Sengkuni2019 Untuk Manusia 2019
Sebuah naskah teater telah lahir dari tangan Mbah Nun. Sengkuni2019, judulnya. Hari ini dan besok di Balai Budaya Surabaya adalah pementasan kota kedua sesudah yang pertama di Taman Budaya Yogyakarta Januari lalu. Seperti kita tahu, pada pementasan di Yogyakarta, tiket habis tak bersisa.
Bagi Mbah Nun, dan ini kita mengerti bersama, teater bukanlah sebuah industri. Teater adalah salah satu media untuk menyampaikan pesan, merespons zaman, menyikapi situasi, sebagaimana tulisan atau metode ekspresi lainnya.
Baik kiranya kita ingat kembali dalam hal naskah drama atau teater ini, Mbah Nun telah menulis sederetan naskah teater dan mementaskannya berikut segala konteks zaman yang menyertainya. Sebut saja: Tikungan Iblis (2008), Nabi Darurat Rasul Ad Hoc (2012). Jauh sebelum dua naskah itu, Mbah Nun pernah menulis dan mementaskan Lautan Jilbab (1987), Geger Wong Ngoyak Macan (1989), Santri-Santri Khidir (1990), Perahu Retak (1992), Pak Kanjeng (1993). Seluruh naskah teater yang ditulis tersebut dimaksudkan untuk merespons zaman, yakni menyampaikan pandangan akan suatu persoalan yang dihadapi masyarakat.
Lautan Jilbab sangat fenomenal dan menggelombang. Tidak hanya dipentaskan di Yogyakarta saja, beberapa kota seperti Surabaya dan Makassar pernah menjadi saksi pementasan Lautan Jilbab. Bahkan ketika dipentaskan di Stadion Wilis, Madiun, tercatat 35.000 penonton menyaksikan pementasan tersebut. Mbah Nun melibatkan 1.000 pemain teater dalam pagelaran Lautan Jilbab saat itu. Bayangkan orang mau pakai jilbab saja kok dihalang-halangi, ya sudah Mbah Nun turun ke gelanggang. Menyerukan Lautan Jilbab. Dan sekarang, lautan jilbab itu memang lautan, di mana-mana.
Pak Kanjeng dan Geger Wong Ngoyak Macan adalah dua di antara sekian naskah yang dipentaskan untuk mengkritik penguasa Orde Baru. Kita tahu, kebijakan-kebijakan penguasa saat itu sangat tidak berpihak kepada rakyat. Dan Pak Kanjeng sendiri adalah respons terhadap kesemena-menaan rezim Orde Baru ketika membangun waduk Kedung Ombo. Mbah Nun bersama sejumlah sahabat turun langsung menemani masyarakat di desa yang digusur dalam rangka pembangunan waduk tersebut. Jangan lupa, atas karya-karya teater yang dipentaskan pada masa kekuasaan Orde Baru itu, Mbah Nun banyak dicekal dan dilarang tampil di beberapa daerah di Indonesia. Tapi Mbah Nun tenang dan santai. Beliau sudah punya rumus, sebelum dicekal, yang mencekal sudah dicekal duluan di dalam diri Mbah Nun.
Kemudian melalui SENGKUNI2019 ini, Mbah Nun mengajak kita semua untuk berkaca pada diri sendiri, bahwa pada setiap individu terdapat potensi untuk menjadi Sengkuni. Tetapi itu pun ternyata, kita semua juga salah sangka terhadap sosok Sengkuni itu sendiri. Kita tidak memahami siapa Sengkuni, kita tidak pernah mau mencari tahu apa dan bagaimana sejarah Sengkuni sehingga ia dikenal sebagai salah satu provokator Perang Baratayuda itu.
Sengkuni melakukan semua yang disebutkan dalam sejarah itu karena memang punya alasan yang masuk akal dengan beban penderitaannya yang segitu rupa. Lha para penguasa negara semua punya penderitaan apa kok begitu tega menjahati rakyat dan di tahun 2019 ini, perilaku dan perbuatannya nggak mutu dan dekaden.
Juga, asosiasi kita ketika mendengar nama Sengkuni pun selalu menunjuk pada sosok tokoh politik senior di Indonesia. Perlu diingat, naskah SENGKUNI2019 ini tidak sedang menggiring opini publik untuk melegitimasi siapa Sengkuni di Indonesia. Sebaliknya, Mbah Nun sedang mengajak kita untuk belajar mengapa Sengkuni melakukan perbuatan sejahat itu dalam sejarah Mahabarata, supaya kita tahu, bahwa kejahatan yang mungkin kita lakukan itu nggak ada pantas dan perlunya.