual dan jangan pilih pemuka agama. Pilihlah pemimpin kehidupan. Pemimpin kehidupan dalam arti yang sesungguhnya, yang wungkul dan komplit. Yang sudah cukup membuktikan cinta dan kasih sayangnya kepada rakyat. Yang matang ilmunya secara bumi maupun langit. Yang tidak bernafsu, berambisi, dan mengemis-ngemis agar dipilih jadi pemimpin. Yang tidak tahu malu sehingga memamerkan-mamerkan wajahnya di tepi-tepi jalan, padahal tidak punya prestasi apa-apa. Pilihlah pemimpin yang manusia sejati dan hidupnya menunjukkan bahwa ia adalah hamba Tuhan.”
Salah satu ciri khas Mbah Nun dalam menulis naskah adalah selalu berkembang informasi isi naskahnya. Misalnya pada naskah WaliRaja RajaWali yang dipentaskan di Kenduri Cinta berbeda dengan yang dipentaskan di Bangbang Wetan. Artinya, berkembangnya isi naskah walau pada judul yang sama, menurut Pak Jokam, menandakan bahwa Mbah Nun menangkap informasi tidak hanya horisontal melainkan dijangkepi informasi vertikal dari Tuhan, sehingga informasi yang beliau dapatkan memuai terus (terbarui). Selain itu dalam menulis naskah, Mbah Nun selalu memandang kondisi tempat pementasan. Pementasan di Surabaya, lebih jangkep karena dilengkapi dengan tarian kuda lumping dari Komunitas Lima Gunung, yang sangat menggambarkan karakter masyarakat Jawa Timur yang tegas, lugas, gagah serta perkasa.
Pak Joko Kamto juga menyampaikan bahwa Mbah Nun membangun karakter tokoh pada pementasan teater itu dengan mengenali lebih dalam karakter pemain yang akan memerankannya dan tak jarang Mbah Nun berdiskusi dan membuka masukan dari pemain. Ternyata pendekatan ini merupakan salah satu hal yang membuat naskah Mbah Nun kuat dalam segi karakter. Sehingga, ketika dipentaskan pesannya bisa sampai ke audiens.
Terakhir, Pak Jokam berpesan kepada Jamaah Maiyah, yang setia Sinau Bareng, sepulang dari Maiyahan, ambil satu nilai saja yang sekiranya mampu dilakukan, setelah itu terapkan dan lakoni dari skala yang terkecil, di keluarga dan lingkungan sekitar. (BangbangWetan/Amin Ungsaka)