Tanah Air Paradoks: Menemukan Nilai, Merawat Curiosity
Terkait dengan kritik terhadap kebijakan, Sabrang juga menekankan pentingnya ketajaman dalam menentukan tindakan. Setiap langkah harus memiliki makna dan alasan yang jelas. “Kita harus tajam dalam menentukan apa yang kita lakukan,” ujarnya. Dalam hal ini, ia mencontohkan sikap Maiyah yang pernah diprotes karena tidak ikut mendukung kenaikan UMR. Bukan karena tidak mendukung kesejahteraan buruh, tetapi karena ada dampak yang lebih besar yang harus dipertimbangkan, seperti risiko terhadap industri menengah berpotensi melakukan shifting menjadi importir karena biaya produksi makin mahal dan berujung mematikan lapangan kerja. Belakangan diketahui bahwa aksi protes tersebut digerakkan oleh kepentingan bohir importir.
Sabrang menegaskan bahwa sikap kritis Maiyah sering dipandang dengan bias. “Yang setuju akan perubahan dalam pemerintahan cenderung akan menyukai Maiyah, begitu juga sebaliknya,” ujarnya. Padahal, Maiyah menawarkan keseimbangan antara dua pola dasar manusia, openness dan conscientiousness. Openness mendorong seseorang melihat peluang, sementara conscientiousness berfungsi sebagai rem yang menimbang risiko. “Maiyah adalah keseimbangan antara gas dan rem,” lanjut Sabrang. Dalam menghadapi paradoks negeri ini, ia menegaskan bahwa yang kita butuhkan adalah gas—dorongan untuk bergerak maju dengan optimisme dan kesadaran. Kritik, baginya, adalah bentuk cinta yang peduli, bukan tanda kebencian terhadap Indonesia.
Lebih jauh, Sabrang melihat pergerakan dunia yang semakin cepat, ditambah dengan kemajuan AI yang memengaruhi banyak aspek, salah satunya adalah dunia pendidikan. Sabrang mengutip pandangan Russell Ackoff, yang menilai bahwa universitas seharusnya menjadi garda terdepan pengetahuan. Namun, universitas sering kali menjadi sistem yang paling lambat melakukan perubahan. Ini berbanding terbalik dengan bagaimana dunia teknologi bergerak begitu cepat, contohnya dalam bidang material science, AI dapat memangkas waktu penelitian dari 25 tahun menjadi 4 bulan. Sabrang percaya bahwa perubahan ini harus dihadapi dengan kesiapan mental dan kemampuan berpikir kritis.
Tidak hanya diskusi soal ide, Kenduri Cinta juga mengajarkan kita tentang pentingnya berkumpul, berbagi pengalaman, dan tumbuh bersama. Sabrang menegaskan bahwa kita yang berkumpul di Kenduri Cinta adalah orang-orang yang menghargai pertumbuhan diri sendiri. “Pertumbuhan diri jauh lebih besar daripada sekadar harta dan tahta,” kata Sabrang. Ini adalah semangat yang perlu ditularkan, karena pada akhirnya, kita tidak hanya berjuang untuk diri sendiri, tetapi juga untuk bangsa. Ketika kita bisa makmur bersama, kita tidak hanya berjuang untuk Indonesia saat ini, tetapi juga untuk bangsa di masa depan.
Memasuki sesi jeda, Lahila menyumbangkan suara indahnya dengan lagu-lagu yang menambah atmosfer kehangatan di Kenduri Cinta. Lagu Atur Saja Tuhan, Jodohkanlah Aku Dengannya, Kala Cinta Menggoda, dan Bento mengalun menambah kedalaman suasana dan semakin menguatkan nuansa kebersamaan dalam Kenduri Cinta malam itu. Tidak hanya itu, Sabrang dan Patub juga turut memberikan kehangatan dengan iringan lagu Ruang Rindu dan Permintaan Hati menciptakan ikatan emosional jamaah yang lebih erat.
