CakNun.com

Di Negeri Ini Sengkuni adalah Harga Mati

Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 2 menit

Pukul 20.00 WIB saya memasuki Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Kursi sudah hampir penuh terisi. Tidak perlu berebut atau khawatir tidak dapat jatah tempat duduk. Sesuai nomor kursi di tiket, saya duduk di deretan kursi D.

Mengedarkan pandangan ke sekeliling, panggung depan tampak ditimpa cahaya remang-remang. Dalam hitungan menit panggung akan berubah menjadi “dunia” di mana takdir lakon dimainkan. Tepat di depan panggung sebagian penonton duduk lesehan. Barisan duduknya rapi, seperti shof dalam shalat.

Setting dekorasi panggung sederhana saja. Beberapa kursi dan meja kayu portable ditumpuk rapi. Di bagian agak dalam dari panggung terdapat tempat buku raksasa, atau layaknya sangkar nada pada tampilan orkestra.

Pukul 20.15 WIB pementasan Sengkuni 2019 dimulai. Usai dibuka dengan pengantar yang menyapa penonton, dunia di atas panggung langsung menampilkan adegan yang membetot perhatian. Sengkuni bersama tiga saudaranya: Sengkanu, Sungkono, Sangkani menjawab latar belakang misteri diri mereka.

Pakem pewayangan “terlanjur” menilai Sengkuni sebagai makhluk jahat, licik, culas. Sengkuni belum atau mungkin sengaja tidak diberi ruang kesempatan untuk menjelaskan fakta sejarah dirinya dari sisi perspektif yang lain.

Dari adegan pembuka itu, penonton benar-benar disuguhi lakon dan dialog dari empat bersaudara yang membedah latar belakang penderitaan mereka. Ini semacam lead di awal sebuah tulisan: Sengkuni, Sengkanu, Sungkono dan Sangkani menancapkan tonggak di tanah berpikir, menyusun bangunan cara menalar, sekaligus mengejek penderitaan manusia yang belum ada apa-apanya dibandingkan nasib takdir mereka.

Berbekal modal perspektif, cara berpikir serta sikap “empati” terhadap empat bersaudara yang mungkin diam-diam menyembul dari lubuk hati penonton, Sengkuni mengayun-ayunkan dinamika asosiatif mereka yang sorot matanya tertuju ke panggung pementasan.

Bukan terutama karena penonton belum mengetahui adegan apa yang akan tampil selanjutnya, melainkan setiap fakta yang mengutuh melalui dialog, frasa kalimat, celoteh yang spontan, aksesoris pemain, simbolisme yang dipasang di atas panggung–semuanya menawarkan lapisan, lipatan, tikungan, nuansa, cakrawala yang monggo disemai di ladang kesadaran masing-masing.

Penonton tidak selalu mengerutkan kening. Tidak juga disuguhi sanepan-sanepan yang berat. Gelak tawa tiba-tiba saja meledak manakala isi hati mereka disuarakan secara akurat oleh celoteh dialog pemain. Di sela tawa itu kadang terselip perasaan getir. Ungkapan, “Di negeri ini Sengkuni adalah harga mati…” menelanjangi kepongahan kita semua.

Sengkuni 2019 seperti dilahirkan kembali; menawarkan perspektif dan kesadaran yang tengah kita perlukan untuk menemukan kembali kemanusiaan kita yang ketlingsut.

Exit mobile version