Mengapresiasi Karya Reriungan 3 Generasi Teater Yogyakarta
Tahniah untuk 3 generasi Teater di Yogyakarta atas pementasan Drama “Mlungsungi” 25-26 Maret 2022 lalu. Tidak mudah mempersiapkan sebuah drama dengan melibatkan 90 orang lebih dalam waktu cukup singkat dan juga dalam situasi yang masih serba terbatas seperti ini. Ditambah, dengan melibatkan 3 generasi, tentu ada tantangan tersendiri agar chemistry setiap generasi itu dapat saling menyatu sehingga semuanya bersinergi untuk dapat mementasakan naskah dengan sempurna. Sekali lagi, saya ucapkan selamat dan sukses.
Singkatnya, bulan November lalu para seniman di Yogyakarta berkumpul bersama, reriungan di Rumah Maiyah Kadipiro. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa mereka akan mementaskan teater dengan naskah “Mlungsungi” yang ditulis oleh Cak Nun. Latihan perdana dimulai pada awal Januari 2022 dengan melibatkan setidaknya 92 orang secara keseluruhan. Drama ini dipentaskan pada 25-26 Maret 2022 akhir pekan lalu. Saya sendiri berkesempatan menyaksikan pementasan tersebut di hari kedua.
Seperti halnya naskah-naskah teater yang ditulis Cak Nun sebelumnya seperti “Nabi Darurat Rasul Adhoc”, “Tikungan Iblis”, dan “Sengkuni 2019”, naskah “Mlungsungi” ini sejak awal sudah menampilkan dialog-dialog yang solid dan kuat saat memperkenalkan karakter demi karakter. Naskah “Mlungsungi” sarat kritik, bukan hanya kepada penguasa saja tetapi juga kepada masyarakat luas.
Saya sendiri memang melihat ada benang merah yang dihadirkan oleh Cak Nun dalam “Mlungsungi” ini dengan 3 judul teater sebelumnya; “Nabi Darurat Rasul Adhoc”, “Tikungan Iblis”, dan “Sengkuni 2019”, Pak Joko Kamto, Pak Nevi Budianto, dan Pak Margono yang berperan sebagai 3 Rabbah; Mbah Dunung, Mbah Bayan dan Mbah Kilir tidak muncul di panggung utama. Ada satu properti berupa panggung kecil sebagai podium bagi 3 Rabbah ini. 3 Rabbah ini merupakan ilustrasi 3 petugas langit yang selama pertunjukan sibuk berdiskusi satu sama lain membahas dialog dan fragmen yang dipentaskan di panggung utama.
***
“Mlungsungi”, dalam poster yang sudah dirilis sebelumnya tersemat sub judul; Lahir Kembali. Kita memang sebelumnya hanya akrab kata ‘mlungsungi’ ini digunakan untuk menyebut proses ganti kulit dari seekor ular. Kadang, saat main di kebon atau sawah, kita menemukan kulit ular yang baru saja lepas dari tubuh si ular. Hampir semua daerah di Indonesia menyebut peristiwa bergantinya kulit ular ini dengan istilah “mlungsungi”. Dalam Bahasa biologi, proses yang mirip seperti yang dialami oleh ular juga dialami oleh ulat yang kemudian bermetamorfosis menjadi kepompong lalu ia lahir kembali menjadi kupu-kupu. Mlungsungi dan Metamorfosis yang dialami ular maupun ulat ini identik dengan tanda-tanda fisik dan terlihat secara kasat mata.
Cak Nun, melalui naskah “Mlungsungi” menyampaikan pesan kuat kepada kita semua bahwa sebenarnya kita sebagai manusia juga memiliki kesempatan untuk mlungsungi. Dalam naskah “Nabi Darurat Rasul Adhoc”, ada sebuah pesan yang juga tersirat bahwa manusia itu mati setiap hari dan lahir kembali setiap hari. Ada proses di mana manusia memiliki kesempatan untuk lahir kembali. Dalam Islam sendiri, ada banyak ritual yang sebenarnya mengakomodasi manusia untuk “mlungsungi”.
Puasa misalnya. Kita sering mendengar ungkapan bahwa setelah menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan, kita dianggap lahir kembali dalam suasana yang fitrah, maka kemudian kita merayakan Idul Fitri. Sepintas, ungkapan tersebut memang hanya berupa jargon semata, hanya sekadar tagline yang diucapkan berulang-ulang setiap tahun. Namun sejatinya, makna lahir kembali itu benar adanya. Asalkan kita serius dan sungguh-sungguh dalam menjalani puasa dalam satu bulan Ramadhan itu.
