CakNun.com

7 Pembelajaran dari Menonton Teater Sengkuni2019

Rizky D. Rahmawan
Waktu baca ± 5 menit

“Akhirnya nonton teater lagi. Terakhir Saya nonton sekitar 20 tahun yang lalu loh”, begitu ungkap seorang kawan baik saya dari Semarang saat bareng-bareng duduk ngleseh di selasar menunggu saat pementasan Sengkuni2019 dimulai. Saya hanya menyahut dengan manggut-manggut saja, sambil kesulitan mengingat-ingat kapan Saya terakhir kali menonton teater. Tidak jauh beda sebetulnya, sudah lama sekali saya tidak menonton.

Teater Sengkuni2019 telah dipentaskan dengan sukses sebanyak dua kali, di Taman Budaya Yogyakarta pada Sabtu dan Minggu, 12 dan 13 Januari 2019. Beruntung Saya masih kebagian tiket. Banyak kawan-kawan saya hanya mendapati flyer sold-out. Kebagian menonton pementasan di hari pertama, saya yang awam ini merasa sangat terkesan pada setiap fragmennya.

Di ujung pementasan, Mbah Nun selaku penulis naskah turut bergabung ke atas panggung. Saya ingin mengutip satu pesan pendek Beliau, “Ini bukan teater, ini adalah pembelajaran bersama bagi kita semua.”

Ada begitu banyak pembelajaran dari pementasan berdurasi kurang lebih tiga jam itu. Dari pembelajaran yang berat dan mendalam, sampai yang ringan-ringan yang meskipun ringan tak elok pula dianggap receh-receh. Karena tanpa pembelajaran yang dianggap receh-receh berikut ini, pengalaman kita untuk menonton teater bisa jadi berkurang mengesankannya.

Berikut ini adalah pembelajaran menjadi penonton teater yang baik ala-ala saya sendiri berangkat dari menonton pementasan Sengkuni2019 kemarin:

1. Menukarkan tiket mepet-mepet, bersiaplah antri panjang

Sekitar seribu penonton akan memasuki gedung Concert Hall TBY kala itu. Sementara di antara para calon penonton ada yang membeli tiket secara offline dan banyak yang membeli secara online.

Penukaran tiket meski sudah dibuka beberapa baris, tetap saja mengantri panjang. Maka yang lebih baik memang adalah dengan datang lebih awal satu setengah atau dua jam sebelum pementasan dimulai. Dengan begitu saat kita menukarkan tiket, loket belum dipenuhi antrian.

Kemarin Saya datang dua jam sebelum dimulai, masih lengang dan bisa melenggang jadinya. Sambil menunggu waktu, kami ngeleseh duduk-duduk di selasar bersama calon penonton yang lain. Waktu menunggu menjadi tidak terasa lama.

2. Go Show! Puncak dari ikhtiar

Meski H-4 tiket sudah sold out, tetapi saya mendapati ada saja orang yang datang mendadak. Di antara begitu banyaknya orang yang berlalu lalang di dekat loket penukaran tiket, saya mendengar percakapan dari calon penonton yang menanyakan kepada panitia apakah masih ada tiket tersedia.

Panitia pun menjawab bahwa tiket sudah habis. Mereka kemudian dipersilakan menunggu sampai antrian penukaran tiket selesai semuanya. Beruntung mereka yang sabar menunggu, pada kali itu, space depan panggung persis dibuka untuk tiket lesehan. Sehingga mereka para pengabdi go-show masih bisa masuk ke tempat pementasan.

Pelajarannya adalah jangan buru-buru putus asa ketika mendapati pengumuman tiket sold out. Kemungkinan lain mungkin saja terjadi. Seperti malam hari itu, ada 100 orang lebih tertampung berbekal tiket lesehan.

3. Persiapkan perut yang kenyang dan baju yang nyaman

Ini bukan rapat dinas, apalagi hajatan. Tidak ada sediaan santapan loh di dalam tempat pementasan. Mengingat durasi yang lebih panjang dari nonton film bioskop, maka antisipasi dari kehausan dan gangguan perut keroncongan perlu diwaspadai sejak dini. Akan menjadi kurang nyaman kan kalau menikmati pementasan dalam kondisi suren?

