CakNun.com

Tanah Air Paradoks: Menemukan Nilai, Merawat Curiosity

Kenduri Cinta
Waktu baca ± 16 menit

Dok. Kenduri Cinta

Tetes Hujan dan Titik Pencerahan

Malam itu, suasana Taman Ismail Marzuki terasa semakin syahdu dengan hujan yang turun deras. Paradoksnya, dinginnya hujan justru menambah kehangatan di bawah tenda. Jamaah semakin merapat, bahkan beberapa juga naik ke atas panggung. Hujan yang turun seolah mengundang makna tersendiri, seperti yang Mbah Nun pernah sampaikan, bahwa hujan bukan hanya dilihat dari derasnya air, tetapi juga bagaimana kita melihat celah-celah yang ada di antara tetesan hujan itu. “Kita tidak tahu titik hujan mana yang membawa berkah, semoga celah-celah itu membawa kebaikan bagi kita semua.”

Nanda mengingatkan bahwa pada zaman Nabi Muhammad, hujan dianggap berkah yang sangat dinanti. “Jika ada hujan, para sahabat berlari keluar, membuka sebagian jubahnya supaya terkena air hujan,” ujarnya. “Malam ini kita tidak perlu berlari, hujan sudah datang sendiri membawa keberkahan.” Melalui contoh tersebut, ia menekankan bagaimana Allah sering kali menghadirkan paradoks dalam hidup kita. Bahkan, Allah yang paling sering berparadoks, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Hadid ayat 3; Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai “wal-awwalu wal-akhiru wadh-dhahiru wal-bathin,” yang menggambarkan paradoks; Allah adalah awal tanpa permulaan dan akhir tanpa kesudahan. Sifat Allah itu, menurut Nanda, hanya bisa dipahami ketika kita bisa mencerna dan menerima paradoks.

Indonesia, menurut Nanda, sudah terbiasa dengan paradoks. Gemah ripah loh jinawi yang seharusnya melambangkan kemakmuran dan kedamaian, nyatanya hanya menjadi kata-kata tanpa makna yang sejalan dengan realitas. Ada distorsi antara harapan dan kenyataan, antara toto tentrem kerto raharjo yang menjadi harapan, dengan apa yang kita lihat saat ini. Seperti yang disampaikan Nanda, distorsi ini bisa jadi berasal dari sesuatu yang tidak terlihat secara fisik, namun ada dalam bentuk lain, yang hanya bisa dilihat dengan mata hati.

Lebih jauh, Nanda juga menyinggung konsep berpasangan yang juga merupakan salah satu bentuk paradoks. “Hubungan laki-laki dan perempuan adalah paradoks itu sendiri,” tegasnya. Di mana makhluk yang dominan dengan akal harus berinteraksi dengan makhluk yang dominan dengan perasaan. Oleh karena itu, tidak bisa memahami hubungan semacam ini secara harfiah, karena sebenarnya yang terjadi adalah sebuah proses belajar untuk membaca ayat-ayat yang lebih dalam.

Dok. Kenduri Cinta

Ali, seorang jamaah dari Condet, menyampaikan pemikirannya mengenai paradoks di Indonesia. Ia menilai bahwa Indonesia adalah tanah air yang penuh paradoks. “Di Fakfak, banyak yang berpendapat bahwa negara justru membuat semakin susah,” ujarnya. “Adanya negara memicu adu domba, membuat kita bermusuhan dengan sesama. Itu disebabkan karena segelintir orang rakus yang ingin mengambil emas.” Dalam pandangan Ali, tantangan terbesar Indonesia bukan hanya pada kekayaan alamnya, tetapi juga pada pendidikan. “Kemiskinan bukan sesuatu yang alamiah, kemiskinan itu dibuat. Untuk membatalkan kemiskinan, perlu pendidikan,” tambahnya. Pendidikan, bagi Ali, adalah kunci untuk mengatasi kompleksitas masalah bangsa, karena persoalan bangsa kita tidak bisa diselesaikan dengan teori apa pun, melainkan harus dimulai dari dasar, kembali ke jati diri bangsa itu sendiri.

Kenduri Cinta, malam itu, tidak hanya menjadi sebuah ajang pertemuan, tetapi juga sebuah ruang refleksi. Seperti yang disampaikan oleh Ian L. Betts, “Maiyah adalah negara dalam hati kita semua.” Ia menambahkan bahwa, meskipun hujan deras, kegembiraan tetap terasa di dalam hati. Hujan yang mengguyur malam itu tidak hanya membawa kedamaian, tetapi juga membuka ruang bagi refleksi kolektif untuk menghadapi paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan. Dalam kesempatan ini, Ian membacakan dua puisi karya Mbah Nun yang berjudul “Why” dan “Islam is”. Secara khusus, puisi yang berjudul “Why” mempertanyakan mengapa manusia dengan segala kehebatannya tidak menyembah Allah, sedangkan seluruh alam semesta justru tunduk pada-Nya.

Keberagaman pandangan yang ada malam itu menunjukkan satu hal yang jelas: Kenduri Cinta bukan sekadar acara rutin, tetapi sebuah ruang untuk memahami dan menerima paradoks yang ada dalam hidup. Setiap narasumber memberikan kita cara pandang yang berbeda, namun semuanya mengarah pada satu tujuan, yaitu untuk mengenal Allah dan diri kita sendiri dengan lebih baik, melalui pemahaman yang mendalam tentang paradoks. Seperti yang diungkapkan oleh Ali, “Indonesia tidak dihancurkan dengan cara mengambil kekayaannya saja, tetapi juga dengan merusak pikiran rakyatnya.” Begitulah cara kita harus memandang Indonesia, sebagai tanah air yang penuh dengan paradoks, tetapi juga penuh dengan potensi, jika kita mampu membaca dan menghadapinya dengan bijak.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta, majelis ilmu, sumur spiritual, laboratorium sosial, basis gerakan politik bahkan universitas jalanan yang tidak pernah habis pembahasan SKS nya, kurikulum dan mata kuliahnya selalu bertambah, dosennya adalah alam semesta.
Bagikan:

Lainnya

Topik