CakNun.com

Wudlunya Nyi Woro Ciblon

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
Waktu baca ± 3 menit
Image by Manuel Darío Fuentes Hernández from Pixabay

“Turunkan…. turunkan…., turunkan…., turunkan….., turunkan……!” teriak para pekerja yang berkumpul di depan kantor administrasi, tempat Nyi Woro Ciblon bertahta. Kemudian para pekerja itu diam dan bersama rengeng-rengeng sebuah lagu yang menusuk hati sekaligus membakar semangat.

“Padamu negeri, kami berjanji
Padamu negeri, kami mengabdi
Padamu negeri, kami berbakti,
Bagimu negeri…..
Jiwa raga….
Kami….. !”

Para pekerja itu terdiri atas tukang sapu, kurir barang, juru tulis, tabib, juru bayar, tukang kebun, jagabaya, dan segenap warga yang merasa tertindas oleh kelakuan Nyi Woro Ciblon. Sejak lebih dari setengah abad kantor ini berdiri, belum pernah ada gerakan pekerja semacam ini. Belum pernah sekalipun !

Bahwasanya para pekerja ini sekarang melakukan pergerakan, ini semua karena kumpulan masalah, amarah, tekanan dan ketidakpuasan terhadap segala macam aturan yang ada di kantor ini. Pada intinya para punggawa yang melakukan aksi ini merasa tidak nyaman dengan Nyi Woro Ciblon. Mereka bilang bahwa kepemimpinan Nyi Woro Ciblon selama ini dipenuhi dengan sikap arogan, tidak humanis, sikap intimidatif terhadap para pekerja, dan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada karyawan sehingga menimbulkan demotivasi dalam bekerja. 

Saya tak menyangka bahwa ternyata para pekerja yang selama ini saya rasa anteng, nrimo, dan pasrah ternyata mempunyai nyali yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Bahkan pada pertemuan kemarin siang antara sebagian para pekerja dan para supporternya, dihiasi dengan aksi walk out dari para pekerja pada saat Nyi Woro Ciblon berusaha menjelaskan duduk perkaranya. Pasalnya adalah Nyi Woro Ciblon melontarkan kalimat yang sangat menyinggung harkat dan martabat mereka yang mempunyai profesi luhur. 

“Kalian mau dihargai berapa sih?” tanya Nyi Woro Ciblon. 

Sontak mereka terperangah, kaget dengan pernyataan ini, mereka saling pandang, dan tanpa ada komando mereka keluar dari arena pertemuan ini.

Lho ini bukan masalah berapa kepeng yang pantas untuk mereka! Sepertinya profesi mereka, perjuangan mereka, kepatuhan mereka, hanya dinilai dalam wujud ‘kepeng’ yang mereka terima. Tak bisa dipungkiri pula bahwa awal mulanya adalah masalah arogansi yang kemudian diletup oleh masalah kepeng yang tidak bisa mereka terima.

Saya menceritakan peristiwa kemarin siang ini kepada Lik Plenthi, bakda Subuh ini. Lik Plenthi mendengarkan cerita saya dengan saksama, kemudian berkomentar,

“Wudlu mereka belum benar.”

“Mereka siapa, Lik?” tanya saya. 

“Ya mereka itu, Nyi Woro Ciblon dan para punggawa kantor yang katamu kemarin digeruduk massa…,” jawab Lik Plenthi. 

“Lik, bahasamu, kata-katamu penuh sanepa, membuatku bingung,” kata saya. 

“We lha Mas…, Njenengan yang katanya sudah sekolah tinggi, bahkan sampai negara Eropa, Amerika dan belahan bumi lainnya, kenapa gagap memahami fenomena ini?”

Saya terdiam tambah tidak paham. Lik Plenthi kemudian melanjutkan,

“Bukankah dalam wudlu, kita harus mencuci tangan, membasuh muka, membersihkan mulut wajah, mata, hidung, kepala, kaki serta tangan!” lanjut lik Plenthi.

Saya tambah mlenggong tak mengerti ke mana arah bicara Lik Plenthi. Maka saya beranikan bertanya,

“Hubungannya apa Lik antara wudlu-nya Nyi Woro Ciblon dengan gerakan massa?” tanya saya ragu-ragu.

‘Mas…,” Lik Plenthi serius sambil menatapku sangat dalam. 

“Wudlu, jangan dilihat dari percikan air yang membasuh anggota badanmu. Wudlu itu merupakan perlambang, bahwa kita harus mensucikan indera kita, hati kita dan perasaan kita. Kalau sebagai pimpinan kita harus selalu bisa melihat dengan jernih apa yang dilakukan oleh anak buah kita, kita harus bisa mendengar bisikan hati mereka, jeritan kalbu mereka, walaupun mereka tak pernah berucap sepatah katapun! Mulut kita harus berkata dengan lembut, memuji dan menghargai kerja mereka, dan jangan sekalipun menyakiti perasaan mereka. Otak dan perasaan kita harus selalu berpikir keras untuk menghargai mereka. Tangan kita harus bisa memeluk mereka dengan lembut….”

“Kita harus tanggap ing sasmita.

“Jadi wudlu bukanlah masalah membersihkan kotoran dari badan wadag kita semata,” lanjutnya. 

“Tak ada gunanya wudlu kita kalau otak kita masih dipenuhi dengan pikiran bagaimana cara menghasilan keuntungan agar dipuji-puji sang raja sehingga memperoleh penghargaan, tetapi dilakukan dengan menginjak-injak, mengeksploitir para pekerja!”

“Tak ada gunanya berwudlu kalau hati kita masih penuh rasa iri, dengki, riya, dan sombong!”

“Jadi ini bukanlah masalah fisik saja lho Mas… bener bukan masalah badan wadag,” sambungnya sambil nyerocos.

Saya diam, karena tak mampu mengomentari apa yang dikatakan oleh Lik Plenthi. Sangat benar dan memang begitulah esensinya. Jadi kalau Nyi Woro Ciblon dibilang belum bener wudlunya, kini saya bisa nyambung hubungannya. 

“Mas, coba kalau kita kentut. Kentut ini membatalkan wudlu, apakah ada gerakan wudlu yang membersihkan kentut?”

27 Ramadan 1446 H

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM

Topik