Sepotong Dunia Sengkuni
Mula-mula susur galur berjuta kisah kehilangan arah adalah sejarah yang berdarah. Kelemahan akan kalah oleh kemenangan, tapi kemenangan bisa kalah oleh siasat. Demikianlah benih malapetaka tumbuh menjadi khazanah masa silam yang disamarkan dan disumirkan oleh para penguasa atas nama ilmu pengetahuan, alih-alih ketidaktahuan. Hasilnya? Satu anasir malapetaka yang lebih berbahaya dari bencana kebohongan: kemunafikan!
Lantas, apakah moral dan budaya dapat menghadirkan kisah silang sengkarut itu menjadi suatu pembelajaran yang baik (untuk tidak menyebut benar), atau malah menjadikannya semakin pelik (untuk tidak menyebut keliru) bagi kehidupan umat manusia di masa mendatang?
Sengkuni… Sengkuni… Inilah: Sepotong Dunia Sengkuni.
Tragis! Penderitaan Sengkuni telah melahirkan tragedi politik yang terus saja terulang berkepanjangan. Tapi, penuturan tentang Sengkuni yang dikenal luas di Nusantara belum menggali asal-usulnya yang terbenam, terpendam, dan terlindas itu. Selama ini ia digambarkan sebagai yang terlihat, sementara yang tidak terlihat darinya diabaikan. Jagat pewayangan di balik kelir menampilkan sosoknya sebagai satu sisi, versi demi versi yang relatif. Sangkan paraning dumadi Sengkuni di masa lampau tak dijangkau.
Setelah berabad-abad, Cak Nun, di tahun 2019 mengungkap siapa sejatinya tokoh legendaris dalam wiracarita Mahabharata anggitan Begawan Byasa (Vyasa) dari India itu. Sengkuni yang identik dengan kecurangan, kelicikan, kedengkian, provokasi, keculasan, serta berbagai watak buram jiwa manusia yang abadi di dunia politik kembali diselisik. Sengkuni 2019, demikianlah tajuk kisah yang digelar Teater Perdikan di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta tanggal 12 dan 13 Januari 2019 besutan sutradara Jujuk Prabowo.
Sayatan rebab bertalun-talun di panggung yang jumud. Kursi tersusun—tentu ini adalah simbol kekuasaan panggung politik, bersanding dengan rehal berukuran besar—ini juga simbol yang menarik berkaitan dengan keberadaan naskah babon sebagai pedoman pergelaran panggung sandiwara. Politik dan sandiwara menjadi dua kata kunci guna membuka pintu-pintu ilmu dalam pementasan Sengkuni 2019 ini.
Bukankah politik dan sadiwara sudah lama berada dalam satu panggung? Konon, teater menemukan bentuknya pada zaman Yunani dan Romawi sejak sebelum tahun masehi. Dan sebagaimana kita ketahui—jika benar demikian, sejak masa awal kehadirannya teater sudah tampil dengan drama-drama tragedi politik kekuasaan. Nah, Sengkuni 2019 memiliki corak yang tegas lekat dengan ontran-ontran panggung sandiwara politik di Indonesia kini. Jelas, perkara pemilu di negeri ini, yang konon merupakan perwujudan dari pesta demokrasi, yang panggung megah kontesnya digelar April 2019 nanti, merupakan konteks yang tidak perlu dibicarakan lagi. Cetha wela-wela, bagi yang masih memiliki akal sehat pasti sudah muak menyaksikan muka politik yang wagu dan saru itu.
Gara-gara Sengkuni?! Entah mengapa dalam khazanah politik di Indonesia nama Sengkuni senantiasa dicatut, dikatut-katutke, diikut-ikutkan sehingga viral. Padahal, konon ia sudah meregang nyawa di tangan Bima saat Baratayuda. Apakah jiwanya yang melayang-layang di atas daratan keadilan Padang Kurukshetra dan tinggal di angin yang bertiup telah sampai di Indonesia setelah para dalang mencemarkan nama baiknya? Kisah pewayangan—meski tidak semua penduduk Indonesia mengerti dan paham, seolah telah menghadirkan Sengkuni menjadi karib dengan pergelaran politik. Sehingga, nama pengasuh Korawa itu senantiasa disebut-sebut setiap ada tokoh politik yang nilai perilakunya dianggap nyengkuni.
Maka Sengkuni 2019 karya Emha Ainun Nadjib hadir dengan pertanyaan sekaligus jawabannya; “Kamu pernah menderita apa sehingga tega berbuat sedemikian lalim kepada rakyatmu sendiri? Apa Sengkuni? Adalah darah kotor di dalam diri setiap manusia. Kanker ganas di dalam darah setiap kumpulan Masyarakat dan Negara manusia. Siapa Sengkuni? Jawabnya: Siapa yang di dalam dirinya tidak ada bakteri Sengkuni? Apa ada politikus yang bukan Sengkuni? Para Sengkuni yang mengendalikan Negara saling menuding Sengkuni satu sama lain. Itulah Kesadaran 2019 Bangsa Indonesia.”
