“Mlungsungi”, Fragmen Empat Alam
Drama cerita “Mlungsungi” yang naskahnya ditulis Emha Ainun Najib (Mbah Nun), didukung pemain seniman teater tiga generasi, sudah digelar di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Saya menonton di hari pertama, Jumat, 25 Maret 2022. Drama ini merupakan drama kedua yang saya tonton secara langsung, setelah drama “Sengkuni 2019” pada 2019.
Jika saya menelisik dari buku (bonus penonton), buku itu dibuka dengan Tulisan “Syair Mlungsungi” karya Emha Ainun Nadjib
Satu rela sirna
Agar menjadi dua
Empat tak kan mengada
Kalau tiga tak meniada
Semburat cahaya matahari
Di ujung malam yang sunyi
Pagi terbit siang bernyanyi
Senja pasti mengakhiri
Mati berulang-ulang kali
Agar senantiasa lahir kembali
Menempuh kerinduan nan sepi
Mengemis kasih sayang ilahi
Mengembarai seribu sabana
Agar sampai di cakrawala
Perjalanan dari fana ke fana
Menuju penerimaan cinta-Nya
Saya yang awam tentang dunia puisi mencoba mengembarai puisi itu. Salah sudah biasa, tapi apa salahnya mencoba, kan?
“Mati” adalah kondisi yang secara fisik pasti tidak enak bahkan Nabi Muhammad mengatakan bahwa rasa sakit ketika sakaratul maut itu bagaikan 300 kali tusukan pedang. Tetapi bagi orang yang sangat mempercayai adanya alam akhirat, mati justru bukan sakit fisiknya namun adalah pintu kegembiraan karena dengan mati ia bisa bertemu kekasih yang sejati.
Dengan kesadaran tentang kematian mestinya manusia menyadari batas waktu di dunianya itu sangat sebentar sehingga akan menggunakan waktunya sebaik mungkin supaya menuju keridhoan Ilahi. Di syair itu ditulis “Menuju penerimaan cinta-Nya”, maka gamblang sudah bahwa tujuan kehidupan ini memang diridhai Tuhan dan caranya pun kita harus ridha dulu atas segala takdir dan ketetapan dari-Nya.
Maka “Mlungsungi” ibarat perubahan ke perubahan. Fana ke fana. Orang yang tidak pernah tersandung bisa jadi tidak akan waspada dalam berjalan, namun saat tersandung justru ada pelajaran untuk waspada. Kita tidak mengharap tersandung, tetapi kita mengambil pelajaran dari tersandung. Maka masalah ke masalah semoga membuat kita bisa “mlungsungi” ke arah yang lebih baik.
Dalam buku itu Mbah Nun menulis tentang “Persaudaraan dan Kebahagiaan Manusia-Manusia lemah”. Beliau menulis bahwa manusia memiliki mental tiga kecenderungan: Pertama, cenderung menggali dan membangun kekuatan atau kehebatan kemudian berusaha mengungguli sesamanya. Tujuan hidupnya adalah supremasi, monopoli, kekuasaan, sampai lahir konsep negara adikuasa.
Kedua, cenderung menipu diri dengan merasa kuat, mencitrakan diri hebat dan merasa memiliki dunia dan isinya dsb. Ketiga, menyadari dengan objektif dan menerima secara bijaksana kelemahan atau ketidakhebatannya lalu berhimpun agar sanggup mempertahankan diri dari sesamanya yang menekan atau menginjak kelemahannya. Kesadaran ketiga itulah yang mendasari Reriuangan Teater Yogya sehingga 3 generasi berkumpul tanpa membawa bendera kelompoknya. Barangkali hal ini tidak akan terjadi di belahan bumi manapun sebab kebanyakan malah saling unggul-unggulan, ndas-ndasi, dsb.
Fragmen dibuka dengan seorang perempuan terlentang di tengah pentas. Dengan iringan musik nan magis, perlahan ia bangkit menari dan menggeliat-geliat di atas hamparan kain berbentuk lingkaran. Di samping kanan kirinya ada dua orang yang membawa kain melilit perempuan itu sehingga tertutup lilitan kain. Gambaran ini sangat pas dengan judul drama “Mlungsungi” seakan-akan kita sedang dibuka untuk memasuki alam-alam Mlungsungi.
Saya membagi drama ini dalam fragmen empat alam yakni alam para dewa, alam para leluhur, alam para iblis, dan alam dunia.
Muncul tiga sosok berdiri di atas cangkang yang sudah retak. Menurut saya ini fragmen alam para dewa, sebab tiga sosok ini yang dikenal Tiga Rabbah yakni Mbah Dunung (Joko Jamto), Mbah Bayan (Margono W) dan Mbah Kilir (Novi Budianto) seakan menjadi penonton dan pengamat sekaligus prihatin dengan Bumi Nusantara di fragmen alam dunia sebab musababnya adalah tingkah polah Prabu Durgoneluh ( Agus Leyloor).
Kalau boleh saya menggambarkan watak dan kecenderungan mentalnya yang kedua yakni cenderung menipu diri sendiri dengan merasa kuat dan hebat. Merasa suhu padahal aslinya cupu. Ada juga fragmen Prabu Durgoneluh sedang bagi-bagi sembako kepada rakyat padahal yang bagi sembako ajudannya tetapi yang dikenal hanya Prabu Durgoneluh. Bagian ini seakan pelajaran bagi kita semua agar jangan mau disuap dan jangan gampang dibohongi pencitraan karena ke depannya justru nanti semakin menjadi-jadi kesewenangannya pada rakyat karena bagaimanapun juga ingin balik modal.
