Drama Mlungsungi #35
Ia lahir di Yogyakarta pada 21 Januari 1962. Bakat seninya sudah tampak sejak SMP, walaupun pada saat itu olahraga sepakbola juga digelutinya. Malahan Ia sempat menjadi satu dari lima remaja yang lolos seleksi pemain tim embrio PSS Sleman kala itu. Sang Ayah ingin dia menekuni sepakbola, tetapi kesukaannya pada musik/band juga tak bisa ia kesampingkan. Dilematis. Sampai pada satu titik, ketika melihat performance main bolanya tidak bagus (karena saatnya harus istirahat di rumah sebelum pertandingan, malah nge-band), sang Ayah memintanya memilih antara sepakbola atau musik.
Masa sekolah di SMAN 6 Yogyakarta kemudian mempertegas dunia yang akan dikecimpunginya. Di sekolah ini, Ia dipercaya oleh teman-temannya untuk menjabat sebagai seksi kesenian OSIS. Ia pun ikut dalam grup band atau apapun saja kegiatan seni yang ada kaitannya dengan SMAN 6, salah satunya adalah grup band DePaster yang merupakan singkatan dari ‘Depan Pasar Terban’. Kemudian aktif dalam Teater SIMA (wadah Teater SMAN 6 Jogja). Di sini, Ia bertugas membuat musik ilustrasi. Dan di sini pula, Ia menyadari bahwa tidak semua pemusik mampu membuat musik ilustrasi untuk teater, operet, dan yang sejenis. Selain kemampuan memainkan alat musik, dibutuhkan pula jiwa teater.
Pada masa bersama Teater SIMA itulah Ia bertemu dengan kelompok-kelompok teater sekolah, dan bahkan berlanjut hingga setelah lulus sekolah dalam berbagai festival. Sembari berkuliah di Jurusan Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta, perkembangan selanjutnya di dunia seni, dia bertemu dengan Djadug Ferianto (alm.) dan ikut mendirikan kelompok musik KUA ETNIKA, kemudian terlibat dalam pementasan drama Pak Kanjeng karya Cak Nun, dan pada 1993 masuk ke kelompok musik KiaiKanjeng hingga saat ini. Selain itu, selama belasan tahun, Pak Bobiet, demikian sapaan akrab pemain keyboard KiaiKanjeng ini, juga menggarap ilustrasi musik berbagai program acara TVRI Jogja. Salah satu yang legendaris adalah serial drama “Mbangun Deso”.
Selama hampir tiga puluh tahun bersama KiaiKanjeng, Pak Bobiet telah melanglang buana ke berbagai belahan nusantara dan beberapa benua di dunia menjumpai beragam masyarakat dalam berbagai konteks. Salah satu yang paling berkesan tentunya adalah saat perjalanan ke Mesir pada 2003, di mana dia bersama Cak Nun dan teman-teman KiaiKanjeng lain berhasil napak tilas perjalanan Nabi Musa naik ke puncak Bukit Tursina.
Kali ini, pada pementasan drama MLUNGSUNGI, Pak Bobiet dipercaya menjadi salah satu pemusik bersama lima orang pemusik lainnya. Baginya, naskah MLUNGSUNGI sangat kontekstual dengan era sekarang dan ke depan. Dengan pendekatan MLUNGSUNGI, menurutnya, negara bisa dilihat sebagai punya lapisan-lapisan yang bila dikuak akan terlihat apa yang sebenarnya lebih dominan melekat padanya.