Teater esai Sengkuni 2019 karya Cak Nun ini mengajak kita untuk mengembalikan esensi khitah politik dan makna demokrasi. Cak Nun dengan cerdik menyampaikan kritik dan menghardik para elite politik. Cak Nun dengan cantik mengajarkan cara menjawab soal-soal politik lewat secarik risalah demi selesainya masalah dan terwujudnya Indonesia yang baldatun, thayyibatun, wa rabbun ghafur.
Cak Nun menghadirkan simbol-simbol kompleksitas kondisi situasi yang terjadi di masyarakat hari ini dengan kemasan apik olahan Jujuk Prabowo sang sutradara pementasan. Masa lampau dan masa kini, orang tua dan orang muda, dunia ideal dan dunia radial, semesta wayang dan semesta dalang diramu sedemikian rupa mewujud sebagaimana falsafah Ngelmu Katon. Terkuaklah segala hal yang barangkali tak pernah dipikirkan oleh kebanyakan orang mengenai Sengkuni dan situasi politik di Indonesia saat ini.
Formula pertunjukan Sengkuni 2019 mengadaptasi pola pergelaran wayang berupa fragmen-fragmen adegan yang dihubungkan sehelai benang merah masalah. Tokoh utama kita menguasai panggung pentas dengan dua wajah, sebagai Sengkuni sekaligus sebagai Narator. Ia membuka lakon ini dengan adegan dramatik pengorbanan dinasti Subala demi Gandhari sebagai alasannya. Sosok Gandhari yang dingin hadir dengan kesunyiannya.
Angan-angan bahwa penonton akan dibawa masuk ke dunia dalam diri Sengkuni buru-buru ditutup pintunya oleh Pak Khatib (Eko Winardi) yang datang di sela adegan duka nestapa itu memanggul kitab babon wiracarita yang akan dipergelarkan. Diletakkannya kitab itu di atas rehal. Sebagai utusan Kiai Mbeling Emha Ainun Nadjib selaku penulis naskah, kehadirannya mengingatkan Narator untuk kembali kepada pakem lakon yang seharusnya dipentaskan. Tapi kali ini sebagai Narator ya sebagai Sengkuni ia (Djaka Kamto) bisa menjalin jalannya cerita semaunya sendiri.
Segerombolan Bajubarat berbondong-bondong melintas. Sebuah adegan menampilkan Pak Kandheg (Novi Budianto) sedang ngudar rasa bersama Ki Sada Gati (Doni KiaiKanjeng). Seperti adat kebiasaan sesepuh dan pinisepuh, kalau sudah bertemu tentu saja yang dingrembug adalah sakit rematik atau babagan politik. Pelajaran politik membongkar taktik dan trategi lengkap dengan kegelisahan-kegelisahannya disampaikan Pak Kandheg dan Ki Sada Gati. Jagat pratingkah, kecemasan berbangsa dan bernegara, dan ujungnya adalah gara-gara Sengkuni menjadi topik perbincangan yang asyik keduanya. Bahwa pemimpin (apalagi calon pemimpin) sebuah negeri bukanlah nabi yang suci sehingga mesti didukung dan dibela mati-matian seakan dia makhluk yang paling benar. Rakyat harus bisa berlaku netral untuk tidak menjadi bagian keduanya meski tetap memilih salah satunya.
Tetapi, bukankah tidak ada yang tidak paradoks di dunia ini? Dikisahkan bahwa Bagus, anak Pak Kandheg njago jadi caleg. Masuk pasar bebas politik, bagi Pak Kandheg, sama saja dengan memperdagangkan kebangkrutan bernama kekuasaan yang bakal membuat manusia mengingkari nilai-nilai kemanusiaannya. Sementara itu, Bagus (Margono W.) didampingi dan didukung Timsuk (Agus Istijanto) tampil percaya diri sebagai seolah-olah salah satu Pandawa meski berhati Sengkuni. Pokoknya, ia jangan sampai tampil dengan gestur, sorot mata, mimik muka yang nyengkuni!
Bagus ialah gambaran zaman citra visual yang propagandis. Pencitraan diri hanya terjadi pada orang-orang yang tidak tahu diri. Mereka tidak paham bahwa masyarakat dengan kesadarannya amat sangat muak dikibuli para politisi. Selama ini rakyat bahkan tidak pernah merasakan hadirnya negara, karena yang disajikan adalah pemerintah. Demikian sebuah dialog menjelaskan keprihatinan yang terjadi.
