Mbah Hadri dan Proses #Sengkuni2019
“Latihan sudah jalan tiga minggu, beliau tiba-tiba datang dan ingin ikut latihan. Sudah empat puluhan tahun tidak ketemu, saya juga pangling waktu itu,” begitu Pak Nevi mengenang Mbah Hadri yang berpulang semalam tanggal 2 Desember 2018 M. Beliau adalah bapak-bapak sepuh yang sering paling sibuk menanyakan kondisi kesehatan personel yang tidak datang karena sakit, itu ada di liputan latihan sebelum ini. Tak disangka, itu adalah kenangan terakhir tim liputan caknun.com bersama beliau.
Pak Nevi dan Pak Jokam sedang berada di Malang, bersama rombongan KiaiKanjeng sehingga hanya bisa mendengar berita tersebut dari jauh dan tidak bisa menghadiri pemakaman almarhum siang ini.
Beliau orang lama di teater, khususnya teater Yogya. Pak Toto Rahardjo sebagai pimpinan produksi pentas #Sengkuni2019 pun mengamini hal tersebut. Nama beliau cukup akrab bagi kalangan teater yang berkiprah pada dekade 1970 hingga awal 1980-an. “Setelah itu, lama sekali tidak bertemu. Baru kemudian (bertemu) di proses Sengkuni ini,” ungkap Pak Nevi. Pak Jokam juga merasakan hal yang sama, “Saya ingat terakhir itu beliau pada pentas Ragil Kuning, sekitar tahun 70-an.”
Pada proses latihan sehari-hari di Pendopo Rumah Maiyah, Mbah Hadri mendapat peran sebagai salah satu wayang. Kelompok ini diisi oleh anak-anak muda, generasi yang mungkin tak pernah mengenal nama beliau sebelumnya. Usia 69 tahun, sementara yang lain masih sangat belia, rata-rata kelahiran 80-an, bahkan ada Andy yang masih sekolah. Mbah Hadri bersama mereka.
Motorik Mbah Hadri tentu perlu ekstra mengikuti tata gerak kelompok. Tim produksi dan sutradara Pak Jujuk Prabowo pernah menyarankan beliau untuk pindah ke jajaran timpro, tidak perlu berlelahan di panggung. Tapi Mbah Hadri ingin di atas panggung. Jalan tengah satu-satunya adalah Pak Jujuk berusaha membuatkan olah gerak khusus untuk beliau yang menyesuaikan kemampuan Mbah Hadri sendiri, namun rencana itu tidak sempat terlaksana.
Tadi malam beliau datang latihan seperti biasa, ikut merayakan ulang tahun seorang pemain dengan sepiring nasi padang, ceria dan tertawa bersama, ikut latihan. Pada barisan wayang beliau ada di bagian belakang, tiba-tiba di tengah latihan Mbah Hadri ambruk. Kebetulan Bu Sita, putri Bang Ali Syahbana sahabat lama Mbah Nun dari Mandar yang seorang dokter, sedang diajak Bu Roh ikut menonton latihan.
Bu Sita memeriksa denyut nadinya. Mbah Hadri harus mendapat perawatan darurat, segera dilarikan ke PKU Muhammadiyah. Namun belum ada setengah jam di Rumah Sakit, beliau menghembuskan nafas yang menuju pada keabadian. Ternyata setelah menghubungi pihak keluarga, Bu Hadri mengatakan bahwa Mbah Hadri punya sejarah stroke dan memang beberapa hari belakangan kondisi kesehatannya sedang tidak baik. Tapi beliau tetap memaksakan diri berangkat latihan.
Akhirnya, kematian jualah yang akan memberi arti pada kehidupan kita. Seorang teatrawan yang telah empat puluh tahun tak merasakan denyut panggung, memilih khusnul khotimahnya pada proses pementasan yang mempertemukan antar generasi.
Dunia buka hanya milik narasi-narasi besar Pandawa dan Kurawa, ada ribuan prajurit yang tumpah darah di padang Kurusetra. Ada operasi-operasi spionase yang tidak terpublikasikan dalam sejarah, prajurit-prajurit yang hilang di dataran-dataran asing sejarah. Hanya dunia lebih sering ingin mengingat yang monumental, yang ketokohan, yang tercatat padahal yang sayup-sayup namanya jauh lebih banyak dan bisa saja lebih layak dikenang. #Sengkuni2019, bukan saja pertemuan antar generasi, tapi juga jalinan antar narasi. Tak ada lagi sekat narasi besar dan narasi kecil, setiap hela nafas manusia adalah sama berharga dalam perjalanan menuju-Nya.
Apa yang membuat Mbah Hadri memutuskan untuk kembali ke panggung teater? Kepada latihan-latihan dan hapalan dan teknik-teknik dasar, setelah empat puluh tahun? Kenapa sekarang? Kenapa di #Sengkuni2019? Apa maksud Tuhan mengutus Mbah Hadri, mengetuk pintu teater kembali, kenapa tepat pada titik saat ini?
Setiap hidup manusia berharga, setiap detak dan hela adalah proses yang memiliki kisah. Kehadiran singkat Mbah Hadri seperti adalah utusan ruh dari masa lalu, dari para yang terlupakan, “Kami pernah ada di sini, menjejakkan kaki dan menjadi nyata. Kenanglah kami sewajarnya karena kami pernah ada disi.” Dan pada saatnya nanti, bukankah kita semua ini juga akan mengatakan hal yang sama? Bahwa kita, pernah berada di sini. (MZF)