Agar Tak Salah di 2024, Dengarkan Pesan Maulana Iradat
Para penonton pementasan WaliRaja RajaWali sudah duduk lesehan full memenuhi lapangan Tugu Pahlawan Surabaya. Kepada mereka diperkenalkan seluruh nama pemain dan pendukung Teater WaliRaja RajaWali yang sesaat lagi segera dimulai pementasaannya.
Di atas panggung, dua kain putih menjuntai ke bawah seakan menjadi latar fokus dari setiap pandangan mata penonton. Diawali suasana panggung yang gelap, lima orang penari memulai pementasan dengan tarian Cokromanggilingan. Dari gelap, perlahan lampu menyala menyorot panggung. Penari menari memutar, gerakannya tegas.
Tak lama kemudian, sosok anggun, Ibu Pertiwi, masuk menyenandungkan “Putra Putri Nusantara”. Dengan lagu ini, Ibu Pertiwi sedang mengungkapkan hatinya yang sedih, meratapi keadaan putra-putrinya, putra-putri Nusantara.
Rupanya lagu dan rapatan sedih Ibu Pertiwi terdengar oleh Pak Rajeg. Sosok lelaki yang tampak sebagai orang biasa. Terlihat dari celana, baju batik, dan peci yang dikenakannya. Tetapi, Ia masih ragu, dan bertanya-tanya, tetapi sekaligus malah langsung terbawa ke dalam kesedihan Ibu Pertiwi.
“Jangan-jangan hanya aku sendiri yang mendengar suara yang penuh kesedihan itu… Mungkin hanya rungon-rungonen. Atau aku mulai gila, saking mendalamnya kebingungan dan kesedihanku merenungi keadaan Nusantara ini… Jangan-jangan sebenarnya yang sedih adalah suasana hatiku sendiri, bukan nyanyian Ibu Pertiwi,” begitulah Pak Rajeg bergulat dalam dirinya.
Meneruskan perih hatinya, Ibu Pertiwi bertanya penuh gelisah dan mencari putra-putri atau anak-anaknya itu, “Kemana putra-putri Nusantaraku/ Siapa yang menculik mereka/ Siapa yang menyembunyikan mereka/ Siapa yang mengasuh mereka, yang mendidik mereka/ Yang mengasuh mereka sehingga menjadi bukan mereka lagi/ Siapa rombongan dari benua jauh itu/ Yang datang ke Nusantara membawa kebuasan dan jiwa barbar/ Yang mengajarkan kekuasaan dan kerakusan kepada putra-putriku.”
Ibu Pertiwi berbusana serba hijau. Busana yang dipakai lebih menyerupai selubung. Kepalanya mengenakan sebuah mahkota berwarna kuning keemasan.
Rupanya tidak hanya Pak Rajeg yang mendengarkan ratapan Ibu Pertiwi, tetapi adalah Maulana Iradat. Dari balik dua kain putih yang menjuntai dari atas itu, Maulana Iradat masuk dengan gerakan tarian bak malaikat. Ia memakai baju serba putih. Bila kedua tangannya terentangkan, baju putihnya akan tampak seperti sayap yang terkepakkan. Tampaknya Maulana Iradat adalah sosok yang paling sepuh di antara semua yang ada. Ia adalah pemimpin kasepuhan.
Kepada Ibu Pertiwi, Maulana Iradat berkata, “Jangan ragukan betapa mendalam nyanyian ratapanmu membenam ke lubuk jiwaku…”. “Jangan pernah goyahkan imanmu kepada mutlaknya cinta Tuhan. Matahari bukan tidak terbit. Ia hanya belum terbit”.
Tarian kuda lumping komunitas Lima Gunung masuk dari sisi kanan dan kiri panggung, menari dengan gerakan yang gagah perkasa khas budaya Jawa Timur, khususnya Surabaya.
Pak Rajeg menyusul masuk di tengah tarian kuda lumping. Kemudian, melihat tarian kuda lumping dari berbagai sudut panggung.
Ibu Pertiwi yang menyaksikan tarian dari jauh mengungkapkan bahwa tarian tersebut tampak tegas dan perkasa, tangguh dan digdaya. Kalau menyaksikan langkah dan pergerakan putra-putri Nusantara, rasanya mustahil ada bangsa lain yang mampu mengalahkan mereka.
Pak Rajeg mempertegas pandangan Ibu Pertiwi bahwa mereka cerdas, dinamis, dan gagah perkasa. Mestinya mereka adalah bangsa adikuasa. Tidak mungkin bangsa Nusantara berwatak rendah diri. Tidak mungkin ada yang sanggup memperbudaknya.