Workshop Terbangan untuk Jamaah Maiyah
Musik yang didengar, dirasakan, dan dinikmati oleh seseorang bukan sekadar mengisi kebutuhan batinnya akan keindahan, ketenteraman, dan kedekatannya dengan “Sesuatu” di luar dirinya. Dalam prosesnya, musik yang dinikmati jiwa-jiwa manusia itu turut mendefinisikan ‘apa dan siapa’ diri mereka. Musik mengisi dan membentuk.
Perjalanan panjang pilihan sikap hidup dan ideologi musik KiaiKanjeng bersama Mbah Nun telah membentuk jalinan tersendiri di antara KiaiKanjeng dengan publik atau orang-orang yang menikmati karya-karyanya. Di antaranya, telah mendorong lahirnya ratusan musik di berbagai daerah yang, untuk lebih mudahnya bisa disebut, berafiliasi kepada KiaiKanjeng.
Kelompok-kelompok itu tak lain adalah para jamaah Maiyah yang memiliki kemauan dan ranah di musik. “Lem” Maiyah pada akhirnya menjadikan hubungan mereka dengan KiaiKanjeng tak bisa dan tidak mungkin dipahami melalui konsep relasi musisi dengan fans. Mereka sama sekali tidak berada di situ.
“Kami tidak bermusik kalau tidak sampai ke Allah,” demikian suatu ketika Mbah Nun pernah menegaskan tentang musik KiaiKanjeng. Tentu bukan klaim, tetapi pilihan tujuan. Implikasinya? Ada dua sekurang-kurangnya. Pertama, hal-hal yang selama ini menjadi mainstream di dunia musik nomor sekian. Kedua, justru dengan tujuan untuk sampai ke Allah, maka “kualitas” musik benar-benar harus digarap dan diasah. Bukan sebaliknya.
Itu sebabnya, pada 14 Januari 2007 sepuluh tahun silam KiaiKanjeng mengundang para perwakilan jamaah Maiyah dari Jatim, Jateng, dan Yogyakarta sendiri untuk bareng-bareng mengikuti workshop terbang atau rebana. Acara digelar di Kadipiro. Semua player dan personel KiaiKanjeng berbagi ilmu dan contoh bagaimana memukul, berformasi, dan bershalawat dengan iringan terbang.
Berbeda dari tradisi selama ini di masyarakat, penggunaan terbang justru salah satunya dipakai untuk tujuan khusus oleh KiaiKanjeng. Yaitu membangun kekhusyukan. Di situ, shalawatan hanya diiringi terbang, dan alat-alat musik lainnya istirahat terlebih dahulu. Itu pun, sepertinya jenis terbangnya dipilih yang sesuai dengan kebutuhan itu. Beberapa nomor shalawat yang dibaca di sela-sela narasi Maulid termasuk saat ‘indal qiyam hanya mengandalkan pukulan terbang. Entah bagaimana, kekhusyukan dan kekuatan spiritual terasa sekali.
Di situlah tujuan praktis workshop ini berada. Yaitu agar dengan workshop ini para jamaah di tempat masing-masing nantinya, saat melingkar bersama, dapat menjalankan prosesi shalawatan secara “standar”. Terbangan yang kompak-formatif, murni, khusyuk, dan benar-benar ditujukan kepada Allah dan Rasulullah Saw. Sebagaimana dapat dipelajari dari muatan acara Mbah Nun dan KiaiKanjeng, kekhusyukan adalah muara tempat orang diajak mengalir sesudah bergembira, senang, berpikir, atau bahkan sejak merasakan keprihatinan.
Demikianlah mereka antusias datang dari berbagai pelosok kota, ngumpul bersama sampai penuh ruangan-ruangan rumah Kadipiro di bawah maupun atas. Mereka nyucup ilmu kepada Mbah Nun, Pak Joko Kamto, Pak Nevi, Pak Bobiet, Mas Jijid, dan semua personel KiaiKanjeng. Tentu saja Mbah Nun menjamu uborampe-nya buat mereka. Nikmat nian!