Tidakkah Sastra Itu Sendiri Adalah “Perempuan”?
Majalah Sastra Sabana edisi No. 12 Tahun 2020 semalam telah di-launching dalam acara SastraLiman di Rumah Maiyah Kadipiro Yogyakarta. Para penulis, jamaah Maiyah, dan generasi muda menikmati peluncuran Sabana edisi bertema Perempuan dan Sastra dan yang diisi oleh penulis yang semua juga perempuan.
Pembacaan puisi dan petikan cerpen mengawali acara, sebelum inti peluncuran yaitu penyerahan Majalah Sabana kepada para penulis yang hadir. Setelah itu segera masuk sesi diskusi bersama Iman Budhi Santosa, Mbah Nun, Budi Sardjono, Ulfatin Ch, Mutia Sukma, dan dipandu oleh Umi Kulsum.
Diskusi berlangsung asik dan sarat perspektif. Tentang edisi bertema Sastra dan Perempuan ini, misalnya, Mbah Nun menyebut turunan darinya yaitu adanya terminologi Sastra Perempuan, dan jika demikian maka Mbah Nun berpikir bahwa padahal sastra itu sendiri adalah perempuan, sehingga pertanyaan selanjutnya: lantas “perempuan” itu apa kandungan maknanya?
Menariknya, pertanyaan Mbah Nun ini tidak kemudian menyeret pada perdebatan mendefinisikan pengertian kata “perempuan”, melainkan membawa peserta pada pengembaraan akan makna dan rasa di seputar potensi dan jiwa yang dapat disebut sebagai perempuan. Di sini, perempuan bukan lagi sosok fisikal manusia yang disebut perempuan selama ini yang berbeda dengan manusia laki-laki. Dalam bahasa Mbah Nun, itu adalah potensi feminitas dan potensi maskulinitas.
Satu rasa yang dapat masuk dalam feminitas, menurut Mbah Nun, adalah kelembutan. Dan sastra sesungguhnya merupakan potret atau ekspresi kelembutan manusia. Sehingga, di awal tadi disebut tidakkah sastra itu sendiri adalah perempuan. Kata kunci kelembutan ini tadi malam diproyeksi ke banyak titik dan wilayah. Bagaimana proyeksi itu, poin-poin yang dapat dicatat, termasuk pandangan Pak Iman Budhi Santosa, insyaAllah akan disajikan dalam tulisan terpisah. (hm)