CakNun.com

Gerakan “Mlungsungi”, Gerakan Reriungan

Odi Shalahuddin
Waktu baca ± 5 menit

Dua malam berturut-turut (25 & 26 Maret), Reriungan Teater Yogyakarta telah mementaskan naskah “Mlungsungi” karya Emha Ainun Nadjib di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta. Pementasan dimulai tepat pada pukul 20.00. Dua orang pembawa acara tampil di panggung, mengucapkan selamat datang kepada para penonton, lalu membacakan nama-nama para para pemain dan segenap tim produksi yang terlibat.

Foto: Adin (Dok. Progress)

“Selamat menyaksikan!” teriak kedua pembaca acara dan lampu pun padam.

Musik terdengar, perlahan lampu menyala lembali, cahaya terfokus pada tengah panggung. Kain yang disusun berbentuk lingkaran di lantai, ada sosok satu manusia terbaring. Tangan kanan terangkat, meliuk, disusul tangan kirinya, meliuk-liuk, dan perlahan bangkit dalam posisi duduk membelakangi penonton. Berbalik, wajahnya pun tampak. Dua penari lelaki, muncul dari sisi kanan dan kiri panggung. Menari, menari, perempuan bergeliat, membalut tubuhnya, melepas, membalut lagi, hingga seluruh tubuhnya terbalut kain. Melepas, segenap pakaian, dua penari membalut tubuhnya, menyerupai kepompong. Balutan itu, terangkat ke atas perlahan, menggantung, dan tetap di tempatnya, hingga pementasan usai.

Adegan tari pembuka, menjadi simbol proses “mlungsungi”. Orang Lalu-lalang. Lalu muncul para pengawal yang membawa tempat tidur berkelambu dan Prabu Durgoneluh, sang penguasa negeri. Secara karikatural, menampilkan sosok yang kini tengah berkuasa. Kemudian muncul tiga orang tua. Salah satunya mendorong sebuah kursi. Merekalah para leluhur negeri. “Kanjeng Sepuh, Buyut Azwaren, pada hari-hari terakhir sebelum dipanggil oleh Allah Swt, berpesan kepada bangsanya: Mlungsungi… Mlungsungi,” ujar salah seorang, yang disusul dengan kalimat-kalimat bergantian antara pemain mengenai pemaknaaan atas “mlungsungi”.

Tiga leluhur keluar dari panggung, cahaya terfokus pada level tinggi dengan properti menyerupai telur dengan bagian atas yang terbuka. Merekalah tiga Rabbah atau dewa. Ketiganya menyinggung tentang kedatangan para leluhur, kemudian mendiskusikan tentang sikap atau tindakan Prabu Durgoneluh menghadapi situasi di negerinya, dan posisi saat ini seraya memandang ke bawah ke arah tempat tidur yang tertutup kelambu, menebak apakah Prabu Durgoneluh tengah tertidur atau tengah mlungsungi.

Mengalir kemudian adegan-adegan tentang penangkapan aktivis dengan tuduhan sebagai pelaku subversive, penyebar hoax, makar dan penyebar kebohongan publik; dialog para iblis; orang Lalu-lalang; persidangan Iblis dan Setan; persidangan para aktivis; gerakan nasional mlungsungi; dan pemberontakan massa yang mengakibatkan kedua belah pihak jatuh korban. Para Rabbah yang prihatin, iblis dan seetan yang bersorak atas kemenangan. Keduanya kemudian bertarung. Para Rabbah-lah yang menang. Pementasan-pun usai. Tiada terasa, waktu berjalan mencapai 3 jam 20 menit.

***

Saya kebetulan beberapa kali mengikuti proses latihan, penampilan saat gladi bersih, dan juga pementasan dua malam berturut-turut.

Keunikan sebuah pementasan teater, saat sebuah repertoar dipertunjukkan dengan waktu yang berbeda, walau dengan pemain dan sutradara serta tim pendukung yang sama, hasilnya belumlah tentu sama. Ada sebuah kelompok yang pertunjukannya justru lebih baik pada hari pertama atau bahkan pada saat gladi bersihnya, ada pula kelompok yang mempertunjukkan hasil menjadi lebih baik pada pementasan-pementasan setelahnya.

“Mlungsungi”, menurut saya, kualitas pertunjukannya semakin baik jika dilihat saat gladi bersih, pementasan hari pertama dan pementasan hari kedua. Satu dua Kekurangan atau kelemahan yang tampak pada saat pertunjukan, dievaluasi, dan mendapatkan penyempurnaan pada pertunjukan selanjutnya.

Pada malam kedua, saya merasakan irama permainan berjalan dengan lancar, kekompakan para pemain di setiap adegan semakin mengental, gerak kolosal dari Lalu-Lalang terlihat dinamis dengan semangat para pemain yang menguat. Adegan rombongan para iblis dan setan sejak awal menjadi tontonan yang menarik, walaupun ada penyempurnaan dalam gerak dan dialog. Penyempurnaan permainan ini tentu didukung oleh musik dan tata suara yang semakin harmonis terasa menyatu dalam adegan-adegan yang mengalir. Juga tata cahaya yang lebih ciamik.

Pertunjukan ini yang menerapkan prosedur kesehatan yang berlaku, yakni hanya bisa disaksikan oleh 50% dari kapasitas yang ada, di hari pertama, seluruh penonton duduk manis di kursi masing-masing sesuai nomor tiketnya. Di hari kedua, pembawa acara mengumumkan jika ada penonton yang akan maju ke depan duduk lesehan dipersilakan, berhamburanlah puluhan penonton yang memilih duduk di depan.

