Memang Sebelumnya Ada Sengkuni2018?
Para penonton Sengkuni2019 pada pementasan pertama malam tadi berasal dari berbagai macam daerah, dan beragam latar belakang pula. Ada yang datang dari Jakarta, Bekasi, Bandung, Cilacap, Semarang, Gresik, Kebumen, Jombang, Surabaya, Malang, Purwokerto, Solo, Pati, Brebes, Yogyakarta sendiri, dan lain-lain kota yang tak bisa saya sebut satu per satu. Juga dari Malaysia.
Ada yang datang sendirian, ada yang berombongan bersama teman, ada pasangan suami istri, orang-orang sepuh, dan ada pula yang full team: suami istri plus anak-anaknya. Ada remaja siswa SMA, mahasiswa, generasi milenial, para profesional, Jamaah Maiyah, aktivis, seniman, wartawan (stok ID Card yang disiapkan untuk media, tadi malam habis), dan lain-lain. Mas-mas, mbak-mbak, adik-adik, bapak-bapak, dan emak-emak, semuanya ada.
Mereka yang sudah akrab dengan cerita-cerita dunia pewayangan, nonton Sengkuni2019 ini kebanyakan didorong rasa penasaran akan ada apa tafsir baru dari Cak Nun sebagai penulis naskah mengenai sosok Sengkuni yang lazimnya dipahami sebagai tokoh antagonis, kejam, serakah, dan sifat buruk lainnya. Banyak pula tentunya yang menyaksikan Sengkuni2019 untuk mendengarkan apa kritik sosial yang hendak disuarakan Cak Nun. Tidak sedikit pula yang mencari kaitan kepada Pilpres 2019 tahun ini.
Ringkasnya, pentas Sengkuni2019 ini, sejak awal dipublikasikan, telah memunculkan rasa ingin tahu, seperti apa kira-kira cerita dan gagasan yang akan dihadirkannya. Nah, uniknya, di antara anak cabang rasa ingin tahu atau rasa penasaran itu, terdapat sebuah pertanyaan polos dari seorang Mbak-mbak yang sempat saya ajak ngobrol, dan pertanyaannya adalah, “Memang sebelumnya ada Sengkuni2018 ya, Mas?”
Saya sedikit terkekeh dan nggak nyangka muncul pertanyaan semacam itu. Adakah ini akibat dia sering nonton sinetron serial sehingga memandang angka tahun 2019 diandaikannya sebagai pementasan seri atau edisi sesudah 2018. Tapi saya segera sadarkan diri saya sendiri, sebab siapa tahu pertanyaan ini mengandung makna lain. Saya lantas ingat wawancara saya dengan sutradara Jujuk Prabowo. Salah satu pendapat Pak Jujuk mengenai naskah Sengkuni2019 ini adalah bahwa ini naskah yang abadi, akan relevan dipentaskan kapan saja, lima tahun ke depan, sepuluh tahun ke depan, dan seterusnya.
Nyambung saja jadinya sama pertanyaan si Mbak. Sehingga, tahun kapan saja bisa digelar Naskah Sengkuni. Atau, lebih substansial lagi, jangan-jangan dia mengingatkan kita bahwa kapan saja waktunya, sepanjang zaman, mau 2018, sebelum-sebelumnya, 2019, 2020, dan seterusnya, selalu ada Sengkuni, terutama yang berada dalam pergulatan di dalam diri kita. Sengkuni yang tampil di panggung pergolakan semesta diri setiap manusia. Dan kemungkinan lain pemaknaan.
Yang barangkali bisa kita catat di titik ini, bermacam rasa penasaran dan pertanyaan yang mendorong penonton untuk menikmati pentas Sengkuni2019, saya kira terjawab oleh cerita dan dialog-dialog yang mereka simak bersama tadi malam. Khususnya tentang pertanyaan tahun 2019, jawabannya ada pada kalimat terakhir Sengkuni dan kalimat terakhir puisi yang dibacakan sebelum Musik dimulai: Inilah cermin Sengkuni 2019. Inilah kesadaran Sengkuni 2019. Itulah salah satu jalan keselamatan kalian menuju masa depan.
Selain itu, jawaban juga dapat kita temukan pada bagian akhir tulisan Cak Nun “Sengkuni Dalam Diri” di booklet yang disediakan buat para penonton: “Kenapa ada 2019 pada judul lakon teater ini? Karena bagi bangsa ini, 2019 adalah gerbang zaman, adalah peluang terakhir untuk bercermin.”
Si Mbak tadi setelah sejenak berbincang dengan saya, segera membaca booklet itu, sembari menunggu saat pintu dibuka.