CakNun.com

Literasi Sosial-Politik WaliRaja RajaWali

Dany Padmadisastra
Waktu baca ± 3 menit

Seperti sudah dikabarkan sebelumnya, pagelaran teater rakyat berjudul “WaliRaja RajaWali” salah satunya merupakan persembahan menyikapi pemilihan umum yang akan diselenggarakan dua tahun lagi.

Eko Winardi dalam teater Waliraja Rajawali karya Emha Ainun Nadjib yang dipentaskan di TIM Jakarta..
Foto: Adin (Dok. Progress)

Menghadirkan suguhan literasi politik dan sosial bagi siapapun saja yang menyaksikan, Mbah Nun menerangkan lewat lakon drama ‘apik’ penuh makna berkehidupan berbangsa dan bernegara. Mengenai bangsa Nusantara yang tangguh hingga massa bangsa Indonesia saat ini, liku-liku sejarah hingga kriteria kepemimpinan.

Panggung literasi politik dan sosial Mbah Nun bukan saat ini saja. Pengajian Padhangmbulan di Sumobito, Jombang tahun 1994 sudah menawarkan konsep-konsep berkehidupan masyarakat yang ‘melek’ politik dari ketidakadilan Orde Baru. Hingga berpuncak pada bulan Mei tahun 1998 di mana perumusan pernyataan sikap tidak setuju dengan keadaan sosial dan politik saat itu membuat Mbah Nun turun tangan ke ‘medan laga’ menumbangkan kekuasaan.

Bukan berarti setelah itu terselesaikan. Konflik kepemimpinan yang memikirkan golongan sendiri malah semakin menjadi, alih-alih Reformasi ternyata dicederai dan dinodai. Ini membuat Mbah Nun semakin memikirkan nasib masyarakat untuk memilih momentum menuju keselamatan ataukah kesengsaraan. Hingga mulai saat itu Mbah Nun memilih lebih menemani masyarakat membesarkan hati mereka, menghibur mereka yang ‘kesepian’, mengobati luka sampai detik ini ke pelosok-pelosok negeri.

Dalam sebuah kolom Agustus 1998, Mbah Nun mencermati masalah bangsa ke depan dimana seharusnya menuju ke perubahan besar ke zaman yang baru.

“Kita akan melihat, apakah bangsa Indonesia akan secara sangat serius dihancurkan oleh ‘hawa’ atau keterikatan yang berlebihan terhadap dunia. Oleh subversi antinasionalisme yang menomorsatukan egosentrisme golongan dan nafsu berkuasa pada diri kelompok-kelompok. Oleh kemesraan di depan dan tikaman di belakang”.

Nevi Budianto dan Puji Widodo dalam teater Waliraja Rajawali karya Emha Ainun Nadjib.
Foto: Adin (Dok. Progress)

Hingga saat ini fenomena tersebut tidak asing lagi terdengar di telinga anak cucu bangsa, terlebih menjelang ‘pesta besar’ 5 tahunan. Masih hangat perseteruan ‘cebong-kampret’ hingga ‘kadrun’ yang ternyata berakhir bersekutu. Entah fenomena apa lagi nanti dua tahun lagi, kita simak produk sistem demokrasi yang membumbui perpecahbelahan anak negeri, saling menyakiti, merendahkan satu dengan lainnya.

Kembali menurut Mbah Nun bahwa setelah berapa lama kita ucapkan di antara kita “Assalamu’alaikum warahmatullah wabarokatuh” yang artinya kita telah berjanji saling menyelamatkan. Namun praktiknya, kita saling mencelakakan.

Assalamu’alaikum adalah perjanjian sistem nilai. Adalah konsensus tentang bagaimana mengelola kesejahteraan nasional sejujur-jujurnya.

Pada Assalamu’alaikum itulah terletak metode dan formulasi bagaimana warahmatullah bisa diolah bersama-sama agar menjadi wabarokatuh. Allah telah menaburkan rahmat-NYA. Pulau Jawa adalah sepenggal surga. Indonesia memiliki aset alam yang tak tertandingi di bumi. Tapi kita memboroskannya, berfoya-foya, dan memonopolinya untuk menyengsarakan ratusan juta rakyat. Kita merusak kemanusiaan kita melalui politik yang hewani, rakus ekonomi yang iblisi, dan budaya yang penuh lahwun (senda gurau), la’ibun (main – main), dan dhulm (kegelapan). Maka produk pembangunan kita adalah pengolahan rahmah tidak untuk menjadi barokah, melainkan menjadi musibah atau bahkan adzab.

Perjalanan waktu membawa kita semua kepada arus sejarah, yang kita rasakan saat ini apakah menuju pembangunan atau kehancuran.

Kita tidak pernah punya program jangka panjang, cukup setelah event lima tahunan setelah itu bisa dilanjutkan atau malah dibubarkan. Sistem pendidikan terjun bebas merdeka tanpa arah di arus informasi dan pengetahuan global yang massif. Lahan hijau diganti ‘tanam’ semen, sementara rawa-rawa di buka dengan dalih kedaulatan pangan. Cukong dan bandar oligarki menjadi tuan rumah di negeri penggalan surga ini.

Joko Kamto dan RAy Sitoresmi Prabuningrat dalam teater Waliraja Rajawali karya Emha Ainun Nadjib.
Foto: Adin (Dok. Progress)

Dalam kalimat terakhir di majalah Gatra 24 tahun lalu, Mbah Nun bertutur :

“Bangsa kita sangat mungkin tak bisa menolong diri sendiri. Kita butuh Waliyullah atau Superman untuk menolong bangsa ini”.

Pada situasi saat ini apakah begitu sulitnya mendapati seorang pemimpin untuk tercipta negeri baldatun toyibatun? Atau malah sistem pencari pemimpin yang sulit mencari?

Kalau sistem sudah tidak bisa memungkinkan untuk itu, apakah perlu kesadaran revolusi jiwa dari pemimpin dan masyarakatnya?

Atau menunggu ‘kehancuran-kehancuran’ kembali agar lahir generasi baru bukan dari generasi ‘belatung’.

Exit mobile version