Agar Tak Salah di 2024, Dengarkan Pesan Maulana Iradat
Mensyukuri 16 Tahun BangbangWetan
Menginjak sesi Maiyahan, sebelumnya Bu Khofifah dan jajaran diajak KiaiKanjeng bernyanyi bersama medlei Nusantara dan lagu berbagai era.
Ada waktu satu setengah jam waktu untuk Maiyahan. Jamaah tidak membolehkan Bu Khofifah yang dipanggil “Mak” untuk pergi dari lokasi. Peristiwa tadi malam akan menularkan kenangan dan kebahagiaan yang akan menyebar ke seluruh wilayah Jawa Timur. Mbah Nun berharap Jamaah Maiyah yang datang untuk menularkan kebahagiaan dari Surabaya ke seluruh wilayah Indonesia.
Sebelum dilanjut ke Maiyahan, jamaah diajak menyimak pemutaran video perjalanan 16 tahun BangbangWetan. Menurut Mbah Nun, Bangbang Wetan ini milik kita dan negeri kita untuk berbagi kebahagiaan.
Mbah Nun menjelaskan kehadirannya yang mengisi hati jamaah, sehingga dipanggil Mbah. Mbah itu hubungannya rindu, kangen Mbah kepada anak cucunya. Mbah Nun senang dipanggil “Mbah” karena cinta dengan semua jamaah dan rakyat Indonesia.
Mbah Nun berharap kepada jamaah untuk tidak mengandalkan kekuatan melainkan kasih sayang pengayoman, sumbernya adalah cinta yang penuh.
Mereka warga negara yang dahsyat. Kuat Maiyahan sampai pukul 2 atau 3 dini hari. Ketika pulang, kalau melalui persimpangan jalan, kita berhenti ketika melihat lampu kuning. Karena di dalam pemahaman jamaah, lampu kuning itu sudah kuning, bukan masih kuning, sehingga membuahkan sikap segera berhenti ketika menghadapi lampu kuning menjelang merah. Bukan menerobos lampu merah.
Menjelang acara usai, Mbah Nun mengajak beberapa perwakilan pemain teater. Bu RAy. Sitoresmi Prabuningrat diminta bergabung duduk di samping Mak Khofifah. Perlu diketahui, Bu Sitoresmi ini adalah istri alm. WS Rendra. Beliau pada pementasan tadi malam berperan sebagai Ibu Pertiwi. Tadi malam beliau memerankan tokoh Ibu Pertiwi dengan penuh enerjik. Walau telah berumur 72 tahun, beliau tetap bisa memerankan lakon dengan baik dan tidak kalah dengan yang muda.
Bu Sitoresmi meyakini bahwa takdir hidupnya memang dilahirkan di atas panggung, yaitu seni peran. Mbah Nun mengajak Bu Sitoresmi untuk terlibat dalam memerankan berbagai tokoh peran.
Bu Sitoresmi memaknai keterlibatannya dalam WaliRaja dengan membuahkan pelajaran yang luar biasa. Secara substansi menjadi manusia yang ahsani taqwim, bukan malah menjadi manusia yang asfala safilin.
Mbah Nun berharap, kita yang hadir dapat menghadirkan kesadaran akal dan hati, ketika melihat pementasan tadi malam. Sehingga melahirkan pertanyaan dan pemaknaan terhadap apa yang kita lihat. Yang dimaksud perbedaan manusia dengan makhluk lain adalah keahlian memaknai.
“Bangbang Wetan harus jadi pelopor pemaknaan di hati dan kesadaran masyarakat. Sebab sesuatu itu kalau tidak bermakna, tidak akan dipakai.” Termasuk pementasan WaliRaja ini adalah cara yang berbeda dari Mbah Nun untuk memaknai Indonesia. (BangbangWetan/Amin Ungsaka dan Fajar Wahyoko)