Tak Sekadar Trend Pembalikan Nilai, Sinau Bareng Sengkuni
Dunia saat ini sedang mengalami kembali pembalikan nilai baku. Di setiap masa sejak dulu ketika dunia sedang pada titik puncak kejenuhan peradaban, maka selalu terjadi pembalikan nilai itu. Setelah sekian lama peradaban kita berjalan dengan penuh uswah heroik dari berbagai kisah, sekarang orang sudah tidak begitu tertarik dengan heroisme seperti itu. Manusia makin rasional, tapi ini juga perlu dilihat ada sisi positif dan negatifnya.
Kita perlu tarik sedikit ke belakang, sejak merebaknya trend bentuk nation-state sejak itu pula wacana pahlawan negara atau pahlawan bangsa digelontorkan. Sosok-sosok yang dianggap berkorban demi nilai-nilai bangsa dan negara, karena Amerika Serikat berasal dari berbagai jenis latar belakang orang maka mereka perlu membikin-bikin narasi kepahlawanan yang meyakinkan masyarakatnya bahwa mereka adalah satu bangsa yang pernah mengarungi dan mengalami pengalaman sejarah bersama-sama. Trend nation-state, kita tahu kemudian kita adopsi komplit sepaket dengan demokrasi dan berbagai atributnya. Termasuk di dalamnya wacana mengenai pahlawan nasional. Selama ini, sejarah kita berjalan dengan lurus-lurus saja, bahwa kita dijajah Belanda (yang berarti dia antagonis) dan muncul tokoh-tokoh hero yang membela masyarakat menghadapi penjajahnya (protagonis). Tapi sekali lagi, manusia makin rasional, orang makin sulit percaya bahwa segala pilihan perjuangan hanya dilakukan atas dasar kepedulian dan demi nilai-nilai mulia yang abstrak.
Kalau memang perlu kita merujuk pada industri hiburan dunia, Hollywood misalnya, trend ini sudah marak dalam satu dekade belakangan dan makin memuncak dua-tiga tahun terakhir. Bukan berarti di zaman dulu tidak ada, kesadaran untuk menampilkan tokoh antagonis yang punya sisi baik bisa kita temukan juga pada era Chaplin mulai ‘berdamai’ dengan teknologi film bersuara pada Monsiour Verdoux dan tentu sebelum itu juga sudah ada, tapi itu belum bisa kita sebut trend yang dianut mainstream. Memang pembentukan satu nilai dan juga pembalikannya akan terjadi berangsur-angsur, di sinilah kita berada sekarang; titik kejenuhan pada tokoh baik hati tanpa cela dan tokoh jahat tanpa nilai kebaikan sama sekali. Maka pertanyaanya, apakah #Sengkuni2019 ini hanya bagian dari terseret arus besar mainstream dunia? Apakah dia hanya sekadar pembalikan antagonis-protagonis kepada protagonis-antagonis?
Trend ini mungkin memang lahir ketika manusia sudah semakin rasional, ada sisi perbaikan kesadaran di situ namun di satu sisi juga ada sisi pesimistis yang mengiringi. Manusia menjadi tidak begitu percaya pada nilai-nilai keksatriaan. Keikhlasan perjuangan hanya dongeng hiburan, begitu mungkin pikiran orang sekarang. Akan menjadi persoalan kalau pesimisme ini dianut oleh orang-orang yang memangku kebijakan. Post-truth belakangan ini kita lihat, bukan diakibatkan karena orang percaya pada kemuliaan kubunya, tapi justru karena tidak percaya bahwa ada golongan yang memang benar-benar sejati dalam perjuangan.
Presiden negeri seberang beberapa bulan lalu dalam pidatonya mengutip Thanos, beberapa hari lalu mengutip Game of Thrones. Thanos kita tahu adalah super villain-nya Marvel, dengan nilai nihilistik, niat baiknya diupayakan dengan cara membinasakan separuh penduduk alam semesta. Kemudian Game of Thrones juga akhirnya dikutip, yang kita tahu dalam series tersebut kita dihadapkan pada persoalan pelik siapa sebenarnya yang benar dan siapa yang salah, walau tentu hingga pada season ini keluarga Stark mungkin paling banyak mendapat dukungan dari para fans. Jadi, apakah kita akan menjadi masyarakat yang anti-hero?
Tanggal enam belas Oktober, kemarin sesungguhnya kita sedang memperingati dua prajurit yang tewas dihukum mati di Singapura karena misi pengeboman yang gagal di negara tetangganya itu. Dulu orang akan tetap “right or wrong is my country” tapi itu sudah tidak tampak sekarang, sulit bagi manusia zaman sekarang untuk mengakui bahwa operasi yang andai berhasil akan menewaskan rakyat sipil itu adalah sebuah peristiwa heroik. Tapi dua serdadu itu, hanyalah pion.
Kesadaran serupa sebenarnya dalam sosial-politik kita juga terjadi. Walau narasi-narasi pembelaan terhadap dukungan politik bermunculan, tapi kita tahu belaka, bahwa tak satu sekalipun dari mereka yang terlibat di dalamnya sudi untuk percaya bahwa kubu yang mereka bela adalah kubu yang bersih, mulia, suci dan jujur. Politik kita berjalan dengan nalar “lesser of two evil”, ibarat dalam dunia advertising dulu orang berlomba jualan kecap nomor satu, sekarang yang muncul adalah narasi “kecap kami hanya nomor tiga, tapi yang nomor satu dan dua kan Sengkuni”
Kubu-kubu politik kita bukan disatukan atas dasar keselarasan perjuangan lagi (kapan pernah?), tapi sekadar sekarang ini atas dasar kesamaan musuh (kapan enggak?). Itulah sebabnya, potensi konflik paling mengerikan bukanlah antar kubu yang sedang bersaing menduduki singgasana #Sengkuni2019 nanti, tapi justru adalah di dalam tubuh satu kubu itu sendiri yang tersimpan bara dalam bensin yang siap meledak ketika siapapun nanti akan menaruh bokongnya di singgasana tersebut. Dan kita tahu, empunya bokong di singgasana itu bukanlah yang benar-benar mengontrol gerak, sikap dan tingkah lakunya. Degradasi peradaban kita sudah semakin gawat dari hari ke hari.
Sejauh yang kita bisa baca dari prosesnya, #Sengkuni2019 ini bukan sekadar ikut-ikutan trend pembalikan nilai antagonisme. Lebih dari itu, dia dipilih untuk dipentaskan pada puncak lontaran saling serang antar kubu, saling tuding dan saling menyengkunikan diarahkan membabi buta kepada siapa saja yang tidak sepaham. Orang makin murah mengatakan “Sengkuni” pada seberangnya, tapi belum pernah benar-benar mau belajar bersama, sinau bareng, mencari titik temu atau bahkan sekadar bertanya kenapa Sengkuni menjadi Sengkuni? Rasanya #Sengkuni2019 lebih tepat kita artikan sebagai ajakan untuk mau berbesar hati menerima siapapun untuk diajak bersama menggali, sinau bareng.