CakNun.com

Trapsila

Kenduri Cinta Edisi 255, 11 April 2025
Kenduri Cinta
Waktu baca ± 4 menit

Rekatan keummatan, peradaban, kebangsaan, kerakyatan, kemasyarakatan, kekeluargaan dan berbagai bentuk kumpulan lainnya, baik dalam pakem paguyuban maupun patembayan, pada hakikatnya amat bergantung pada dua hal yang sepintas sederhana, namun sebenarnya sangat kompleks, yakni tata dan cara. Kalau digabung, maka menjadi “tata-cara”.

Di sini letak masalahnya. Ketika istilah ini digabung, seolah menjadi perkara teknis belaka, di seputaran “how to” tanpa perlu bicara nilai apalagi sejarah ruhani di baliknya. Maksimal, ia menjadi “seremonial” belaka, yang dilaksanakan dengan acting drama kolektif kekhidmatan superfisial (atau bahkan artifisial), namun segera dilupakan ketika hidangan mulai diedarkan.

Padahal, tata itu bicara struktur yang mewadahinya, sedangkan cara itu bicara esensi substansi yang diwadahinya. Tata itu ibarat partitur, sedangkan cara itu adalah lirik yang di dalamnya ungkapan batin disuarakan. Tata pasti merefleksikan isi (cara) dan isi pasti terpantul dari kerangka (tata).

Apakah serupa dengan ibarat warangka dengan curiga? Monggo, bisa. Bisa juga dengan surat cinta. Surat fisiknya mengandung unsur tata (setidaknya tata bahasa), adapun ungkapan cinta di dalamnya sarat dengan unsur cara. Atau bisa juga dengan trapsila1 dan subasita, dimana subasita adalah nilai-nilai kesantunan, sedangkan trapsila adalah patrap tumraping sila dimana duduk perkara dan susunan kedudukan menjadi pakem sehingga segenap kode kesantunan itu mengalir dengan tata sekaligus gayeng dan wibawa.

Akhirnya, tata dan cara ibarat jasad dan ruh. Mana yang lebih penting? Tentu ruh. Karena tanpa ruh, jasad mati. Namun ruh tanpa jasad, bukankah itu artinya juga kematian di dunia? Maka kehidupan di dunia ini akan kacau manakala ada yang mencoba memisahkan antara tata dengan cara, dan demikian pula sebaliknya.

Jika gelagat menuju pemisahan antara trapsila dan subasita itu sudah muncul, maka rekatan paseduluran akan menjadi taruhannya. Oleh karenanya, perlu disikapi secara wicaksana, dengan tingkat ke-negarawan-an yang “Nuhani” (ber-akhlaq dengan akhlaq Tuhan)2. Mengapa? Karena Tuhan-lah yang sejatinya Pemilik Kuasa, dan yang Maha Menolak kezhaliman manusia atas manusia lain.

Semua yang hadir mengangguk-angguk menyimak pinutur Kanjeng Raden Tumenggung Markesot. Hari itu, Markesot dengan mesin waktunya memang berhasil mengundang para perwira pilih-tanding dari berbagai peradaban purwa. Ada dari pasukan Preatoria dan Legiun XIII Equestris imperium Romawi, the Immortals-nya Maharaja Xerxes Persia, hingga pasukan Dharmaputra yang saling menatap tajam dengan anggota Bhayangkara, keduanya sama-sama pengalasan winehsuka Wilwatikta, Majapahit.

Tentu hadir pula musuh bebuyutan the Roundheads dan Cavaliers, Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana, serta Yankee Blue dan Dixie Grey, yang saling kacak pinggang sambil bertelekan pada kelewang masing-masing. Hening tapi genting.

Didampingi Ki Lurah Markembul sebagai centurion alias panatus kepercayaannya, Markesot dengan tenang dan penuh wibawa melanjutkan kalimatnya.

“Saya Senapati Markesot dari Nusantara. Saya panggil saudara-saudara semua, menembus sekat ruang dan waktu, karena tugas yang saya terima dari Kanjeng Gusti Senapati Sudrun. Beliau perintahkan saya untuk menghimpun semua pelajaran berharga dari saudara-saudara sekalian. Silakan…”,

Sontak keheningan yang bak api dalam sekam tadi berkobar kembali, pecah menjadi riuh-rendah dan saling tuding di antara para hadirin. Kacau. Berbagai sekam api sejarah puluhan abad pecah di satu ruangan yang sama, dalam berbagai bahasa dan logat wicara. Ketika seorang centurion dari pasukan Praetoria mulai ancang-ancang menghajar lawan debatnya dari Legiun XIII, Markesot-pun menganggukkan isyarat pada Markembul.