Wawasan (untuk tidak menyebutnya sebagai wacana) politik dalam kisah keluarga Pak Kandheg merupakan ajakan dan ajaran untuk merenung dan menyadari bahwa ada yang tidak pas dan pantas dalam patembayatan bernegara di Indonesia saat ini. Tapi, berdasarkan pedoman naskah babon pentas tersebut, warga masyarakat Indonesia memang dibuat untuk seharusnya tidak merenung dan menyadarinya. Narator tahu bahwa apa yang telah disampaikan oleh Pak Kandheg dan Ki Sada Gati itu jelas-jelas keliru, menyimpang dari rel sehingga harus direm.
Alur lakon ini tidak saja hanya menampilkan kisah realitas dalam keluarga, namun juga budaya sosial. Gambaran generasi milenial, hadir dalam adegan Kizano. Babak ini juga menampilkan sisi yang paradoks. Generasi kiwari yang rabun sejarah diperankan oleh emak-emak yang cenderung ganjen tinimbang tampil centil untuk peran ala kids zaman now. Simbol generasi kekinian itu jadi semacam Limbukan dalam pergelaran wayang kulit meski kali ini tanpa hiburan lagu campur sari atau dangdut koplo. Bedanya lagi, mereka ‘menyusup’ ke atas panggung dengan pengetahuan cerdas soal Sengkuni dan pernak-pernik politik negeri ini, walaupun keberadaannya adalah carangan dari kisah keluarga Pak Kandheg yang tentu saja tidak ada dalam naskah babon yang dibawa Pak Khatib dan dibaca Narator.
Lagi-lagi segerombolan Bajubarat berbondong-bondong melintas dan menyanyi-nyanyi menyebut-nyebut nama Sengkuni. Kehadirannya di sela setiap fragmen disusul Narator dan Pak Khatib sedari awal tampil karikatural. Barangkali mereka adalah gambaran dunia animasi yang lebih nyata adanya dalam kehidupan manusia berwajah gawai di zaman postmodern ini.
Khas Cak Nun, tak ada satu tokoh pun yang bodoh. Dialog-dialog para tokoh melampaui logika pemikiran umum. Argumen-argumen penegas melandasi dialog yang mungkin saja bertolak belakang dengan pandangan wajar. Kita akan dibuat berkrenyit, tersenyum (meskipun masam), bersungut, dan merengut, juga bersedih. Dan benar kata Simon Hate, “Naskah ini mengajak penonton untuk berpikir ulang atas tindakan atau pilihan yang kini mereka yakini sebagai kebenaran.”
Tentu saja saya bukanlah orang yang kewanen merasa bahwa di dalam diri saya telah merasuk ruh Sengkuni. Selama ini, saya barangkali juga kita adalah yang tergambar sebagai gerombolan Bajubarat dalam pentas Sengkuni 2019. Bertopeng, bersenjata, dan berteriak-teriak. Pekik-pekuk makhluk-makhluk yang tak jantan dengan senjata pendek saja di genggaman itu sunguh pun bukanlah suara, melainkan hanya bunyi. Bukanlah voice, hanyalah noice. Ialah tong yang apabila kosong nyaring bunyinya dan yang apabila isi banyak sampahnya!
Walhasil, ceracau dan bau busuk politik menguar ke segala aspek hingga sesuatu yang suci bisa terpolitisasi, terkriminalisasi, terindustrialisasi, dan ter-isasi-isasi lainnya. Geng-gengan atas nama agama pun tak terelakkan lagi. Terciptalah perang abadi. Di situlah orang-orang mengambinghitamkan Sengkuni. Menuduh dan merasa bahwa di dalam tubuh setiap manusia mengalir darah kotor Sengkuni. Tapi saya yakin Sengkuni emoh, tentu saja ia tidak level jika harus merasuki jiwa-jiwa rakyat jelata yang tidak jelas ideologinya seperti kita.
Tahukah para penuduh itu, Sengkuni tidak seperti yang mereka sangka. Sengkuni bahkan tidak ingin ada seseorang maupun banyak orang yang mengikuti jejaknya. Sebab, tidak ada seorang pun yang sanggup menjadi Sengkuni, jangankan menjadi, untuk seperti saja tidak ada yang akan sanggup. Jika ada yang merasa memba-memba Sengkuni, ia sesungguhnya baru sampai di permukaan dan tidak akan mencapai ke kedalamannya.