Tentu saja, ular dan ulat melewati proses “mlungsungi”-nya dilakukan dengan sungguh-sungguh. Bukan sekadar peristiwa rutin yang memang harus mereka jalani. Ada peran yang sudah disiapkan oleh Tuhan untuk mereka, sehingga mereka melewati masa “mlungsungi” itu. Jika ular dan ulat saja sudah menampilkan fragmen “mlungsungi” dalam kehidupan nyata, maka sudah sewajarnya manusia juga menjalani proses “mlungsungi” itu.
***
Di sesi awal fragmen, setelah para Lalulalang bersorak-sorai menerikkan kata-kata “Mlungsungi”, tampak 3 pengawal dengan berjubah hitam mendorong sebuah kursi panjang dengan kelambu putih. Lalu sesosok orang bertubuh kurus, berpakaian necis, bersepatu pantofel dan memakai jas muncul dengan kalimat pembuka “Saya sudah mengerti!”. Dia adalah Prabu Durgoneluh yang digambarkan sebagai seorang Pemimpin Nusantara. Dialog-dialog yang muncul di fragmen awal ini sudah cukup membuat para penonton menebak, bahwa Prabu Durgoneluh ini adalah representasi dari seorang presiden.
Ada fragmen di mana 4 tersangka diadili atas perbuatan mereka yang menurut Penguasa adalah perbuatan melanggar hukum. Cak Nun dengan apik menyiapkan fragmen pengadilan 4 tersangka ini dengan mengambil contoh peristiwa-peristiwa yang memang sering kita temui dalam beberapa tahun ini. Bukan contoh kasus korupsi atau pidana pencucian uang yang sedang marak beberapa hari terakhir yang dimunculkan di dalam fragmen, tetapi peristiwa yang memang relate dengan kita sehari-hari seperti; hoaks, ujaran kebencian, informasi penuh kontroversi dan provokasi. Setelah perdebatan panjang dalam proses peradilan dengan Penguasa itu, 4 sosok yang disangka sebagai pelanggar hukum lalu dijebloskan ke dalam penjara.
Seperti halnya dialami Cak Nun karena ada banyak potongan-potongan atas video beliau yang disebar melalui media sosial, lalu dinarasikan sebagai informasi-informasi yang misleading dan akhirnya menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Dalam dunia digital saat ini, yang disembah oleh netizen adalah; viral, trending topic, engagement, likes, dan subscribe. Tidak peduli bagaimana cara yang digunakan, yang penting tujuan viral, trending, dan lain sebagainya itu tercapai.
Dalam era digital ini, kita sendiri tidak mampu membendung derasnya arus informasi yang selalu membanjiri kita setiap hari. Apalagi kita yang setiap hari sudah sangat akrab dengan internet. Kemudahan akses informasi melalui gadget dalam genggaman tangan kita, menjadi penjara tersendiri bagi kita, tanpa kita sadari. Coba saja hitung sendiri, berapa banyak informasi yang kemudian menjerumuskan kita untuk melampiaskan emosi kita di media sosial? Berapa banyak informasi yang kemudian secara sadar membuat kita semakin konsumtif dengan berbelanja online? Berapa banyak informasi hoaks yang sudah memprovokasi kita melalui media sosial? Dan saya yakin masih banyak lagi informasi-informasi yang kemudian menjerumuskan kita untuk semakin terkungkung dalam penjara informasi hari-hari ini.
Saat fragmen Iblis dan Setan saling berdiskusi dan berargumen di panggung, saya teringat fragmen Tikungan Iblis. Iblis dan Setan adalah makhluk kepastian yang diciptakan oleh Tuhan. Iblis dan Setan pasti menyembah Tuhan dan sangat taat dengan Tuhan. Iblis dan Setan melakukan apa yang memang diperintahkan Tuhan. Iblis dan Setan tidak melakukan improvisasi. Seperti halnya Malaikat, mereka adalah makhluk Tuhan yang penuh kepastian. Berbeda dengan Jin dan Manusia yang diciptakan sebagai makhluk kemungkinan. Iblis pun menampar manusia dengan sebuah fakta yang benar adanya bahwa Manusia dengan segala perilakunya saat ini adalah makhluk yang dholuman jahula.
