Sengkuni Gugat Budaya Beku
Dalam setiap epos yang dilahirkan oleh kebudayaan-kebudayaan dunia, hal paling sederhana adalah terdapatnya tokoh protagonis dan antagonis, hero dan villain kalau dalam dunia komik. Sebuah epos yang sangat melekat di hati masyarakat tertentu, kemudian menemukan dirinya berada dalam perjalanan mengarungi waktu bersama kebudayaan itu sendiri.
Itulah kenapa setiap epos selalu menjadi sangat panjang, detail, dan berkisah turun-temurun. Kita tidak akan benar-benar paham kisah Oedipus kalau kita tidak memahami rangkaian cerita leluhur-luluhur maupun tokoh-tokoh lain yang terlibat dalam kisah Oedipus, misalnya tentu kita perlu tahu siapa itu Kadmus yang mendirikan kota Thebes, bukan? Belum lagi tokoh lain seperti Jocasta, atau Kreon sang raja Thebes, atau yang menyaksikan banyak peristiwa karena panjangnya usianya seperti Teiresias sang peramal yang hidup tujuh generasi sebab keturunan Nympha, nah apa itu Nympha? Maka semua harus berkelindan.
Begitu pun epos lain di belahan dunia manapun, pada pedesaan-pedesaan Eropa Skandinavia, kisah-kisah tentang para dewa di Valhalla melahirkan entah berapa banyak syair, lagu hingga tembang-dengan berbagai model. Epos seperti kebudayaan itu sendiri, ketika dia belum baku dan beku. Belum ada kanonisasi, dia bergerak, tercipta melalui serangkaian persambungan, pertautan batin dari para penyimaknya yang merasa tersuarakan endapan batinnya. Tak jarang secara sepenggal-sepenggal terbawa dalam ingatan para pengelana, bertukar dalam pertemuan paling mesra hingga peperangan. Belanda yang pernah ke sini tentu punya banyak legenda Skandinavia dari pedesaan-pedesaan mereka. Begitu pun orang Jawa, Melayu, Bugis yang juga melancong ke berbagai belahan dunia. Setiap kisah di dunia, saling mengalami perdagangan nilai tanpa disadari.
Ada masa di mana manusia masih merdeka, budaya bukan bawahan dan bawaan negara, maka semua orang berhak membuat sendiri partikel-partikel cerita yang mengarah pada narasi besar kisah utama yang dirasa cocok pada kondisi zamannya. Sayangnya proses kebudayaan sudah berhenti ketika model nation-state mulai dipeluk oleh mainstream bentuk pemerintahan di dunia. Sejak itu kita mulai mengkotak-kotakan epos berdasarkan garis batas geopolitik; epos Yunani, epos Skandinavia, epos Bugis, epos Jawa, epos India dan berbagai lainnya. Afrika tentu juga punya, hanya bahan mengenai itu di sini agak kurang bisa dijangkau. Sebelum ada batas geopolitik modern seperti sekarang, epos adalah milik bersama warga dunia. Kita.
Seorang penulis yang menjadi favorit para aktivis di negeri ini pernah berkata bahwa wayang hanyalah budaya plagiat dari India. Dia benar bila berpikir dengan kerangka modernitas dan memang di situlah dia hidup. Walau kita tidak harus anti modernitas, tapi kita setidaknya punya kemerdekaan sendiri untuk berjarak darinya, setidaknya sesekali.
Modernitas dan negara nation-state anak kandungnya, NKRI di sini, memang memandekkan peradaban dan kebudayaan kita menjadi hanya sejumlah atribut, pakaian adat, ritual tradisi, tarian tontonan dan apapun simbol-simbol beku. Tapi di Maiyah kita merdeka dari itu semua, kita masih ingin melanjutkan proses kebudayaan yang terlampau lama membatu. Kita tidak ingin menjadi batu karena durhaka pada ibu peradaban, ibu bumi. Karena kita tidak ingin sang ibu sakit hatinya kalau melihat anaknya membatu dan kepala batu. Kita tidak mau jadi Malin Kundang peradaban.
Setelah sekian lama dikanonkan oleh manusia modern, epos Mahabarata atau Baratayudha yang kita punya akhirnya juga ikut mandek. Berangsur-angsur cerita carangan atau alternatif dari narasi besar mulai meredup, kita hanya kemudian mengulang-ulang versi yang itu-itu saja dengan dalih “pelestarian tradisi”. Sebuah istilah yang mestinya hanya lahir dari kesadaran manusia modern sendiri.
Istilah carangan pun baru ada ketika kita sudah mulai membagi mana yang pakem mana yang bukan. Artinya dia juga hasil dari pola pikir modern, era sastrawan Jawa-modern (Jawa setelah mengadopsi ningratisme atau gentlemanship Eropa) seperti Ronggowarsito masih ada sedikit carangan semacam itu, Yogya-Solo masih bisa berani melahirkan Ontorejo-Antasena. Namun perlahan-lahan keberanian mencipta semakin layu seiring mengerasnya negara, membatunya NKRI.
Dari sekian lama peradaban dan perjalanan kebudayaan kita, Pandawa dan Kurawa mungkin adalah yang mengalami paling banyak ragam dekonstruksi, pengembangan carangan hingga perluasan nilai. Ini bisa dimengerti salah satunya, dari bentuk fisik para tokoh yang beragam itu. Tentu banyak suku baik di sekitar sungai Hindustan, Himalaya sampai Jawa yang mendapati kemiripan fisik dengan dirinya pada tokoh-tokoh tertentu dan menciptakan sendiri versi kisahnya. Mengangkat hero-nya sendiri-sendiri dan itu sah. Tapi sejauh ini, Sengkuni belum pernah disentuh.
Pengetahuan kita mengenai Sengkuni secara umum sangat terbatas. Kita hanya bisa mendapati informasi bahwa dirinya seorang patih yang di masa mudanya bernama Harya Suman. Ya dia jugalah Trigantalapati, yo ugo sinebut Gandalaputra utawi Suwalaputra. Merujuk pada statusnya sebagai putra ketiga dari Prabu Suwala alias Prabu Keswara di kerajaan Gandaradesa yang juga nama wilayah itu bisa disebut Plasajenar atau Awu-Awu Langit. Bila sedikit teliti, kita mungkin akan menemukan bahwa dia juga punya saudara lain selain Gendari yang diperistri oleh Destarasta, yakni Surabasata dan Harya Gajaksa. Apakah dia punya saudara lain?
Kita belum tahu banyak dan belum mengembangkan banyak soal Sengkuni alias Haryo Suman. Tapi #Sengkuni2019 akan hadir, dia muncul dan entah sengaja atau tidak sejak saat ini, di mana berbagai kubu saling melempar tudingan “sengkuni” pada kubu lawannya. Kehadirannya justru adalah sebentuk peremuk bentuk dari kebudayaan syakwasangka dan peradaban yang kaku membeku.
Sejarah hingga kondisi sosial kita sekarang penuh dengan pengantagonisan, penuh dengan penyengkunian. Namun kapankah kita mau berbesar hati untuk membiarkan Sengkuni bicara? Atau kita yang tabayyun pada Sengkuni? (bersambung)