Hati Rapuh
Seorang teman berkata kepada saya: “Hati saya ini sangat rapuh”.
“Apa maksudmu?”
“Tiap hari kerjanya mau nangis dan menyalahkan diri sendiri”.
“Cespleng saja, apa maksudmu?”
“Sekedar melihat orang berjualan makanan, memikul angkringan atau mendorong gerobak, saya sudah hendak menangis”.
“Itu namanya gembeng”, kata saya.
“Melihat orang bekerja sebegitu suntuk, seharian, semalaman, untuk mencari seribu dua ribu rupiah untuk anak istri, perasaan saya hancur….”
“Romantik”, kata saya lagi.
“Apalagi kalau menyaksikan persaingan keras, sehingga yang satu laku keras sedangkan lainnya tidak begitu laku — rasanya mau bunuh diri saya….”
“Hatimu memang rapuh”, saya berkomentar terus.
“Itulah yang ingin saya kemukakan kepadamu”, katanya, “Hati saya sangat rapuh. Sedangkan orang-orang kecil yang saya ceritakan itu berhati baja. Mereka tidak bergeming oleh penderitaan, oleh tekanan-tekanan….”