Tanah Air Paradoks: Menemukan Nilai, Merawat Curiosity
Salah satu pemaparan yang menarik malam itu adalah tentang konsep Eigen Value yang dijelaskan Sabrang. Eigen Value adalah pengaturan tertentu dalam sebuah sistem yang membuatnya membesar atau mengecil tanpa mengubah bentuk dasarnya. Ia menghubungkan konsep ini dengan konsep kebenaran objektif dalam kehidupan, yang kita kenal dengan istilah truth. “Truth adalah kebenaran yang objektif, as is,” katanya. Ketika kita sudah mengetahui Eigen Value dalam satu aspek kehidupan, kita bisa memutuskan langkah selanjutnya.
Sabrang membawa konsep ini dalam konteks pendidikan, menekankan pentingnya mengetahui Eigen Value pendidikan. “Apakah pendidikan berada dalam permainan society, atau dalam permainan human?” ujarnya. Ia berpendapat bahwa sekolah tampaknya dirancang untuk memenuhi kebutuhan society, khususnya mempersiapkan manusia untuk siap bekerja. Paradoksnya, salah satu cara menilai sekolah yang baik adalah dengan mengukur jumlah kelulusan tertinggi. Padahal, pendidikan seharusnya berfungsi sebagai filter, namun hal ini justru dibatalkan oleh parameter tersebut.
Seiring dengan berkembangnya teknologi, kehadiran AI dalam sektor pendidikan juga menjadi topik yang menarik untuk dibahas. “AI membawa cara belajar baru dengan prinsip just in time,” jelasnya. Sistem ini memungkinkan seseorang belajar sesuatu tepat ketika ia membutuhkannya untuk menyelesaikan masalah. Namun, ia menambahkan bahwa prinsip ini mungkin tidak akan diterima dengan cepat di Indonesia karena kompleksitas sistem pendidikan yang tidak memungkinkan perubahan yang cepat.
Yai Tohar juga menambahkan pandangannya, dengan menyatakan bahwa sesuatu yang rumit seharusnya bisa dijelaskan secara sederhana oleh orang pintar. “Sekolah di Indonesia terlalu sering mempelajari hal-hal yang sudah jelas. Padahal, seharusnya belajar bertujuan untuk menjawab sesuatu,” katanya dengan tegas. Pernyataan ini menyoroti pentingnya mengarahkan pendidikan pada pemecahan masalah nyata, bukan sekadar hafalan. Selain itu, cerita tentang seorang anak di sekolah Yai Tohar yang belajar membuat sepeda di bengkel menjadi contoh nyata bagaimana pembelajaran berbasis minat dapat menghasilkan percepatan luar biasa. “Interest adalah anugerah dari Tuhan,” kata Sabrang. Menurutnya, ketika seseorang berhadapan dengan masalah yang relevan dan ia memiliki minat terhadap masalah itu, pembelajaran menjadi lebih efektif.
Diskusi malam itu tidak hanya berhenti pada pendidikan, tetapi juga menyentuh konsep keluarga dan negara. Negara bermula dari ruang-ruang kecil seperti keluarga dan komunitas yang memiliki shared value, namun dalam perkembangannya, identitas individu sebagai anggota keluarga dan komunitas hilang, digantikan dengan peran sebagai warga negara yang tunduk pada pemerintah. Padahal, hakikatnya manusia terlahir bebas, baik sebagai individu maupun warga negara. Pemerintah seharusnya hanya pelaksana mandat rakyat. Namun, konsep kebebasan ini sering kabur karena negara dikembangkan sebagai negara organik yang menyerupai struktur keluarga, dengan presiden dianggap sebagai “Bapak Negara”. Rocky menggarisbawahi kesesatan berpikir ini, “Bapak tidak dipilih lima tahun sekali, apa pun yang dilakukan seorang bapak tidak membatalkan statusnya sebagai bapak. Lain halnya dengan presiden.”
Juwita kemudian membuka sesi tanya jawab kedua, menyampaikan kritik terhadap birokrasi di tempat tinggalnya. Merujuk ke poster Kenduri Cinta malam itu, ia mengibaratkan bupatinya sebagai “tangan putih”, sementara pejabat-pejabatnya adalah “badut”. Kritik ini mencerminkan kekecewaannya terhadap oligarki yang masih mendominasi. Ia bertanya, “Butuh berapa banyak lagi kesalahan yang harus dilakukan pejabat kalau kita tidak sedang baik-baik saja?”
Rocky Gerung menanggapi dengan sebuah pesan, “Demokrasi memerlukan otak. Kita harus memilih pemimpin berdasarkan etikabilitas dan intelektualitas, bukan sekadar elektabilitas.” Pernyataan ini menegaskan bahwa pemimpin seharusnya berpegang pada prinsip moral dan memiliki kapasitas berpikir kritis. Tanpa landasan tersebut, demokrasi bisa berubah menjadi kontes popularitas, jauh dari tujuan utamanya untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
Bagus juga menambahkan bahwa demokrasi harus bertumpu pada open society, di mana kebebasan berpikir dan berdiskusi terjamin. Ia menyampaikan, “Negara memang sedang tidak baik-baik saja. Kita bisa lihat siapa yang diajak untuk meng-endorse gagasan? Siapa yang mengisi ruang politik kita hari ini? Apakah itu seorang pemikir, artis, atau pelawak?” Namun, di balik kegelisahannya, malam itu ia menemukan keindahan. Pukul dua pagi, di tengah rintik hujan, kita tetap setia berkumpul bersama. “This is hope,” ujarnya penuh harap.
Di Akhir, Sabrang menyampaikan bahwa permainan utama dalam hidup bukanlah Indonesia, melainkan menjadi manusia yang sejati. Kita bertahan hingga larut malam di Kenduri Cinta memperbincangkan Indonesia merupakan wujud cinta dan sedekah pada Indonesia. Namun, kewajiban kita hanya kepada Tuhan, bukan kepada pemilu, pemimpin, ataupun negara. Ia mengajak untuk menjalani hidup dengan sungguh-sungguh dan penuh kebahagiaan, sehingga meski menang atau kalah, kita bisa kembali kepada Tuhan dengan gagah, membawa pertanggungjawaban atas hidup yang tidak disia-siakan.
Di ujung malam menjelang pagi, setelah diskusi panjang dengan ide-ide yang tumbuh semakin tajam, forum ini ditutup dengan indal qiyam yang khusyuk, melantunkan Shohibu Baiti dan diakhiri dengan doa. Kenduri Cinta malam itu bukan sekadar diskusi intelektual, tetapi juga sebuah perjalanan spiritual yang mengingatkan kita bahwa sejatinya, perubahan dimulai dari individu. Setiap orang yang hadir, dengan kesadaran penuh, siap membawa perubahan, setidaknya pada lingkup terkecil. Dalam ruang ini, mereka berbicara dan berpikir bukan untuk mencari kesenangan atau popularitas, tetapi untuk memberi sumbangsih nyata bagi bangsa. Malam itu, tenda dan panggung Kenduri Cinta kembali menjadi saksi bisu esensi dari cinta yang tak terhingga. (RedKC/Haddad)