Solusi Sengkuni
Sehabis nonton pentas Sengkuni, sejumlah penonton menggugat: “Apa solusi yang ditawarkannya?”
Satu pertanyaan itu dijawab oleh Sengkuni dengan tiga pertanyaan balik:
“Solusi untuk masalah apa? Goal atau pencapaian apa yang dimaksud sebagai solusi? Solusi untuk siapa? Bangsa dan Negara? Ummat manusia sedunia? Masyarakat di tempat pementasan?”
“Apakah sebuah pentas teater 2,5 jam dengan latihan 3 bulan mampu memberikan solusi bagi kehancuran 7 abad? Apakah teater dan kesenian disertifikasi sebagai kegiatan yang punya ekspertasi dan kompetensi untuk mencari dan memberikan solusi bagi kompleksitas permasalahan zaman? Emang tidak ada Kitab Suci, tidak ada buku-buku besar para Profesor dan Doktor, tidak ada Filosof Negarawan atau Intelektual Begawan, atau Syekh dan Masyayikh, Maulana Mawalina, Mursyid dan Guru-guru Bangsa — sehingga mengemis solusi kepada Sengkuni?”
“Siapa yang menugasi Teater Sengkuni untuk mengatasi masalah Ummat manusia? Siapa yang membiayai pekerjaan raksasa itu dan diupah berapa para pekerja Sengkuni? Apakah pentas 2,5 jam teater itu Debat Calon Presiden, yang wajib menguraikan solusi-solusi masalah senegaranya? Apakah Sengkuni2019 itu Pemerintahan? Lembaga Negara yang dipercaya dan difasilitasi oleh APBN dan Bank Dunia? Kenapa tuntutan tentang solusi Peradaban itu tidak ditagihkan kepada Presiden, Kabinet, DPR, semua lembaga bayaran lainnya, termasuk ke PBB, LSM, SAR, Ormas, NU, Muhammadiyah, MUI, Dompet Dhuafa dan ribuan satuan-satuan sejarah lain yang minta biaya dari rakyat?”
Ternyata tiga pertanyaan balik itu memuat sangat banyak pertanyaan yang dimuatnya. Dan sesungguhnya di dalam satu muatan pertanyaan dari satu pertanyaan, terkandung juga ratusan ribuan pertanyaan lainnya.
***
Tapi, sekadar iseng-iseng di kendaraan Yogya-Surabaya, siapa tahu dari lakon teater SENGKUNI2019 bisa dipetik tawaran solusi-solusi untuk perubahan manusia, zaman dan peradaban. Mau memetik 100 solusi, 10 solusi, atau 0 solusi, bisa semua. Bergantung tingkat resolusi berpikir, daya renung dan analisis yang ada pada pencari solusi.
Ambil satu contoh saja, tapi dengan kandungan berpuluh-puluh solusi di dalamnya.
Pertama, perombakan cara pandang terhadap suatu bahan sejarah, dalam hal ini tentang ketokohan Sengkuni, baik yang bersifat teknis sampai yang kedalaman dan eksplorasi keluasan nilai-nilai yang dikandungnya.
Salah satu sebab kemadekan, kebuntuan dan kemunduran hidup manusia dalam peradabannya adalah sikap jumud. Tidak berani berpikir alternatif. Tidak punya tradisi fenomenologi. Tidak ada gairah untuk berijtihad. Tidak berani berbeda. Tidak mempelajari luasnya semesta kemungkinan-kemungkinan.
Bahkan sudah memproklamasikan kemerdekaan RI saja lantas yang dikerjakan adalah ketidak-merdekaan berpikir. Copas jadi Republik. Taqlid materialisme. Tidak menegakkan kepribadian bangsa Indonesia dengan tujuan hidupnya sendiri, dengan harga diri kesejarahannya sendiri, dengan nilai-nilai kehidupan, kebudayaan dan peradabannya sendiri.
Itu pun taqlid, plagiat pembangunan atau copy paste niat dan tujuan tidak benar-benar untuk kepentingan rakyat dan Negaranya. Melainkan, sampai 70 tahun lebih, untuk kepentingan para petingginya, pejabatnya, pemegang kekuasaannya, dengan kartel-kartel pamrih dan mafia-mafia nafsu di antara para elite dan menengah itu.
***
Silakan mengeksplorasi sendiri tema mendasar yang menjadi sumber keterpurukan bangsa ini. Belum lagi kejumudan dan ultra-konservatisme dalam melihat, menyikapi dan menjalani Agama. Atau sebaliknya, keliaran dan kesemberonoan yang liberal tanpa nalar dalam mengaplikasi kebudayaan, industri kapitalisme dlsb yang menjadi “Agama” di seluruh sektor: Pemerintahan, Kelembagaan apapun, bahkan Istana dan Rumah-rumah Ibadah.
Atau mau dikupaskan juga buah-buah solusi lain dari Sengkuni untuk kehidupan pribadi? Kehidupan berkeluarga? Cecikal bebakal tetinggal? Keluarga Rahmah, Mawaddah dan Sakinah? Untuk ketepatan dan keseimbangan berbangsa dan bernegara? Untuk berhitung tujuh putaran dalam menjalani perang jangka panjang? Hal budaya rendah menderet Assalamualaikum hingga Om Swastiastu dan Wei De Dong Tian?
Berapa persen dari seluruh jumlah grup teater di Indonesia yang punya tradisi menuliskan dan mementaskan karya orisinalnya sendiri, tidak copas Shakespearian, tidak berdiri sebagai “orang Barat” yang mementaskan teater di Indonesia?
Atau nggak usah jauh-jauh luas-luas tinggi-tinggi hebat-habat: batasi tawaran teater Sengkuni di lokal area jagat Pewayangan dan Pedalangan saja. Seberapa lama, seberapa luas, seberapa mendalam dan seberapa eksplorasi sudah mempelajari Wayang? Sudah punya prinsip pengetahuan tentang Pakem dan Carangan? Sudah punya data dan daftar tentang apa saja yang Pakem dan apa lainnya yang Carangan?
Bagaimana posisi Sengkuni2019 di area itu? Solusi apa dan bagaimana serta untuk apa yang ditanyakan?
Yk-Sby 6 Maret 2019