Dari Malang Untuk Ngaca Pada Sengkuni
Menonton teater Sengkuni2019 di Taman Budaya Yogyakarta menjadi harapnya. Mila, gadis 24 tahun asal Malang ini, sedang melakukan dinas luar pada hari tepat ketika pagelaran Sengkuni2019 akan berlangsung. Beberapa hari lalu sudah cari-cari tiket. Namun animo penonton sangat luar biasa. Tiket habis 4 hari sebelum acara digelar. Berharap ada tiket on the spot, namun tetap saja tidak kebagian.
Namun, keberuntungan adalah persiapan yang bertemu dengan kesempatan. Setidaknya itu yang dilakukan Mila. Mempersiapkan diri menghadapi keadaan apapun sembari mencari kesempatan yang mungkin terjadi. Dan kabar gembira datang seperti dari langit. Seorang kawan baiknya memberinya tiket yang gagal dihadiri oleh sang pemilik. Beruntunglah, Mila!
Mengenai Sengkuni2019, Ia tertarik pada saat penulis naskah, Mbah Nun menceritakan sedikit narasinya di Kenduri Cinta, Jakarta. Poin-poin tersebut mempunyai daya magis yang bisa menariknya untuk tidak melewatkan pagelaran ini. Rasa penasaran menjadi modal utamanya datang ke pagelaran teater ini.
Meski tidak terlalu suka wayang, namun iklim pedesaan membuatnya dekat dengan dunia pewayangan. Bentuk cerita Sengkuni yang beredar di lingkungan tentunya adalah sosok antagonis yang penuh kedengkian dan kelicikan. Pendamping Kurawa yang menginginkan Kerajaan Astinapura jatuh ke tangan Saudara Kurawa. Seperti pengetahuan pada umumnya.
Usai menonton Sengkuni pada malam pertama, 12 Januari 2019 ini, Mila mempunyai banyak pemahaman baru. Bahwa sengkuni itu bukan ‘siapa’, namun ‘apa’. Inilah tampaknya salah satu hal yang ingin disampaikan Mbah Nun dalam pementasan ini, bukan mencari siapa namun apa di balik itu semua. Tidak hanya berkisah mengenai konstelasi politik di Indonesia dengan beragam intriknya, namun juga eksplorasi ke dalam diri tentang bibit-bibit Sengkuni yang tumbuh tanpa kita perhatikan.
“Rasanya seperti ngaca, jadi gak munafik masih ada potensi sifat Sengkuni dalam diri ini”, ujar Mila memungkasi.