Jujuk Prabowo: Sengkuni, Disengkut, Disengkuyung, Ditekuni
Seorang sutradara bertugas menerjemahkan gagasan dan cerita yang ada di dalam naskah ke dalam simbolisasi yang akan dihadirkan di atas panggung pementasan. Simbolisasi itu meliputi banyak aspek, dari pengekspresian, gerak, pemilihan kostum, musik, penempatan, hingga hal-hal detail seperti intonasi dan tempo pengucapan kalimat, yang kesemuanya saling berhubungan satu sama lain. Pada semua aspek itu, sutradara berupaya menemukan dan memperkuat karakter tokoh atau pemain sesuai orientasi karakter yang secara implisit terkehendaki oleh naskah.
Seluruh komponen itu menyatu menjadi apa-apa yang pada malam pementasan akan dinikmati oleh indera mata, telinga, dan rasa para penonton.
Untuk tugas yang sangat penting dan krusial itu, Teater Perdikan memercayakan penyutradaraan Sengkuni2019 kepada Pak Jujuk Prabowo. Siapakah Jujuk Prabowo? Ialah seseorang, yang lahir pada 24 Juni 1954 di Yogyakarta, yang telah puluhan tahun malang melintang dalam jagad perteateran di Indonesia bersama tokoh-tokoh teater lainnya. Spesialiasinya memang adalah penyutradaraan. Meski Ia juga membidangi seni tari utamanya tari klasik dan modern serta tari balet klasik. Ia tidak ingat sudah berapa banyak naskah dari para penulis yang telah Ia sutradarai pemanggungannya. Saking banyaknya ya.
Dari buku Kepingan Riwayat Teater Kontemporer di Yogyakarta: Laporan Penelitian Existing Documentation dalam Perkembangan Teater Kontemporer di Yogyakarta Periode 1950-1990 (Pustaka Pelajar, 2000), bisa kita simak sejumlah naskah teater yang pernah disutradari oleh Pak Jujuk. Di antaranya “Sinden” (1986, Teater Gandrik), “Dhemit” (1987, Teater Gandrik), “Orde Tabung” (1988, Teater Gandrik), “Upeti” (1989, Teater Gandrik), “Dalam Bayangan Tuhan atawa Interogasi I” (1989, Teater Stupa), “Syech Siti Jenar” (Teater Dinasti), “Topeng Kayu” (Teater Dinasti), “Umang-Umang” (Teater Dinasti), dan Sepatu Nomer Satu (Teater Dinasti).
Itu untuk menyebut beberapa naskah teater pada kurun tahun 1980-an yang pernah disutradarai Pak Jujuk Prabowo. Sedangkan naskah teater yang ditulis Cak Nun yang pernah disutradarai pementasaannya oleh Pak Jujuk adalah Lautan Jilbab (saat pementasan di Surabaya 1991), Tikungan Iblis (2008, Teater Dinasti), dan sekarang Sengkuni2019 bersama Teater Perdikan. Selain menyutradara, Pak Jujuk juga sering diminta memberikan workshop drama dan penyutradaraan di antaranya oleh seniman dan komunitas Ludruk di Jawa Timur. Pernah pula, Ia diminta mengajar di Universitas Sanata Dharma dan ISI Yogyakarta, tapi hanya bertahan dua tahun saja karena tak betah dengan sifat rutinitas dan baku yang melekat pada aktivitas pembelajarannya.
Tugas penyutradaraan mengandaikan bahwa seorang sutradara harus menyelami naskah hingga engaged betul dengan kandungan gagasan yang akan diterjemahkan dan dicarikan simbolisasinya itu. Dalam membaca Sengkuni2019 ini, Pak Jujuk yang sangat menyukai wayang, segera klik. Tidak saja Ia memahami letak pandangan sang penulis naskah mengenai sosok Sengkuni dalam dunia pewayangan, namun juga pada akhirnya Ia memiliki pemaknaan-pemaknaan yang khas dan mandiri mengenai naskah Sengkuni2019 ini.
Bagi Pak Jujuk, Cak Nun pandai mengambil angle mengenai Sengkuni. Yakni sisi (sejarah) penderitaan yang dialami Sengkuni, dan penderitaan itu ditafsirkan kembali sehingga menghasilkan perspektif yang berbeda dibanding pembacaan yang selama ini ada. Pengangkatan tema Sengkuni ini, dalam penghayatan Pak Jujuk, dikaitkan dengan laku hidup manusia itu sendiri. Bahwa setiap diri orang memiliki Sengkuni masing-masing. Jumlahnya ada dua. Kalau dalam pewayangan, dua Sengkuni itu adalah Sengkuni yang provokatif dan ngompor-ngompori kepada kejahatan, seperti selama ini kita kenal, dan satu lagi adalah Sengkuni yang baik, karena berperan untuk wilayah yang sebut saja strategic thinking. Contohnya adalah Kresna. Kresnalah orang yang menganjurkan sebaiknya kamu jangan perang sama itu, nanti kalah dan nggak jadi, sebaliknya sebaiknya kamu perang sama yang ini saja, nanti kamu dapat meraih kemenangan. Pinjam teori Hubungan Internasional, Kresna ini adalah pakar Game Theory.
