Menikmati Latihan Teater “Mlungsungi”
13 Maret. Malam Minggu. Selepas pukul 19.00.
Saya meluncur ke Kadipiro, tepatnya di Rumah Maiyah. Ini malam, sesuai jadwal, di tempat tersebut ada latihan persiapan pementasan teater oleh komunitas “Reriungan Teater Yogyakarta”, yang mengambil lakon “Mlungsungi” karya Emha Ainun Nadjib. Proses latihan rutin yang dilakukan seminggu tiga kali, sudah berjalan sejak 6 Januari 2022. Saya merasa mendapat kehormatan saat Jujuk Prabowo, salah satu sutradara, mengundang untuk turut hadir dalam acara tumpengan dan meminta agar dalam setiap latihan dapat hadir menyaksikan. Sayangnya, saya tidak dapat memenuhi undangan tersebut, lantaran kegiatan-kegiatan di luar kota.
Malam ini, setidaknya kali kelima atau keenam saya menyaksikan latihan “Mlungsungi”. Saat datang, latihan sudah dimulai. Rombongan musik berada di sisi barat, di tempat parkiran. Jujuk Prabowo, di kerumunan para pemusik, dengan naskah di tangannya, menyimak adegan-adegan yang ditampilkan dan sesekali menginterupsi para pemain juga kepada para pemusik.
Cak Nun, sebagai penulis naskah, juga sudah hadir dan terlihat serius menyimak latihan, duduk di sisi selatan tiang bangunan paling depan. Sedangkan Fajar Suharno, tim sutradara, duduk di sisi utara tiang, juga menyimak serius. Sementara para pemain lain yang belum dapat giliran menyebar di sisi barat bangunan.
Saat datang, adegan yang berlangsung adalah Tiga Rabbah, yakni: Mbah Dunung (Djaka Kamto), Mbah Bayan (Margono) dan Mbah Kilir (Nevi Budianto). Siapa mereka? Gambaran ketiganya bisa didapatkan dari pernyataan Mbah Dunung: “Kita ini generasi tuanya para makhluk di alam semesta. Kamu dipanggil Mbah Bayan, saya diparabi Mbah Dunung, lantas Adimasmu itu Mbah Kilir. Nama kita itu maknanya sama: yaitu menjelaskan dan menerangi. Kilir itu penglihatan yang teliti. Kita dilahirkan di ditugasi Tuhan beberapa generasi sesudah Generasi Wiwitan Nur Muhammad. Andaikanpun penduduk Bumi sekarang ini diliputi kegelapan, kita dilarang mambuatnya bertambah gelap. Kompetitor atau bahkan musuh kita yang utama adalah Iblis dan Dajjal. Tapi mereka tidak bisa kita bunuh atau kita musnahkan. Karena kontrak hidup mereka adalah sampai Hari Kiamat.”
Adegan selanjutnya, di sela adegan tiga Rabbah adalah melintasnya Rombongan Lalu-Lalang, yang menggambarkan rakyat. Dibanding yang pernah saya lihat dalam latihan jauh sebelumnya, sudah terlihat kekompakan gerak mereka. Gerakan senada dengan koor atau nyanyian. Kalau tidak salah, ada adegan rombongan lalu-lalang yang tidak beraturan. Yang pernah saya lihat, gerak tidak beraturan masih benar-benar tidak beraturan, belum menjadi tidak beraturan yang enak dinikmati. Tapi, saya percaya bahwa Jujuk Prabowo akan mampu mengatasi persoalan ini, karena menciptakan gerak kolosal yang indah, merupakan salah satu kekuatannya, yang terlihat dari pementasan-pementasan yang disutradarainya dan pernah saya tonton.
Adegan menarik lainnya adalah pertemuan para iblis dan syetan. Sayang, posisi saya sudah berpindah di sisi barat, sehingga melihatnya dari belakang. Meritz Hindra dan Ami Simatupang, tidaklah diragukan lagi permainannya. Para iblis lainnya yang dimainkan generasi muda, beberapa di antaranya bermain cukup baik mencoba mengimbangi permainan dua seniornya.
Pukul 22.00, sesuai kesepakatan jadwal, latihan selesai, walau belum semua adegan ditampilkan. Setelah meminta para pemain untuk membuat lingkaran, Cak Nun mengabarkan tentang kondisi Eko Winardi yang tengah dirawat di RS. Ia meminta Edo untuk menginformasikan ke semua, tentang kondisi terakhir. Menjaga kemungkinan terburuk, Eko tidak dapat terlibat dalam pementasan, maka dibuat keputusan tentang perubahan beberapa pemain. “Kita tahulah, Eko paling semangat, dan tidak akan peduli dengan sakitnya. Dia pasti akan mencari cara untuk kabur dari RS agar tetap terlibat. Tapi kita berharap yang terbaik, menjaga kemungkinan yang terburuk,” demikian kira-kira Cak Nun menyampaikan tentang sikap dan kemungkinan tindakan Eko Winardi. Selanjutnya Cak Nun meminta semua untuk berdoa bagi kesembuhan Eko.
“Melihat Latihan malam ini, ya ada perasaan puas, cemas, juga bahagia,” ujar Cak Nun seraya memberikan contoh-contoh dari adegan-adegan yang dianggap cukup, kurang, dan memuaskan. “Tapi saya yakin, kita mampu mengatasi dalam waktu yang ada hingga pementasan nanti.”
Selain pementasan yang akan dilaksanakan pada 25 dan 26 Maret 2022 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, “Mlungsungi” juga akan dipentaskan ke beberapa kota lainnya, seperti Jombang dan Surabaya.
Semoga, waktu yang tersisa, benar-benar termanfaatkan, dan “Reriungan Teater Yogyakarta” yang personelnya berisi lintas generasi dan lintas kelompok, dengan kebersamaannya dapat mempersembahkan penampilan terbaik, memberi warna dan makna bagi kehidupan teater di Yogyakarta dan Indonesia!