Ini diperkuat munculnya tiga leluhur yakni Kanjeng Sepuh (rencananya diperankan oleh alm. Azwar AN lalu diganti oleh Fajar S yang menuntun kursi kosong yang sedianya ditempati Azwar AN), Trah Tumerah (Daning Hudaya), dan Eyang Goprak (Tertib S ) di alam para leluhur mereka kompak satu suara agar manusia nusantara segera mlungsungi. Agar segera berbenah diri. Agar jangan sampai salah pilih pemimpin lagi.
Plot berpindah ke alam Tiga Rabbah ( alam para dewa) mereka sedang membicarakan tentang kesadaran leluhur orang Jawa yang bisa sampai ke tingkat 18 yakni trah tumerah. Urutannya: “Anak, Putu, Buyut, Canggah, Wareng, Udhek-udhek, Gantung Siwur, Gropak Senthe, Debog Bosok, Galih Asem, Gropak Waton, Cendheng, Giiyeng, Cumpleng, Ampleng, Menyaman, Menya-Menya, Trah-Tumerah” di mana Trah Tumerah adalah urutan 18 ke atas mulai dari bapak ibu kita. Artinya para leluhur kita sangat menjaga hubungan persaudaran sesama manusia dan hubungan asal usul bahkan sampai keturunan ke 18. Ini bisa jadi PR untuk kita semua untuk mengenali leluhur dan saudara kita.
Fragmen kembali ke alam dunia. Muncul Perdana Menteri Kolodadhung (Bey Saptomo) yang sedang menangkap empat dewan reriyungan. Empat orang ini merupakan orang yang penting dan sangat kritis dan peduli pada bangsanya tapi karena berbentur dengan kepentingan kekuasaan, maka empat orang ini pun diadili. Mental kecenderungan PM Kolodadhung mencerminkan manusia yang merasa memiliki dunia entah itu tanahnya, lautnya, gunungnya dsb sehingga sesuka hati mengurusnya tanpa pertimbangan orang banyak. Efek ini memunculkan kerusakan alam dengan dalih pembangunan dan banyak penduduk yang tersingkirkan akibat selisih dengan kekuasaan. Kita bisa tengok bagaimana rakyat berusaha melindungi alam melawan hegemoni kekuasaan, bukan?
Zacharael (Eko Winardi) yang dituduh subversif karena menggugat isi proklamasi tentang perpindahan kekuasaan yang sampai sekarang belum terjawab bagaimana perpindahannya? Apa yang dipindah? Kemana perpindahan itu? Itu semua dianggap hoaks atau statmen Gus Laqus (Dinar Saka) yang mengurai tentang perbedaan kondisi surga dan bumi. Statement Sayid Zabany (Hisyam AF) yang dianggap makar. Berbagai segmen tuduhan hoaks, ujaran kebencian dan jual beli hukuman marak terjadi. Kesemuanya itu aslinya ada muatan politisnya yakni selama tidak menghambat kekuasaan maka akan aman tapi selama menghambat kekuasaan apapun saja bisa ditangkap sebab kini kita punya pasal UU ITE yang bisa ditarik kemana saja.
Fragmen Rombongan Talbis muncul di alam para iblis. Mereka mengobrol satu sama lain bahwa merekalah yang membuat manusia satu sama lain saling menghancurkan, berbunuh-bunuhan, sebab manusia sangat cinta dunia. Peperangan di dunia ini, merekalah sumber pembisikan. Sumber propagandanya. Tetapi meskipun kelakuan mereka sangat memusuhi manusia, mereka tidak berani menantang atau mengaku Tuhan. Ini berbanding terbalik dengan di alam dunia bahwa manusia hanya karena dilimpahi amanat berupa jabatan, harta, dlsb. malah sombong. Ini sindirian buat kita agar sadar bahwa aslinya apapun yang kita miliki adalah amanat dari Tuhan. Harusnya kita bersyukur, bukan malah kufur.
Kembali ke fragmen alam dunia. Para dewan reriyungan akhirnya dijebloskan ke penjara. Tetapi bukannya menyerah, mereka semakin berapi-api perlawanannya. Mereka sepakat menggelar Reriungan Nasional demi memperbaiki negeri Nusantara yang kian amburadul. Ibarat ular, kupu-kupu, bahkan burung garuda, yang mengalami fase berubah wujud, Nusantara sudah waktunya untuk mlungsungi dan lahir kembali. Perubahan akan terjadi jika ada yang memulainya dan ada yang mau berjuang bersama-sama. Ini pelajaran buat kita supaya terus-menerus mengobarkan api perjuangan rakyat.
Di ujung cerita, di tengah kondisi rakyat Nusantara yang menginginkan perubahan terjadi revolusi besar-besaran. Rakyat melawan penguasa. Banyak manusia Nusantara bergelimpangan usai menuntut perubahan. Di alam para iblis, sekelompok setan yang sempat tumbang itu dapat bangkit dan terkekeh-kekeh. Mereka merasa menang. Tetapi kemudian muncul Mbah Dunung di alam para dewa, ia khawatir bangsa Nusantara akan memilih kehancuran total akibat perang daripada mlungsungi.
Saya teringat Mbah Nun pernah dawuh bahwa ada empat hal yang secara langsung atau tak langsung bisa mempengaruhi perubahan yakni pertama, wabah penyakit. Kedua, bencana alam di mana-mana. Ketiga, revolusi besar. Keempat,adalah perang horizontal. Semoga saja dengan kesadaran reriungan itu kita mencoba nyicil perubahan dengan alternatif kelima yakni reriungan untuk mlungsungi.