Al-Qur`an untuk Semua
Bukan Hanya
Tetapi “hudan linnas” mencerminkan rasio bahwa sesungguhnya setiap manusia oleh Allah diciptakan memiliki peralatan akal dan kelengkapan kejiwaan untuk bersentuhan dengan Al-Qur`an.
Tetapi “hudan linnas” mencerminkan rasio bahwa sesungguhnya setiap manusia oleh Allah diciptakan memiliki peralatan akal dan kelengkapan kejiwaan untuk bersentuhan dengan Al-Qur`an.
Mereka akhirnya bisa menjadi penghalang iman dan ilmu kita. Mereka melakukan atau berposisi memonopoli Allah dari alam kejiwaan kita. Mereka menjadi makelar-makelar atau pengecer-pengecer yang memotong hubungan otentik kita dengan Allah.
Khusus hal kata “mushibah”, kita tahu secara baku dalam pemahaman umum kata itu diasosiasikan sebagai bencana. Dalam penggunaan umum musibah menginformasikan tentang bencana atau kecelakaan.
Kita menempuh perjalanan dan perjuangan menuju ridla Allah ini dengan dan secara Al-Fatihah. Kita tidak punya perangkat untuk mengklaim bahwa jalan kita sudah benar di “shirathalladzina an’amta ‘alaihim”.
Apakah Allah menganugerahkan ilmu hanya kepada hamba yang suci? Apakah ilmu berkompatibilitas dan berelevansi dengan kondisi suci? Dengan kadar dan gradasi yang berbeda-beda?
Kita harus benar, baik, adil dan bijaksana dalam menyelenggarakan dan melaksanakan Negara, sebab kelak akan datang hari di mana tolong-menolong sesama manusia itu tidak ada lagi peluangnya.
Kemungkinan lain andaikan kita yang mengalaminya: pucuk Lombok hitam busuk itu bisa saja membuat kita membenci dan menolak seluruh batang Lombok itu, bahkan bisa juga menganggap seluruh makanan di piring itu busuk.
Benihnya qurban adalah cinta. Allah menciptakan kita karena melaksanakan iradat untuk intim dan dekat dengan kita. Maka prinsip utama Islam adalah tauhid, penyatuan.
Akan tetapi “as-shirath almustaqim” tidak sama dan sebangun dengan menang sepakbola. Tidak ada logika bahwa kesebelasan Argentina Juara Dunia sepakbola berarti paling benar “as-shirath almustaqim”nya.
Kalau pakai idiom Al-Fatihah, proses dan output penghayatan ilmu pengetahuan kita atas alam-alam semesta itu bisa menjebak kita menjadi “almaghdlubi ‘alaihim” atau bahkan terjerembab menjadi “ad-dhollin”.
Itu semua adalah kandungan rahim Al-Fatihah. Multiverse, al-‘alamin yang tidak hanya dalam pengertian materiil atau jasadiyah. Sebagaimana kita selalu keliru kalau membayangkan surga.
Tulisan Tadabbur ini sekedar mengingatkan bahwa sangat banyak paket wirid dan wacana dzikir itu semua hanyalah anak-anaknya Al-Fatihah. Al-Fatihah adalah Ibunya. Induknya. Biangnya. Sumber quwwah dan hikmah-nya.
Maka secara keutuhan maksud, kita memahami “as-shirath al-mustaqim” bukan “jalan yang lurus”, melainkan “arah yang tepat” ke Allah.
Maka kita kagum kepada Stephen Hawking yang pencapaian proses eksplorasi ilmunya membuat beliau berani menyatakan: “Tidak perlu kekuatan ilahi yang bisa menjelaskan terciptanya semesta”.
Mungkin tidak persis, tapi kelihatannya Black hole diterima umum sebagai lebih “gagah dan bergengsi” dibanding Nur Muhammad. Orang lebih bangga kalau diketahui ia tahu black hole dibanding kalau ia tahu Nur Muhammad.
Bahkan mungkin ada di antara kita yang di dalam jiwanya terucap “Billahirrahmanirrahim”. Pokoknya hidup itu ya dengan Allah. Bersama Allah. Itu niscaya dan mutlak.
Dan kalau memang hanya itu peluangnya, mending sekalian saja kita percayanya sama Allah. Sehebat-hebat ilmuwan, kita tidak bersikap sampai mengimaninya. Kita memilih beriman kepada Tuhan saja.
Ketika Pak Hawking menyatakan “Tidak perlu meminta Tuhan untuk mengatur bagaimana alam semesta bekerja”, kita tidak membantah atau menyalahkan.
Semantara kita yang tiap hari mengucapkan “Alhamdu lillahi Rabbil ‘alamin”, tidak berjuang untuk mengeksplorasi seperti Pak Einstein atau Pak Stephen. Bahkan seperti Pakde Abu Nawas pun tidak.
Kita seumur hidup mencari ilmu dan mencakrawalai pengetahuan. Dan ujung atau puncak dari seluruh perjuangan mencari pengetahuan itu justru adalah ketidaktahuan. Dan sebaiknya, dan memang yang “an’amta ‘alaihim” memang begitu. Lebih safe, lebih aman, lebih selamat.
Kebijaksanaan, kearifan, wisdom, adalah barang terlalu mewah dalam kehidupan dunia sekarang ini. Kalau kita perkasa kita mentang-mentang, secara eksplisit atau tersembunyi. Kalau kita kuat maka kita berkuasa.
Allah maha mengabarkan apa saja kepada siapa saja dengan default-nya “automasi sunnatullah”. Mungkin itu “qadla” yang kemudian kita memohon “qadar” atau perkenan “qudrah”-Nya dengan doa, dzikir, wirid, istighatsah.
Kita teguhkan ingatan dan kesadaran terus-menerus bahwa informasi tentang dialog Allah dan janin anak-anak Adam tidak bisa diketahui oleh manusia kalau tidak karena Allah sendiri yang memfirmankannya.
Janin-janin yang kelak menjadi manusialah yang sangat membutuhkan Allah untuk bersandar dan berlindung. Allah sendiri tidak butuh iman, apalagi kepada manusia.