Set Kèrètan Sengkuni dan Gedung Kesenian yang “Fiqih-Minded”
“Semua membutuhkan segalanya, karena hidup ini bulat utuh,” begitu kira-kira isi dialog Mas Timsuk kepada Mas Bagus, dalam Pentas Sengkuni2019. Pentas hari kedua di Surabaya baru saja rampung. Bila kita bicara pentas maka segala yang berada di atas panggung sama penting dan sama krusialnya. Set Sengkuni2019 cukup minimalis dengan perubahan-perubahan fungsi dari benda-benda yang sama. Sutradara, Pak Juju Prabowo dengan cerdik dan lihai menemukan keindahan dan kegembiraan dengan cara mengadegankan proses perubahan tata letak set dan bukannya memanfaatkan tenaga kru.
Kursi kayu kotak dan meja cukup bisa diolah mengembara ke berbagai kemungkinan. Dari menjadi tempat disembelihnya saudara Sengkuni hingga menjadi panggung tempat Mas Bagus latihan pidato, semua dengan benda yang sama namun penyusunan berbeda.
Satu yang mungkin akan sangat membekas pada penonton adalah set yang menemani monolog Sengkuni di ujung pementasan. Ketika pada awalnya khusyuk, ketika Pak Kandeg “mewariskan” ilmu kesejatian berupa falsafah angadek, arruku, allungguh hingga assujud sampai memuncak “Kulemparkan kamu ke Padepokan Sengkuni Raya!”. Mas Bagus dihempas, dan panggung juga melempar jauh menyeberang dimensi. Perubahan nuansa yang drastis, ini radikal! Entah teori peralihan adegan macam apa yang mengizinkannya, tapi Sengkuni2019 memang bermain di luar batas-batas pakem dan madzhab.
Seketika susuran berwarna putih turun menggarisi panggung. Bantuan lighting dari Pak Wardono mempertajam sayatan, tim musik TawoNdas (Pak Jijit, Pak Joko SP dan Mas Widie) memecahkan suara yang membahana dan Sengkuni menyeruak dengan lengkingan maut menerjang batas. Susuran itu adalah kain yang dibuat menyerupai tambang, diberi pemberat dibawahnya dan turun seperti teralis penjara. Dan Sengkuni melejit dari baliknya. Seolah Sengkuni sedang melabrak teralis-teralis dalam pikiran manusia.
Adalah Kartiko yang bertugas menurunkan set “tali-tapi-bukan-teralis-bukan-tapi-bisa-juga-begitu” itu dengan alat keretan gulungan tali. Proses turunnya susuran harus pas, terlalu menggantung akan membuat kesan benda yang mengalun melambai sehingga terlalu lembut tapi kalau terlalu jatuh, suara gedebuk akan merusak nuansa sound. Kartiko di belakang panggung sangat konsentrasi detik per detik. Apalagi pada pentas di Surabaya Kartiko tidak bisa melihat ke arah panggung, mungkin dialah yang paling bertapa selama pementasan berlangsung.
Di atas, sebenarnya ada gulungan yang terbuat dari besi dan kayu. Mari kita tidak berfilsafat-filsafat teater lagi, kalau yang tadi sudah terlanjur. Kita lihat teknis. Bagaimana menaikkan, menurunkan dan memboyong benda tersebut? Yang pasti sangat menantang.
Pada lini tim set dan properti, ada Pak Bambang dan Kartiko serta Mas Kumbo yang memerankan Punar juga lebih sering mengerjakan set.
Pada pementasan di Yogya, walau berat dan berpeluh namun soal set ini tidak begitu bermasalah. Sekali dua kali ada persoalan teknis namun bisa diatasi sebelum GR. Tapi Balai Pemuda Surabaya adalah medan tempur lain lagi, gedung ini sangat ‘fiqih’ penuh aturan halal-haram sedangkan jalur keluar masuk set dan peralatan sangat sempit. Sementara bar-bar lighting di langit-langit tidak boleh digeser walau hanya sedikit, di belakang panggung tidak boleh merokok, tidak boleh makan dan minum. CCTV mengintai di mana-mana seperti tuhan-tuhan kecil yang mengancam. Pentas apapun, semua pemain pasti butuh minum. Pihak manajemen gedung mungkin masih kurang referensi mengelola pementasan, wajar mereka kan CCTV. Pasti bukan manusia yang menegakkan aturan kaku baku ini. Hampir pasti produk NKRI bukan Surabaya apalagi Nuswantoro.
Tali keretan melewati beberapa bar lampu di langit-langit, salah sedikit keretan bisa macet. Bar lighting tidak mungkin, tidak bisa dan tidak boleh diubah sedikitpun. Semuanya sudah pakemnya. Petugas keamanan gedung hanya menjalankan tugas dan kita tidak bisa menyalahkan mereka. Istilahnya Pak Katib, “Saya ini kan hanya aparatus, petugas yang menjalankan SOP pak.” Pada malam pementasan pertama, Mbah Nun langsung menyampaikan keluhan ummat ini pada perwakilan dinas pariwisata. Semoga nanti Balai Pemuda menjadi lebih fleksibel. Serius deh, kayaknya Broadway juga ndak gini-gini amat.
Tapi semua diakali dengan kebersamaan dan gotong-royong. Teman-teman panitia Surabaya sigap membantu. Untuk mengeluarkan benda keramat keretan Sengkuni ini, jendela besar di belakang panggung dibuka, beberapa orang menunggu di atap bangunan sebelah dan lainnya menunggu di bawah. Dan benda berbentuk batang tabung seukuran pilar bangunan raksasa pun dioper dari tingkat ke tingkat, pelan. Hati-hati karena tidak ada pengaman apapun.
Karena benda raksasa ini harus masuk ke bagasi bus maka dia dipotong dengan gergaji besi. Itu memang sejak berangkat dari Yogya sudah dipotong namun disambung lagi.
Pada malam setelah pentas, agar para pemain bisa beristirahat dengan lekas. Tim set bergerak cepat, gotong royong nyengkuni eh nyengkuyung pekerjaan ini berjalan dengan tanpa halangan apa-apa.
Benda ini buat saya pribadi sangat bernilai. Dia membuat Sengkuni2019 sangat kaya untuk ditadabburi. Apakah susuran itu dimaknai sebagai teralis penjara? Atau sebagai tirai? Selaput? Atau tali gantungan? Macam-macam versi tadabbur. Pak Joko Kamto sendiri tak kekurangan energi kreatif, satu set itu beliau olah sedemikian rupa di panggung. Dimainkan, dikhalifahi dengan total. Pak Joko Kamto benar-benar maestro dan saya bersyukur bisa menyaksikan legenda teater ini beraksi. Harga tiket VVIP di Surabaya mencapai satu juta rupiah, banyak yang bilang seharga tiket konser Megadeth atau mungkin lebih. Tapi kalau saya seorang yang benar-benar mendalami teater, bahkan lebih dari itupun akan saya usahakan menyaksikan. Menimbang banyaknya ilmu kehidupan dan ilmu teater yang bisa didapat pada Sengkuni2019.