CakNun.com

Komunalitas dan Kekeluargaan dalam Proses #Sengkuni2019

Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 4 menit

Seorang pria berusia enam puluh sembilan tahun, Pak Hadri Danuresno namanya, tampak sibuk menanyakan kondisi satu peserta yang tidak tampak karena sakit. Beliau ingin agar ada kunjungan ke rumah peserta latihan yang sakit, bahkan kalaupun ternyata peserta tersebut terpaksa mengundurkan diri. “Kan sedulurannya itu juga kudu tetap terjaga, biar di luar latihan tetap seduluran,” kata Pak, eh, Mbah mungkin tepatnya, Mbah Hadri, lirih. Mungkin di antara peserta latihan menuju pementasan #Sengkuni2019, beliau adalah yang paling sepuh.

Ada juga Mbak Lisa, bagi teman-teman Sanggar Bambu yang muda, biasa dipanggil Bunda Lisa. Saat saya sedang di dalam proses latihan yang dibimbing Pak Untung Basuki di sanggar tersebut, saya jadi mafhum kenapa beliau dipanggil “Bunda”. Saat waktu senggang, Bunda Lisa selalu menyempatkan ke sanggar, membawakan cemilan atau sekedar kopi teh atau apa saja untuk kami yang sedang berlatih. Usia Bunda memang sudah tidak muda, sering Bunda Lisa membanggakan foto cucunya. Tapi aktivitasnya masih bugar belia, dari senam sampai proses-proses teater di Yogya beliau terlibat. Dulu Bunda Lisa juga pernah menjadi pasangan Pak Untung Basuki dalam proses naskah “Kereta Kencana”. Bunda sudah paham saja watak dan karakter latihan setiap komunitas kesenian di Yogyakarta. “Kalau di sini (di proses pentas #Sengkuni2019), kita seperti berlatih sendiri-sendiri tapi lalu perlu menyimak latihan dari kelompok lain dan itu terus jadi nyambung semua dengan sendirinya,” ujarnya–yang Bunda maksud dengan kelompok lain adalah kelompok dalam proses #Sengkuni2019 ini.

Tampaknya proses memakai pembagian tiga kelompok, masing-masing dengan tantangan dan nuansa genre sendiri, dari tradisi hingga modern. Lagipula apa itu tradisi? Apa itu modern? Itu hanya istilah saja, yang kita sebut modern juga sebenarnya adalah tradisi Yunani dan Eropa, bukan? Tradisionalis dan modernis itu berlaku pada jangka waktu tertentu, yang tradisional pada sekarang ini bisa saja kelak jadi modern, begitu pun yang kita sebut modernis sekarang ini bisa saja saat lahirnya dulu adalah tradisi.

Rumah Maiyah terpakai hampir secara menyeluruh. Tiga kelompok mengalir mengisi celah ruang untuk latihan. Pendopo dipakai untuk kelompok yang perlu lebih banyak eksplorasi ruang panggung karena memakai tata gerak tertentu, teras belakang dekat dapur sampai ruangan lantai dua yang biasanya untuk kantor Progress dan Manajemen Letto juga dipakai oleh kelompok lainnya. Ini selalu terjadi setiap latihan diadakan, tiap minggu malam dan kamis malam.

Sementara bocah-bocah bermain, kadang ada yang tertidur di kursi. Beberapa pemain memang membawa anaknya terutama yang ibu-ibu. Sayang sekali Mbak Ike, tidak membawa salah satu putrinya. Mbak Ike ini dulu saya kenal karena kami pernah bersama-sama mementaskan satu naskah di kampus ISI. Walau tampak masih seperti wanita muda, anaknya sudah tiga gadis semua. Tiga-tiganya kalau pembaca yang budiman ketemu, mungkin tiba-tiba ingin ganti mertua. Mbak Ike juga masih sambil berjualan roti bikinannya sendiri dan enak.

Bocah SD yang paling saya kenal itu Ray, anaknya Mbak Nunung. Ini juga Mbak favorit saya, Mbak ketemu gede. Waktu sedang bikin reportase untuk pentas Buah Simalakama, saya merangkap juga jadi babysitter-nya Ray. Tapi sungguh pun, Ray itu ndak butuh babysitter, sangat mandiri dan cerdas anaknya. Mungkin karena terbiasa menemani ibunya latihan teater, Ray sering lebih dulu hapal dialog yang akan dipentaskan daripada pemain di panggung. Pernah satu latihan di sebuah pentas yang berbeda, Ray bilang, “Om, jalan naskahnya salah. Gara-gara Om yang itu (nunjuk ke panggung) tadi kelangkah dialognya.” Pas saya cek naskah ternyata benar. Bahkan dia yang mengingatkan saya, “Om kemarin namanya dipanggil di pelantikan anggota Sanggar Bambu tapi Om ndak dateng.” Saya kaget juga, saya kira Ray tidak tahu nama lengkap saya.

Macam-macam para peserta pementasan #Sengkuni2019 ini, dari yang sangat berpengalaman teater sampai yang benar-benar baru mengalami pengalaman panggung. Pak Eko Winardi, konsentrasi betul pada penghayatan naskah, lalu-lalang dengan kaos merah bergambar wajah Mao Tse Tung. Beliau tetap menyempatkan berproses di sela-sela kesibukan beliau. Bahkan sambil membuat patok di Kebun Bunga Jeruk yang sedang beliau kerjakan, naskah tidak pernah lepas. Sementara Mas Penya, selalu datang setiap latihan dan fokus pada laptop dan dokumentasi. Tapi kalau ada property panggung yang butuh diolah, atau kalau ada anak yang menjatuhkan gelas, Mas Penya bisa tiba-tiba sigap memberesekan.

Saya belum bisa membuat catatan mengenai satu per satu personel yang telibat dalam proses #Sengkuni2019 yang akan dipentaskan di Concert Hall TBY, Januari mendatang. Belum lagi proses penyutradaraan yang cukup unik di zaman sekarang, kapan-kapan kita akan membahas itu. Tapi dalam proses ini, kekeluargaan dan komunalitas terasa sekali.

Komunalitas ini memang lama hilang, sejak kesenian menjadi sangat akademis pada dua-tiga dekade belakangan di Yogya. Hilangnya komunalitas menghasilkan juga feodalisme, ketokohan baku dan senioritas yang timpang di dunia seni. Itu tidak terasa pada proses #Sengkuni2019, semua peserta mengambil peran. Peran di dalam pangung maupun di luar panggung.

Corak komunalitas adalah peran diambil bukan karena diharuskan tapi karena kesadaran yang tumbuh. Itu bedanya komunalitas dengan sekadar kecerdasan sosial atau kesatuan organisasi. Dalam komunalitas, individu tetap menjadi individu itu sendiri, bukan luruh dan hilang eksistensinya dalam simbol-simbol organisasi. Itulah kenapa Bineka Tunggal Ika adalah penampung, bukan kesadaran mengenyahkan. Karena dia lahir dari kesadaran komunal bukan dari jargon ideologi. Dan itu ada pada proses #Sengkuni2019.

Exit mobile version