Naskah Sengkuni2019, bagi Pak Jujuk, juga merupakan sebuah ajakan kepada budi pekerti. Jangan banyak cakap kalau kamu tak mengerti apa-apa. Jangan gampang-gampang menunjuk orang lain, tetapi rajin-rajinlah bercermin untuk mengenali salah atau kekurangan yang ada pada diri sendiri. Yang demikian ini coba Ia ekspresikan dengan nanti ada adegan di mana pelakonnya menunjukkan jari, tapi tidak ke arah penonton, melainkan ke atas, untuk memberikan gambaran jangan menunjuk orang lain. Ekspresi menunjukkan jari ini pun perlahan-lahan yang diikuti dengan gerak badan yang juga perlahan menuju satu kesatuan ekspresi yang seoptimal mungkin mengantarkan pesan dan rasa yang dikandung oleh kalimat-kalimat di dalam naskah pada bagian tersebut.
Pada setiap bagian, secara cermat, teliti, dan detail Pak Jujuk mengecek, menguji, dan merasakan bagaimana setiap pelakon menjalankan tugasnya, dari Sengkuni, Pak Kandeg, Pak Katib, Mas Bagus, Timsuk, Gendari, dll hingga para Wayang dan para Kizano. Saat latihan pertama di TBY dua hari lalu, saya menyaksikan bagaimana Pak Jujuk mondar-mandir dari tempat penonton menuju panggung buat mengoreksi, membetulkan, mengoptimalkan pengadeganan, termasuk menerima saran dan arahan dari Cak Nun.
Menyimak kerja Pak Jujuk, saya menjadi belajar, yang namanya acting itu sejatinya adalah upaya bertindak setulus, semaksimal, dan sesesuai mungkin dengan titik tekan pesan yang hendak disampaikan oleh naskah. Sayangnya, kosakata acting telah masuk ke dalam daftar kata-kata yang telah dibiaskan sedemikian rupa sehingga bermakna pura-pura para percakapan sehari-hari kita.
Ini sekelumit gambaran mengenai bagaimana sutradara Sengkuni2019 bekerja keras dalam tugasnya menerjemahkan naskah ke dalam simbolisasi. Semua pilihan yang nanti tampak oleh mata penonton dan terdengar oleh telinga semuanya telah diambil melalui pertimbangan matang sang sutradara, yang tentu saja senantiasa melibatkan komponen lain dalam mencari kemungkinan-kemungkinan simbolisasi ini.
Sebagai contoh, mengapa Sengkuni2019 yang diangkat dari dunia pewayangan justru di panggung tak ada satu pun wayang atau gunungan yang terpajang, mengapa sekelompok pelakon memakai topeng dan dengan busana berwarna macam-macam, mengapa di tengah panggung terdapat properti besar sebuah buku/kitab yang sedang terbuka, dlsb. Semuanya ini merupakan hasil ijtihad penyutradaraan yang tidak mudah dan membutuhkan kedalaman pendalaman dan keluasan penguasaan pengetahuan tentang pengekspresian ide-ide dengan seberapa banyak kemungkinan peranti, properti, dan unsur-unsur wujudiyah yang bisa diaplikasikan untuk keperluan tersebut.
Demikianlah, Pak Jujuk Prabowo bersama-sama tim pelakon, pemusik, dan penata cahaya, telah bekerja mengeksplorasi pewujudan naskah Sengkuni2019 ke dalam panggung yang akan kita saksikan bersama 12 dan 13 Januari 2019 besok.
Satu lagi tentang budi pekerti yang dikandung dalam Sengkuni2019 ini, Pak Jujuk mengatakan bahwa Sengkuni itu mengingatkan pada filosofi hidup dalam Jawa, yang kira-kira seperti ini: kalau kita punya hajat, gawe, atau ide, ayo lekas-lekas dikerjakan atau disengkut, dan tidak cuma itu, semua kerja akan berjalan dengan baik apabila disengkuyung, dan dalam mengerjakan gawe tersebut, segala sesuatu detail-detailnya harus ditekuni. “Indonesia ini Mas kalau disengkut, disengkuyung bareng, dan ditekuni, serta nggak ada yang membesar-besarkan keakuan dirinya, mestinya beres…,”kata Pak Jujuk menarik proyeksi.
Pak Jujuk tinggal di Perumahan Karangjati Kasihan Bantul Yogyakarta dan sejak beberapa tahun silam istrinya meninggal dunia sekarang Ia menjadi orangtua semata wayang bagi kelima orang anaknya. “Jadi orangtua tunggal dengan lima orang anak, dan saya sudah punya cucu, ini ternyata juga sebuah teater Mas haha…Cak Nun mengerti betul tentang hal ini,” kata Pak Jujuk terkekeh. Ia sendiri berpendapat bahwa ilmu hidup itu juga ada dalam teater.
Melihat istiqamah, kerja keras, dan dedikasinya dalam kegiatan teater yang telah dijalaninya puluhan tahun hingga saat ini, Cak Nun mengatakan semestinya Pak Jujuk Prabowo sebagai sutradara teater yang mengabdikan hidupnya untuk kebudayaan Indonesia dengan segala kiprah, kerja keras, dan dedikasinya selama ini sudah sepantasnya mendapatkan penghargaan dari Dinas Kebudayaan atau lembaga terkait.