Markembul menghaturkan sembah ala centurion Jawa seraya sigap mengambil posisi tempur baris jemparing Mataraman, menarik tali busur gandewa-nya, dan sejurus kemudian sebuah warasthra-pun melesat ke langit, dan meletus di ketinggian sekira 17 tombak.

Semua yang hadir pucat pasi, hening, dihentak kilatan cahaya dan letusan warasthra Markembul. Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana duduk kembali setelah sebelumnya nyaris adu jotos, demikian pula Caesar dan Pompeii. Semuanya membuang wajah sambil bersungut-sungut.

Markesot bersyukur tadi sudah memerintahkan agar semua yang hadir menitipkan senjatanya. Kalau tidak, niscaya sudah terjadi prahara. Setelah tenang, Markesot melanjutkan kembali,

“Ya sudah, satu-satu ya. Kita mulai dari nDan Julius dan nDan Pompeii, monggo. Dipun aturaken…”,

Pompeii melompat berdiri sambil mengibaskan toga senat-nya, “Dia melanggar pakem. Dia seberangi Rubicon dan berbaris masuk Roma dengan pasukannya. Tujuannya apalagi kalau bukan ambisi kuasa…”, ujar Pompeii sembari menuding Julius dengan tongkat senatorial-nya,

“Itu karena dia duluan yang menyalahgunakan kuasa Senat untuk membidik saya. Saya hanya membela diri. Iacta Aelia Est…”, potong Julius dengan wajah merah padam, semerah jubah legatus-nya, Sang ajudan, si pembawa pataka SPQR mengangguk-angguk, yakin betul dengan versi panglimanya.

Markesot baru saja akan angkat bicara, ketika bahunya ditepuk-tepuk.

Dengan bersungut-sungut Markesot menoleh. Siapa yang berani tepuk-tepuk bahunya, sedangkan Ra Kuti dan Bhre Wirabhumi saja menekuk wajah dalam-dalam di hadapannya.

“Cak Markesot, tangi rek, bangun!…”, ujar Markembul.

“Lho kamu Mbul?… Ndhi lencana lurah-mu? Perwira kok kemulan ngono…”, sungut Markesot yang masih setengah di alam mimpi.

“Ngawur kowe. Itu lho ada tawuran di pasar depan Kecamatan…”, ujarnya panik.

Markesot mengucek-ucek matanya, menguap dan menggeleng-geleng prihatin.

Yo nek ngene yo pancen ngono…”, ujarnya dengan dialek Jawa Timuran tlathah arek.

Maksude?…”, Markembul semakin penasaran dengan kawannya yang mulai ora nyambung.

“Yo tawur kuwi… Kehilangan Subasita3… Rebutan sumber daya… Sebabnya hanya satu Mbul…”,

“Maksud kowe piye Sot? Makin ora mudeng aku…”,

“Ngene lho. Nek wis ora nggon Subasita, yo Trapsila malah justru iso dhadhi senjata, bukan malah nggowo apik. Yo pancen tukaran, pas tawur…”.

Angel. Ra ngerti aku Sot…”, ujar Markembul sambil garuk-garuk kepala,

Sayup-sayup terdengar dari langgar desa, suara Pak Modin sepuh melantunkan ayat suci:

وَقُلْ رَّبِّ اَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَّاَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَّاجْعَلْ لِّيْ مِنْ لَّدُنْكَ سُلْطٰنًا نَّصِيْرًا ۝٨٠

Dan katakanlah (wahai Muhammad), “Ya Tuhanku, masukkan aku dengan cara yang benar, keluarkan (pula) aku dengan cara yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong(-ku)4.

Markesot teringat adegan Julius masuk Roma tadi, dan sebab-sebab yang melatarinya. Ia hanya bisa menggeleng masygul.

Yo pancen ra ngerti kowe Mbul…”, ujar Markesot santai sembari beranjak pergi,

Sik… Arep nang ndhi kowe?…”, kejar Markembul,

Arep laporan nang Yai Sudrun dhisik…”,

Perkoro opo Sot?…”,

Yo perkoro kuwi mauTrapsila digondol maling…”.

Markembul melongo, dan Markesot-pun berlalu.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta, majelis ilmu, sumur spiritual, laboratorium sosial, basis gerakan politik bahkan universitas jalanan yang tidak pernah habis pembahasan SKS nya, kurikulum dan mata kuliahnya selalu bertambah, dosennya adalah alam semesta.
Bagikan:

Lainnya

Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Topik