CakNun.com

Musik Puisi (1979)

Mbah Nun lah yang merintis pertunjukan yang disebut “Musik Puisi”. Itupun dengan eksperimentasi dan inovasi di mana puisi modern Indonesia dipentaskan dalam suatu rangkaian aransemen dengan alat-alat Gamelan Jawa tradisional.

Di era akhir 1970-an, Novi Budianto, jauh sebelum KiaiKanjeng berdiri, bekerjasama dengan Mbah Nun menyusun aransemen “Musik Puisi” itu. Pak Nevi ditemani oleh para pemusik kampung Dipowinatan Yogya, yang tergabung dalam Teater Dipo, yang kelak menyatu dengan sejumlah personil lain dari luar Dipowinatan menjadi Kelompok Teater Dinasti.

Awal pementasan “Musik Puisi” mereka adalah di halaman Gedung Pusat UGM yang ketika itu dikenal dengan istilah “Cemara Tujuh”. Sangat sederhana pementasan itu, bahkan tata lampunya dibantu oleh lampu motor teaterawan Untung Basuki. Sesudah itu baru diselenggarakan secara lebih serius dan lebih besar sebagai pementasan, di Gedung Senisono, ujung selatan Malioboro.

Penyelenggara pertama pementasan “Musik Puisi” di gedung pertunjukan adalah Burhan Muhammad, yang kelak menjadi diplomat Indonesia di Amerika Serikat dan Australia, kemudian menjadi Dubes RI di Pakistan, dan beberapa tahun yang lalu Allah memanggilnya melalui kecelakaan Helikopter di Pakistan.

Mbah Nun menjelaskan kerjasama artistik antara seni musik dengan puisi melahirkan beberapa kemungkinan. Pertama, puisi dibaca dengan latar belakang musik. Kedua, puisi dan musik dipertunjukkan secara bergantian, tetapi tetap dalam satu aransemen. Ketiga, puisi dan musik disusun sedemikian secara asimilatif sehingga tampil bersama tapi sama-sama menonjol.

Kepeloporan Mbah Nun dan Kelompok Musik Dinasti itu kemudian membuka lebar berbagai kemungkinan pementasan musik dengan puisi, yang diikuti jejaknya oleh berbagai kelompok di berbagai segmen dan strata. Dari kampung-kampung hingga kampus-kampus sampai ke arena pertunjukan profesional.

Ebiet G. Ade lahir dari tradisi “Musik Puisi” ini sesudah ia ikut kegiatan Mbah Nun selama empat tahun.

Foto Lainnya

Exit mobile version