Memang terasa berbeda, saat jarak antara penonton dengan pemain tidak begitu jauh. Respons penonton terlihat muncul dengan cepat, yang mendorong para pemain dituntut untuk lebih menghidupkan peran mereka masing-masing. Dan itu berhasil!

Foto: Adin (Dok. Progress)

“Rancangannya, ini adalah pertunjukan teater rakyat, bukan teater serius seperti Hamlet, Oedipus, dan sebagainya. Jadi antara pemain dengan penonton tidak berjarak,” demikian kira-kira yang disampaikan Cak Nun, saat acara dialog usai pementasan di malam kedua.

Reriungan

Reriungan, nama ini digunakan untuk menandai dan menyebut himpunan para pegiat seni lintas kelompok dan lintas generasi. Proses yang diawali dari silaturrahmi Edo Nurcahyo dan beberapa kawannya sejak Oktober 2021 untuk menyambangi para seniman ke rumahnya setelah beberapa tahun negeri ini dilanda Covid-19. Suatu hari, dengan personel yang lebih banyak termasuk Cak Nun menyambangi rumah Azwar AN pada tanggal 16 November. Dialog yang berlangsung menggagas sebuah pertemuan reuni, yang kemudian digelar di Rumah Maiyah pada 21 November 2021, yang dihadiri sekitar 200 seniman dari berbagai disiplin ilmu seni.

Pertemuan ini kemudian menggagas sebuah ruang reriungan dalam bentuk pementasan teater. Pilihan yang sangat tepat mengingat pementasan sebuah teater adalah kerja kolektif yang melibatkan banyak orang dan juga membutuhkan berbagai disiplin ilmu.

Cak Nun segera menyusun naskah, yang dikatakannya juga sebagai membayar hutang kepada Azwar AN sebagaimana dijanjikan pada tahun 1972. Naskah yang temanya didasarkan pada hasil pertemuan. Saya kira, saat menyusun naskah ini, selain mengembangkan isi dari tema, Cak Nun juga mempertimbangkan puluhan para pemain yang akan terlibat dalam pementasan ini. Setidaknya, 90 orang tercatat sebagai pemain dan pendukung produksi.

“Reriungan, saya harapkan bukan hanya terjadi di teater ini saja, melainkan juga di Indonesia, di Nusantara, dalam posisi sebagai negarawan, bukan politisi. Kita berpikir untuk mengembangkan bangsa menjadi besar,” ungkap Cak Nun dalam acara dialog dengan penonton.

Tantangan dalam pementasan ini cukup besar. Pertama, naskah “Mlungsungi” karya Emha Ainun Nadjib ini penuh dialog yang sarat dengan pemikiran untuk memaknai berbagai peristiwa yang terjadi. Pemikiran yang menyelusup jauh ke belakang tentang awal mula manusia, lahirnya ideologi dan perkembangannya, dalam kacamata pemikiran modern dan agama. Berbagai rangkaian peristiwa, tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dibentuk oleh peristiwa-peristiwa sebelumya yang telah menjadi sejarah. Berpijak pada titik ini, kemudian memproyeksikan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.

Kedua, para pemain yang terdiri dari lintas generasi, mulai yang sudah terlibat sejak era Bengkel Teater, Teater Alam, Teater Dinasti dan Teater Stemka periode akhir 1960-1970-an; pegiat di era 1980-an pada masanya Teater Jeprik dan Teater Gandrik; hingga era terakhir dari tahun 2010-an sampai saat ini, seperti Teater Muara dan Teater Embrio. Belum lagi, tidak semua pemain berlatar belakang aktif di Teater Modern. Ada yang berasal dari seni tari, ketoprak, pelukis, dan kalangan professional.

Foto: Adin (Dok. Progress)

Kedua tantangan ini khususnya menjadi tanggung jawab bagi tim sutradara yang terdiri dari Jujuk Prabowo, Fajar Suharno, dan Meritz Hindra.

Fajar Suharno banyak menyutradarai pementasan-pementasan Teater Dinasti pada tahun 1970-1980-an; Jujuk Prabowo, diketahui telah menyutradarai pementasan Teater Dinasti, Teater Gandrik dan berbagai kelompok lainnya termasuk dalam kerja-kerja kolaborasi; dan Meritz Hindra, pernah berhijrah ke Jakarta dan memimpin kelompok teater di Bulungan yang beberapa kali berhasil meraih kemenangan dalam Festival Teater Remaja/Fesitival Teater Jakarta.

Menyaksikan pementasan di dua malam tersebut, penampilan yang dihadirkan saya kira dapat menepis kekhawatiran Fajar Suharno yang secara jujur dituliskan dalam buku pementasan; “Saat ini yang bisa saya pikir hanya pertanyaan, apakah kualitas kerja bareng-bareng ini nanti bisa lolos kualifikasi karya pemanggungan?”

Keberhasilan menyatukan para seniman dalam reriungan yang telah menampilkan pementasan “Mlungsungi” kiranya membuat Azwar AN tersenyum bahagia di alam keabadian. Beliau yang telah berpulang pada 27 Desember, tetap dihadirkan sebagaimana perannya sebagai leluhur, dengan kursi kosong.

Lainnya