Pentas Hari Pertama “Mlungsungi” Reriungan Tiga Generasi
Rombongan lalu-lalang pecah. Berjalan mondar-mandir. Sambil bernyanyi lirih, mereka sesekali berdeham, dan kakinya sering menghentakkan mengejutkan. Ragam bebunyian timbul meramaikan suasana. Beberapa saat kemudian memencar menghilang. Kemudian, dari samping Prabu Durgoneluh (Agus Leyloor), berpakain rapi bak kepala negara modern, berjalan tegak menuju tengah panggung. Empat pengawal mengikuti geliat Sang Prabu.
Empat pengawal menyiapkan upacara penghormatan. Dipersiapkan singgasana berkelambu putih. Ketika tirai kelambu disibak Sang Prabu duduk di sisi sebelah kanan ranjang. Tapi, sebelum itu, setiap pengawal berbagi tugas. Mengurai tali sepatu dan melepasnya satu persatu. Agak membungkuk pengawal satunya melepas jas kebesaran Sang Prabu.
Tatkala Sang Prabu menguap, empat pengawal ikutan menguap. Para pengawal membebek tindak-tanduk junjungannya. Adegan berlangsung secara karikatural nan komedis. Yang tak diikuti para pengawal hanyalah saat Sang Prabu membaringkan badan dan tidur pulas. Para pengawal hanya duduk bersila pada setiap pojok untuk berjaga-jaga.
Di atas singgasana sebelah kiri mata penonton, Tiga Rabbah terkekeh seraya menyapu pandang di area bawah panggung. Mbah Dunung (Djaka Kamto) mengajak Mbah Bayan (Margono Wedyopranasworo) dan Mbah Kilir (Novi Budianto) mengambil posisi dan jarak yang pas untuk menyaksikan kejadian di tanah Nusantara.
“Sendika, Kangmas Dunung. Terasa sampai di angkasa situasi dan hawa kegelisahan nasional di Nusantara,” sambut Mbah Bayan. Di sampingnya Mbah Kilir berkomentar dengan tajam: “Wajahnya lugu tapi penguasa. Penguasa tapi lugu wajahnya.” Lalu disambut Mbah Dunung, “Apakah di dalam kelambu putih itu beliau sedang mlungsungi?” tanyanya sambil menunjuk arah tengah panggung.
Dialog penuh jenaka tapi sarat kritik tajam mewarnai dalam setiap tuturan tiga Rabbah. Dua di antara Rabbah saling adu komentar. Apakah Sang Prabu sedang tidur atau mlungsungi. Bahkan dikatakan mungkin bertapa, mungkin ngenthung, dan tidurnya berkualitas mlungsungi. Mbah Dunung menengahi, “Diundi saja coba. Diundi…”
Rabbah sendiri merupakan simbolisme para dewa yang sangat berkarakter. Tak dinyana kalau pengetahuan mereka atas fenomena di Nusantara bukan hanya titis, melainkan juga menggelitik sehingga menimbulkan tawa penonton.
Ada satu dialog yang diungkapkan Mbah Kilir dan amat relevan dengan situasi belakangan. “Setahu saya yang bagi-bagi sembako di seluruh Nusantara itu ada beribu-ribu jumlahnya dan berlangsung banyak dan di mana-mana. Tapi yang masuk media dan dipamerkan hanya Prabunya thok,” ujarnya. Komentar ini lalu dilanjutkan masalah kejayaan Nusantara sebelum akhirnya bangsa Eropa merampok bumi pertiwi.
Adegan lalu dilanjutkan dengan penangkapan empat tokoh. Mereka digelandang sejumlah aparat yang dipimpin oleh Menteri Sadungan (Untung Basuki) dan Menteri Roro Amis (Sitoresmi Prabuningrat). Empat tokoh itu dituduh subversif, menyebarkan hoaks, melakukan makar, dan menyemai kebohongan publik.
Dengan berbagai pledoi para tahanan itu mempertahankan diri. Zacharael (Eko Winardi) mengatakan, “Bapak Perdana Menteri, saya tidak pernah membuat pernyataan politik. Yang saya ungkapkan adalah analisis dan konklusi ilmiah.” Pembelaan itu segera dibalas PM Kolodadhung (Bey Saptomo). Ia membeberkan alasan di balik penahanan. Seperti menyebarkan pandangan bahwa Proklamasi Nusantara 1945 itu batal karena tidak logis. Menurutnya, aliniea pertama teks Proklamasi dibatalkan secara substansial oleh alenia kedua.
Masalah berlanjut sampai pokok perusahaan berbalut negara. Gus Laqus (Dinar Saka), salah satu tahanan, bilang mengapa tidak perusahaan saja negara ini dibikin karena jelas tujuannya. “Daripada agama dan nilai-nilai luhur dimanfaatkan untuk mencari keuntungan harta benda dan kekuasaan,” tegasnya. Nyi Rachmini (Entien Morrtie) sependapat. Nusantara diubah saja menjadi korporasi perusahaan raksasa. Lalu pucuk pimpinannya Direktur Utama Korporasi Perusahaan-Perusahaan Nusantara.
Pentas Mlungsungi yang digawangi oleh Reriungan Tiga Generasi menyodorkan tuntunan dan tatanan. Istilah mlungsungi merupakan peneguhan terhadap penyadaran diri kembali. Pada salah satu adegan, Zacharael menguraikan apa itu mlungsungi sebagai kondisi yang niscaya dirasakan setiap makhluk Tuhan.
“Semua makhluk Tuhan itu mlungsungi dengan caranya masing-masing. Andaikan yang dikenal oleh kebanyakan masyarakat bahwa yang mlungsungi itu hanya ular itu juga fakta yang dahsyat. Gusti Allah dawuh kepada ular agar menjaga ekosistem, menjaga keseimbangan alam. Kalau tidak ada ular maka hama tikus dan hama celeng merajalela menghancurkan pertanian manusia. Tanpa mlungsungi, kehidupan alam akan rusak dan kehidupan manusia akan membusuk,” paparnya.
Keadaan mlungsungi berprinsip sama dalam setiap perubahan peradaban. Tak pelak kebudayaan pun juga melakukan proses demikan. Termasuk teknologi memudahkan urusan kehidupan. Kearifan Jawa berkhidmat bahwa hakikat mlungsungi adalah mati sakjroning urip. Maka proses mlungsungi pertama tiada lain harus berangkat dari dalam diri. Seperti kata Gus Laqus:
“Mlungsungi itu semacam berganti diri. Daur ulang. Atau re-setting mental, akhlak, dan kepribadian. Manusia bisa mlungsungi dari buruk menjadi baik tapi juga bisa dari baik menjadi buruk. Presiden bisa ternyata raja sehingga perlu mlungsungi menjadi benar-benar presiden. Supaya tidak seakan-akan presiden padahal raja. Dan negaranya seolah-olah republik padahal kerajaan. Ngakunya demokrasi padahal monarkhi,” imbuhnya.
Pentas drama “Mlungsungi” tadi malam (25/03) di Concert Hall Taman Budaya, Yogyakarta berlangsung lancar. Penampilan Reriuangan Tiga Generasi sangat energik. Pentas yang direncanakan dua hari ini merupakan gagasan pertemuan Reriungan 200-an seniman sepuh dari berbagai latar belakang kesenian pada 21 November 2021 di Rumah Maiyah Kadipiro. Sebuah aktivitas kebudayaan yang berbasis nilai persaudaraan dan kebersamaan.