CakNun.com

Ami Simatupang: Kesetiaan Hidup Berkesenian

Odi Shalahuddin
Waktu baca ± 3 menit

Jika ditanya apakah mengetahui atau mengenal Annadetta Roostoominar Laksmi Lastari, tentu banyak seniman Yogya akan mengerutkan kening, mengingat atau menebak-nebak siapa gerangan si empunya nama. Tapi jika disebut Ami Simatupang, tentulah orang segera paham, dan terbayang dalam hitungan detik, sosoknya yang dinilai tidak asing.

Ami Simatupang sebagai Komandan Dasim.
Ilustrasi oleh Vincensius Dwimawan.

Ya, Ami Simatupang, sosok yang senantiasa hadir di dalam berbagai acara yang digelar berbagai komunitas, baik sebagai pengisi acara maupun hanya sebagai penikmat acara saja. Sampai saat ini Ia kerap membacakan puisi-puisi yang sudah disukainya sejak SMP di mana berulangkali memenangkan lomba deklamasi pada masa itu. Ia juga kerap terlibat dalam berbagai pementasan teater modern ataupun teater tradisi, yang diawalinya sejak ia masih di kelas satu SMA. Tentang seni suara yang digelutinya sejak SD, nah, ini yang belum pernah saya saksikan.

Anak kelima dari tujuh bersaudara dari pasangan W. Josef Polin Simatupang yang berasal dari Batak dan Floriberta Sumardiyati yang bersuku Jawa, sebelum terlibat dalam pementasan teater, sudah sering menonton pementasan-pementasan teater, terutama dari Teater Stemka di mana kedua kakaknya terlibat, yaitu: Tetty dan Landung Simatupang dan adiknya Lono Simatupang. Pementasan dari kelompok lain misalnya Bengkel Teater dan Teater Mandiri.

Ketiga anaknya, boleh dikatakan semuanya berkegiatan yang berhubungan dengan kesenian ataupun kebudayaan. Anak pertama, lulusan UKDW jurusan Produk Design, saat ini berkecimpung di glass flaming art. Anak keduanya selain sebagai dosen vokal di ISI Yogyakarta juga membuka kursus vokal dengan nama Colortone. Sedangkan anak ketiganya masih mengikuti studi D4 di vokasi Pariwisata UGM. Bisa dikatakan keluarga besar Ami Simatupang adalah keluarga seniman.

“Pada masa itu, teater Stemka juga sering mengisi acara drama remaja di TVRI. Di salah satu drama yang dimainkan itulah, pertama kali saya bermain drama. Sedangkan drama TV yang pernah saya ikuti antara lain: “Hotel”, “Gempa”, “Halimun di Watu Sewu”, “Roro Mendut dan Dua Orang Buta”, “Sutradara”, dan “Nggawekake Babahan Maling”. Pimpinan produksinya Pak Ananto Widodo,” ujarnya seraya mengingat-ingat.

Ami Simatupang yang melewati pendidikannya dari TK hingga SMA di sekolah Katolik di bawah pengelolaan Yayasan Tarakanita yakni TK Santo Yusup, kemudian SD Santo Yusup, yang kemudian dilebur jadi satu dengan nama TK dan SD Tarakanita. Sedangkan SMP dan SMA dijalani di Stella Duce I. Kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi Katolik pula, yakni Universitas Sanata Dharma.

“Waktu kuliah, mengikuti dan berhasil memenangkan lomba drama berbahasa Inggris. Judul yang dimainkan adalah “Two Blind Men and a Donkey”. Saya juga ikut berperan dalam pementasan “A Night Out” karya Harold Pinter yang disutradarai Richard Carter,” katanya seraya menyampaikan pengalamannya dalam berbagai pementasan.

Pada masa kuliah inilah, Ami Simatupang kerap mengikuti pementasan-pementasan yang dilakukan oleh Teater Stemka, seperti “Monte Christo”, “Ariadne”, “Kapai-Kapai”, “Lampu Aladin” (1981), Pembunuhan di Katedral (1983), “Sembodro Larung”, dan “Rami dan Cangkir”. Ia juga terlibat dalam pementasan “Lembar-Lembar Chairil Anwar (29-30 April 1985) yang merupakan memoar tentang Chairil Anwar karya Nasyah Jamin. Bentuk pentas berupa pembacaan perjalanan hidup Chairil Anwar serta musikalisasi puisi yang digarap oleh Lono Simatupang, Tonie Widiarto, Lugutz Nugroho.

