Karena Drama “Mlungsungi” adalah Doa Kita
Tidak lazimnya pementasan teater, penampilan drama “Mlungsungi” diawali shalawatan bareng. Teman-teman Lemut Samudro mengiringi shalawatan yang dipandu Mas Imam Fatawi, Mbak Yuli, Mbak Nia, dan Mbak Putri.
Ini tidak semata-mata pementasan drama, melainkan pengajian Padhangmbulan yang kental suasana egaliternya, kuat aura majelis ilmunya dan sarat getaran sinau barengnya.
Gelaran pentas drama “Mlungsungi” di Pengajian Padhangmbulan pada Sabtu, 16 April 2022 di Mentoro Sumobito Jombang dihadiri sepuluh ribu lebih jamaah. Mereka memadati halaman pengajian, ruas jalan, halaman masjid Al-Faruq hingga sisi timur ndalem kasepuhan.
Di luar halaman panggung utama hanya “jalan setapak” yang tersisa untuk lalu lalang jamaah. Selebihnya mereka saling berbagi ruang dan tempat.
Sejak adegan pertama dimulai jamaah bukan hanya disuguhi keindahan gerak dan tari yang dibingkai apik oleh properti dan aliran musik. Dialog dalam pentas drama “Mlungsungi” sarat dengan keutuhan substansi moral dan filosofi dalam menyikapi kahanan.
Yang menarik dan ini di luar dugaan adalah respons jamaah. Mereka menampilkan kepekaan dan kecerdasan mencerna realitas yang terjadi di atas panggung. Gelak tawa, tepuk tangan, hingga raut wajah mereka menunjukkan kegembiraan. Realitas di atas panggung nyambung dengan dinamika pikiran dan isi perasaan mereka.
Para jamaah cukup sigap menyambut dialog yang berisi sindiran kepada penguasa, cukup tangkas menangkap sanepan yang menyodorkan fakta ketimpangan, cukup peka membaca imaji simbolik yang menggambarkan ketidakadilan.
Beberapa detail ungkapan dialog membawa saya hinggap di kenangan masa kecil. “Mbahmu kiper,” ya, seloroh ini sudah sangat lama tidak saya dengar. Zaman dahulu seloroh itu akan dibalas, “Gak iso. Mbahmu back.” Maksudnya, mbahmu yang jadi palang pintu di depan penjaga gawang.
Itu satu cuatan kecil di tengah gelombang dialog yang merasuki imaji saya. Adapun gelombang besarnya, syukur Alhamdulillah, mudah-mudahan jamaah bisa berselancar di atas ombaknya.
Selama tiga jam penuh para jamaah gak obah gak mingket. Suasananya terasa khusyuk. Atmosfer respons penonton sangat indah. Malam itu jamaah menampilkan kedewasaan sebagai penonton.
Pementasan drama “Mlungsungi” di Pengajian Padhangmbulan diterima sebagai bentuk sinau bareng tak ubahnya Majelis Masyarakat Maiyah yang lain. Ya isi dialognya, ya setting panggungnya, ya lightingnya, ya pernak-pernik aksesoris pemainnya, ya totalitas para pemain dan tim pendukungnya, ya substansi filosofisnya.
Pada obrolan santai malam sebelum pementasan Pak Jujuk menegaskan, “Nek iyo, iyo. Nek gak, gak. Bermain teater tidak bisa setengah-setengah apalagi dijalani dengan ragu-ragu.” Kalau iya, ya, kalau tidak, tidak. Ini salah satu sikap dasar yang diajarkan di Maiyah. Tidak ada udang di balik batu, demikian Mbah Nun pernah berpesan beberapa tahun lalu.
Mas Helmi yang duduk di samping saya sepanjang pementasan berkali-kali menyatakan respons jamaah Padhangmbulan memang istimewa. Ketika cahaya di atas panggung menjadi gelap tanda pementasan berakhir, tepuk tangan, suitan, teriakan, applause dari jamaah pecah seketika. Menyaksikan itu semua saya merinding.
“Ini teater rakyat,” ucap Mbah Nun. Barangkali kenyataan ini pula yang mendasari keputusan Mbah Nun agar penonton diberi jarak lebih dekat dengan panggung. Tak ayal mereka pun merangsek mendekati panggung. Nyaris hanya tersisa jarak setengah meter antara penonton dan panggung.
Drama “Mlungsungi” adalah doa. Kita semua berdoa; kita semua mengamininya. Kita tidak tahu siapa satu di antara sepuluh ribu lebih hamba Allah yang doanya dikabulkan. Dan kita yakin seyakin-yakinnya Allah mengabulkan doa “Mlungsungi”.