Oiya, suhu udara di dalam concert hall juga cukup dingin. Resiko kedinginan sebab salah kostum juga hal yang perlu dipikirkan.

4. Memupus stigma “teater paling begitu-begitu saja”

Sebab ada matematika dan bahasa, memang kesenian menjadi minder sebab dianaktirikan. Pementasan seni paling begitu-begitu saja, ala kadarnya, mendayu-dayu, tidak menghibur, membosankan pasti.

Akan tetapi, semua stigma itu tidak ditemui di pementasan Sengkuni2019. Sejak fragmen paling awal teater dimulai, tata suara sudah memukau. Olah panggung juga begitu apik. Lampu-lampu sangat mendukung. Benar-benar jauh dari kesan ala kadarnya.

Sutradara agaknya mengerti betul bahwa yang akan menonton pementasan ini kebanyakan adalah kaum milenial yang sudah sebegitu dimanjakan oleh warna-warninya tontonan multimedia. Dan ia tak mau kalah oleh itu.

Bukan hanya pengemasannya yang membuktikan sebuah kesungguh-sungguhan penyiapan karya, tetapi ketika selesai acara saya melihat foto-foto jarak dekat para pemain, betapa ekspresi pemain tertangkap begitu sungguh-sungguhnya dalam menyampaikan pesan. Ekspresi dari sebuah totalitas.

5. Mengernyitkan dahi sesekali saja lah!

Sengkuni2019 menyampaikan pesan yang begitu lengkap. Tetapi hebatnya adalah sangat minim terdapat istilah-istilah yang rumit. Pementasan ini mentransfer informasi pewayangan dari jaman yang begitu old yang jauh dari kata akrab bagi generasi now. Figurnya saja bukan figur idola. Coba mana ada mereka yang memajang di rumahnya Wayang Sengkuni? Figur ini hanya akrab untuk saling mengumpat di panggung politik saja.

Kelengkapan pembawaan figur Sengkuni bukan hanya pada penggambaran perwatakannya, tetapi juga perjalanan hidupnya, hingga bahkan silsilahnya. Termasuk sampai bagaimana sanad informasi Sengkuni tersampaikan hingga hari ini.

Semua tersampaikan dengan begitu terasa ringan dan begitu sederhana. Meski Saya awam, tak perlu harus mengernyit-ngernyitkan dahi.

6. Social Journey dan Inner Journey sekaligus

Di mata saya, Sengkuni2019 adalah sebuah Pidato Kebangsaan dari seorang Negawaran yang begitu mencintai Bumi Persada Nusantara ini. Tanpa membaca naskah, tidak ada gagap penyampaian dari seluruh fragmennya. Tidak membahas persoalan sosial yang sepotong-sepotong, tidak gamang mengungkap fakta yang semestinya tabu.

Kalau pesan-pesan tentang keadaan Indonesia yang terkandung dalam pementasan ini adalah Social Journey, muatan Sengkuni2019 lebih lengkap dari sekadar itu. Sebab ada kandungan Inner Journey yang syarat makna. Jangan-jangan kita juga sering kangslupan ‘sifat’ Sengkuni.

7. Nikmatilah regresi ingatan

Sepanjang pementasan saya tidak merekam juga tidak mencatat. Pokoknya full menikmati. Selang beberapa hari berlalu, foto-foto pementasan bertebaran di CakNun.com. Setiap satu foto seolah menjadi alat rekam. Melihatnya, membuat saya terbawa pada pengalaman, suasana dan pesan-pesan pada fragmen kala menonton kemarin. Membawa saya pada sebuah regresi ingatan. Dan regresi ingatan itu bisa jadi lebih lengkap kandungannya dari sekadar catatan blocknote atau rekaman recorder.

Lalu, kalau ditanya siapa pemain favorit? Saya memilih Pak Katib saja. Eko Winardi memainkan peran Pak Katib dengan sangat ciamik. Entah dia menggambarkan Cebong atau Kampret yang tidak tahu malu menjilat junjungannya. Atau bahkan dia menggambarkan diri saya sendiri, yang hidup terlalu banyak membawa-bawa pembenaran alias justify berupa kitab babon kehidupan.

Lainnya

Topik