Pada sesi puncak di Drama “Mlungsungi” ini, Penguasa dan Rakyat saling beradu, tentu saja karena mereka diprovokasi oleh Iblis dan Setan. Yang pada akhirnya, baik Pengausa maupun Rakyatnya, semuanya pada akhirnya mati sia-sia. Begitulah adanya ketika kita hari ini pun berdebat dan beradu argumen, bahkan mungkin jika pada akhirnya ada kesempatan bagi rakyat untuk menggulingkan kekuasaan, pada akhirnya tidak menjadi apa-apa. Karena pemenang yang sebenarnya bukan Manusia itu sendiri, melainkan Iblis dan Setan yang berhasil memprovokasi Manusia.
Fragmen-fragmen yang dipentaskan di Drama “Mlungsungi” ini sepertinya memang sebuah pementasan teater yang disiapkan oleh Cak Nun untuk menyampaikan sebuah pesan bahwa seluruh pemangku kebijakan di Negeri ini harus segera menjalani “Mlungsungi”. Bahkan, lebih dalam lagi, kita sebagai rakyat biasa pun harus “Mlungsungi”, untuk lahir kembali.
***
Jika kita melihat momentum dua tahun kemarin, kita melewati masa pandemi, di mana kita terkurung dan sangat terbatas untuk tidak bisa melakukan banyak hal seperti sebelumnya. Sayangnya, momentum dua tahun untuk jeda itu tidak benar-benar kita manfaatkan untuk “Mlungsungi”. Kita melewatinya dengan biasa saja, seolah-olah tidak ada apa-apa. Kita sebagai bangsa pun gagal memaknai momentum tersebut untuk dimanfaatkan sebagai momen untuk lahir kembali.
Sebagai bangsa, Indonesia pun sepertinya tidak memaknai apa-apa dari momen dua tahun pandemi. Pada akhirnya, kita menyaksikan para penguasa justru semakin rakus demi melanggengkan oligarki. Pandemi menjadi ajang bisnis dunia kesehatan, proyek-proyek infrastruktur seperti pembangunan Bandara, Kereta Cepat hingga Ibu Kota Negara yang baru terlihat dipaksakan. Puncaknya, masa jabatan Presiden diwacanakan untuk diperpanjang.
Kenapa saya menyebut ada benang merah antara Drama “Mlungsungi” dengan drama-drama sebelumnya yang ditulis naskahnya oleh Cak Nun, setidaknya ada beberapa hal yang saya catat. Dalam Drama Tikungan Iblis, Cak Nun seperti memberi pesan kepada kita yang menontonnya bahwa Iblis adalah makhluk yang sangat taat kepada Tuhan, sehingga ia sangat setia dengan perannya sebagai Iblis. Sementara Manusia sebagai makhluk kemungkinan, hidupnya penuh dengan improvisasi, sehingga meskipun sudah dibekali banyak informasi dari Tuhan, bahkan difasilitasi dengan adanya Nabi dan Rasul, ternyata tidak cukup untuk mengantarkan manusia menjadi ahsani taqwim.
Dalam Naskah Drama “Nabi Darurat Rasul Adhoc”, Cak Nun saat itu mempertanyakan apakah kita benar-benar membutuhkan Nabi atau Rasul yang sifatnya sementara untuk menyadarkan kita kembali akan hakikat hidup? Sementara di Naskah “Sengkuni 2019”, Cak Nun mengajak kita untuk kembali merefleksikan ke dalam diri kita, siapakah sebenarnya Sengkuni? Dan ternyata kita salah sangka mengenai Sengkuni itu sendiri.
Melalui Drama “Mlungsungi” ini, Cak Nun semakin menegaskan bahwa memang yang dibutuhkan oleh Manusia adalah momen jeda sejenak dari dunia, untuk menepi dari keramaian, entah memasuki Gua Kahfi atau bahkan Gua Hira’ dalam kehidupan kita masing-masing. Arus zaman yang mengalir semakin deras harus diimbangi dengan kedewasaan sikap dan kebijaksanaan. Seperti tersirat dalam satu dialog di dalam “Mlungsungi” ini; “Cahaya yang sejati hanya bisa dirasakan dengan kejujuran hati, kejernihan pikiran dan keluasan jiwa”.
Seperti halnya ular dan ulat, Cak Nun pernah menggambarkan proses “mlungsungi” yang dialami burung Garuda. Saat usianya semakin tua, dan paruh serta kukunya sudah tidak sekuat sebelumnya, ia juga akan “mlungsungi” dengan terbang menuju bukit yang tinggi. Di sana ia menghancurkan paruh dan kuku-kukunya. Jika ia berhasil melewati proses “mlungsungi” itu, ia akan menjadi burung Garuda yang lahir kembali dan menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Dan kita memang harus mlungsungi, agar kita lahir kembali.