Yang dilakukan Sengkuni adalah pengabdian. Sengkuni tidak sedang gila kekuasaan. Bahkan ia menanggalkan gelar raja dan meninggalkan Kerajaan Gandhara (kini menjadi wilayah Afganistan utara dan Pakistan timur). Ia bukanlah seseorang yang berpura-pura, jelas posisi patih Kerajaan Hastina itu berada di pihak Korawa. Tapi…
Yang dibela Sengkuni adalah kesetiaan. Satu alasan baginya, ialah Gandhari dan keluarga besarnya. Ia temani kepedihan Gandhari; prinsip mendasar yang membuat Sengkuni amat sangat berbeda dengan bayang-bayang yang mengikuti di bawah telapak kakinya selama ini dalam pengetahuan masyarakat. Bahwa tidak ada penderitaan di muka bumi ini melebihi penderitaan keluarga Sengkuni. Bagaimana tidak, Gandhara mesti bertekuk lutut di hadapan Hastina. Sengkuni bersama seratus saudara laki-lakinya dipenjarakan dan masing-masing hanya diberi sebutir nasi sehari. Demi Sengkuni, setiap butir nasi itu dikumpulkan saudara-saudaranya. Dan demi Gandhari yang dinikahkan dengan Drestarasta lantas ‘membutakan’ matanya, Sengkuni menerima pengorbanan sang ayah (Subala) beserta seratus saudara laki-lakinya itu. Betapa yang terjadi sesungguhnya adalah pengorbanan demi pengorbanan yang getir, direndahkan, ditindas, dan binasa.
Tapi…. Tapi Sengkuni sesungguhnya sangat mengagumi Pandu. Dan Gandhari ialah hak mutlak Pandu, bukan Drestarasta! Ia mendambakan bahwa Gandhari seharusnya dinikahkan dengan Pandu. Diyakini Sengkuni, jika Gandhari menikah dengan Pandu maka akan lahir satu dinasti yang luhur, keluarga teladan bagi seluruh umat manusia. Namun, cita-cita yang mulia itu hanya jadi mimpi semata.
Yang dikehendaki Sengkuni adalah hak demi kemuliaan dinasti dan kerajaannya, bukan jabatan kekuasaan. Oleh karenanya, ia rancang bangunan keropos kekuasaan Hastina di tangan Korawa yang dengan perlahan, hati-hati, namun pasti akan tumbang. Ia tidak bisa disamakan dengan para pembisik yang tampak ambisinya. Di dalam kisah Mahabharata, Sengkuni sang Dewa Judi pemegang dan pengendali dadu yang terbuat dari tulang ayah dan saudara-saudaranya sendiri. Konon ia punya pasukan sejuta ular yang dipimpin sembilan naga raksasa (sesuai jumlah temali yang menggelantung dan membelit di akhir babak) meski tak ditampakkan dengan jelas wujudnya. Ia perancang rekayasa tragedi Bale Sigala-Gala yang dibakarnya sendiri tapi menuduh pihak lain. Sampai di sini, adakah yang masih merasa telah menjadi atau seperti Sengkuni?
Kejahatan yang dilakukan Sengkuni sangatlah terstruktur, sistematis, dan masif. Tidak keliru jika kemudian Sengkuni diberi gelar Bapak Kebencian, Bapak Kelicikan, Bapak Kemunafikan, juga Bapak Teroris Sepanjang Masa. Karena ia telah membuat sejarah penuh dengan ceceran darah.
Bagi Sengkuni, hidup adalah takdir dan takdir tidak bisa dipercaya. Oleh karenanya ia tak mau berdampingan dengan takdir. Ia memilih judi. Sebab, hidup di tangan takdir dan melalui judi maka hidup ada di genggamannya. Nama Sengkuni yang kita kenal dari Adhiparwa, Subhaparwa, Warnaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, ataukah Sukarnohartoparwa tak penting lagi. Siapa Sengkuni tak penting lagi. Apa Sengkuni adalah yang perlu kita waspadai.
Penderitaan demi penderitaan menjadi duri yang menancap di sanubari Sengkuni. Pengorbanan jadi sangkan paran Sengkuni, atau Sangkuni, atau Śakuni, atau Suwalaputra, atau Trigantalpati, atau Harya Suman. Garis nasab dan nasib sejarah hidup Sengkuni dipertebal lewat monolog panjang nan bersahaja oleh sang Tokoh Utama yang diperankan Djaka Kamto di babak akhir sebagai pleidoi, khas Cak Nun.
Sebiji pertanyaan bernada gugatan menarik perhatian, “Siapa lebih licik, Sengkuni atau Kresna?”
Tiba-tiba Gandhari muncul. Ia datang dengan mata yang masih membuta, merangkul Sengkuni keluar gelanggang.
Rakyat jelata dan para elite politik—yang suka mengaku negarawan itu, seyogianya menyaksikan cermin besar ini. Teater Perdikan tidak sedang mempertontonkan pertunjukan teater. Yang tengah digelar adalah kuliah umum pembelajaran sejarah dan politik.