Mengungkap Truth dengan Eigen Value
Di tengah dinginnya malam dan rintik gerimis, Kenduri Cinta berlangsung penuh semangat, tawa, dan renungan. Acara bergulir dari konser tengah malam hingga bedah buku, diselingi diskusi mendalam tentang bagaimana negara, masyarakat, dan individu seharusnya menjalani dialektika sejati. Malam itu, suasana semakin hidup dengan kehadiran seorang jamaah yang mengenakan jas hujan lengkap dengan helm, menghadirkan sentuhan unik yang memperkaya warna Kenduri Cinta edisi Januari 2025.
Risma, seorang penanya malam itu, berbicara tentang perkembangan AI dan kegelisahannya tentang AI yang berpotensi mematikan kemampuan berpikir kritis manusia dan membuat manusia kehilangan jati diri. Ia juga bertanya, “Ketika kita membahas keseimbangan antara gas dan rem, apakah kita bisa mencapainya dalam lingkup keluarga?” Ia mengangkat isu penting mengenai bagaimana setiap individu, mulai dari keluarga, dapat berkontribusi pada perubahan positif di masyarakat.
Erni, penanya yang lain, menambahkan dimensi baru dalam diskusi dengan menggali makna paradoks. “Paradoks adalah sesuatu yang netral, pemaknaan negatif atau positif tergantung sudut pandang kita,” ujar Erni. Erni melanjutkan dengan bertanya, “Dalam menghadapi paradoks, mana yang harus kita andalkan? Akal sehat atau kalbu?”
Bagus menanggapi dengan mengangkat teori tentang logika dan kebenaran. Menurutnya, logika adalah cara Tuhan berpikir, sebuah prinsip yang tidak dapat dibuktikan oleh prinsip lainnya. “Logika adalah kodifikasi dari cara Tuhan berpikir, karena Tuhan adalah yang Maha Logis,” ujar Bagus. Ia mengutip penemuan Kurt Gödel, seorang ilmuwan yang terkenal dengan Incompleteness Theorem, yang membuktikan bahwa ada kebenaran yang tidak dapat dibuktikan oleh mesin, sesuatu yang hanya dapat dipahami oleh manusia. Bagus juga mengutip pendapat Roger Penrose, seorang peraih Penghargaan Nobel Fisika, yang mengungkapkan bahwa tidak mungkin cara manusia berpikir bisa dikomputerisasikan. Mungkin itulah limit dari AI.
Rocky Gerung menyampaikan bahwa meskipun manusia bisa merumuskan kebenaran melalui logika, ada bagian dari pengetahuan yang tidak akan pernah dapat dijangkau. “Dalam sebuah logika yang disusun, akan selalu ada bagian yang tidak komplit. Itulah mengapa kita berinvestasi dengan bantuan langit yang bernama agama, untuk mengetahui apa yang kita tidak ketahui.” Agama berperan untuk melengkapi logika. Ketika logika menemui batasnya, agama hadir untuk memberikan jawaban dan makna yang lebih dalam terhadap pertanyaan-pertanyaan eksistensial manusia. Rocky juga mengungkapkan bahwa Pertanyaan Risma dan Erni membuktikan bahwa stigma perempuan yang dianggap tidak bisa memiliki pemikiran mendalam, unspeakable, telah dipatahkan dan berubah menjadi perempuan unstoppable.
Di sisi lain, Rocky menyampaikan pemikirannya tentang akal sehat dan kalbu. “Mana yang lebih penting? Itu tergantung masalah apa yang ingin kita selesaikan,” ujarnya. Ia melanjutkan bahwa saat kita ragu, lebih baik mengedepankan kalbu karena ia adalah premi untuk masuk surga. Ia mengibaratkan penggunaan kalbu dengan pandangannya bahwa cahaya bulan sudah cukup untuk mendaki di malam har, karena atas keterbatasan satu indra, sensitivitas indra yang lain akan meningkat.