Menikah, yang bagi kebanyakan perempuan, dapat menghentikan kegiatan di dunia kesenian, tidak berlaku bagi Ami Simatupang. Suaminya, yang menjadi dosen di Departemen Arsitektur UGM, tidak melarang dirinya untuk tetap aktif dalam dunia kesenian.

Saat Teater Stemka mengalami kevakuman lantaran Sebagian besar anggotanya yang merupakan orang dari luar daerah telah menyelesaikan studinya, dan berpencar mencari penghidupan, Landung Simatupang melatih drama di Universitas Sanata Dharma (Kelompok Lingkar Sutra). Beberapa pementasan sempat dilangsungkan, yang didukung pula oleh para personil dari teater Stemka seperti “Pembunuhan di Katedral”. Saat Landung SImatupang membuat naskah drama musical “Introspeksi” dan “Emaus” yang dipentaskan oleh Komunitas Kobar, Ami terlibat ambil bagian membawakan lagu-lagu ciptaan Lono Simatupang, Yudhi dan Luhutz Nugroho.

Di luar lingkaran dari Teater Stemka, Ami Simatupang tidak menolak tawaran untuk terlibat dalam pementasan yang dilakukan oleh kelompok lain, misalnya terlibat dalam “Tengul” dan “Opera Kecoa” bersama Dewan Teater Yogyakarta yang disutradarai Puntung CM Pudjadi. Bersama Untung Basuki dalam pementasan “Sepasang Merpati Tua”. Kemudian menjadi asisten sutradaranya Jujuk Prabowo dalam pementasan “Penangsang Memanah Rembulan”-nya Joko Santosa.

“Pementasan yang paling berkesan adalah “Kapai-Kapai”nya Arifin C. Noer yang menceritakan kehidupan rakyat jelata. Ini sangat menyentuh. Saya berperan sebagai Iyem, tokoh utama, yang kehidupannya sangat miskin dan menderita sampai-sampai harus menghilangkan nyawa bayinya sendiri,” ujarnya mengenang berbagai pementasan yang pernah dijalaninya.

Kini, Ami Simatupang terlibat sebagai pemain dalam pementasan “Mlungsungi” karya Emha Ainun Nadjib dan berperan sebagai Komandan Dasim, pengikut Baginda Watkun, dari rombongan para Iblis. “Naskah ini merupakan tulisan yang sangat sarat oleh aspirasi. Disampaikan dalam bentuk dialog-dialog yang kadang kedengarannya ‘kocak’ tapi sebenarnya memiliki makna yang sangat dalam.”

Ia juga sangat mengapresiasi tentang “reriungan teater” dan berharap proses ini akan terus berlanjut. Tidak hanya pada pementasan “Mlungsungi saja”. Menurutnya, reriungan dapat menjadi ajang pertautan gagasan/opini, kreasi, yang mana melibatkan berbagai kelompok dan generasi, sehingga proses saling asih, asah dan asuh, dapat hidup dan melahirkan pembaharuan-pembaharuan di jagat kesenian khususnya pemeranan. “Apresiasi yang tinggi untuk para penggagas reriuangan, juga kepada almarhum Bang Azwar yang telah melontarkan himbauan untuk terbentuknya reriungan teater ini, sebagaimana dahulu beliau menggagas dan mengembangkan arisan teater,” ucapnya seraya mendoakan agar almarhum Azwar AN beristirahat dalam kedamaian, ketenteraman dan kebahagiaan abadi.

Lainnya

Gerakan “Mlungsungi”, Gerakan Reriungan

Gerakan “Mlungsungi”, Gerakan Reriungan

Dua malam berturut-turut (25 & 26 Maret), Reriungan Teater Yogyakarta telah mementaskan naskah “Mlungsungi” karya Emha Ainun Nadjib di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta.

Odi Shalahuddin
Odi Shalahuddin

Topik