CakNun.com

Simbol Nun: Asal Usul dan Maknanya

Jamal Jufree Ahmad
Waktu baca ± 6 menit

Mbah Nun tidak campur tangan dalam penciptaan Simbol Nun, tetapi menjelma sebagai sumber inspirasi utama.

Awalnya, simbol “nun” memang hanya ditujukan sebagai logo visual untuk caknun.com. Niatnya sederhana: berakar dari strategi pemasaran tentang pentingnya branding. Sejak diluncurkan tahun 2010, situs ini sebenarnya belum punya logo simbol. Jika pun ada, bentuknya masih sekadar wordmark—seperti gaya Google, Amazon, FedEx, atau Coca-Cola—yang mengandalkan tipografi ketimbang ikon. Logo pertama caknun.com kala itu cuma tulisan “CAKNUN.COM” berwarna hitam, dengan huruf “A” beraksen merah. Kalau tak keliru, sempat ada beberapa variasi desain seperti “EAN” yang dibuat Mas Adin (fotografer Progress), tapi pokoknya tetap bertumpu pada susunan huruf, bukan simbol.

Saat website ini dirilis, saya belum menjadi bagian Progress. Baru tahun 2015, waktu menemani Mbah Nun dan Ibu Via ke Philadelphia, saya “dipungut”. Pulang dari sana, langsung dicangking ke Kadipiro. Di Progress, Mbah Nun menugaskan saya membantu Mas Helmi Mustofa mengurusi semacam bidang keilmuan—mengolah semua karya dan pemikiran yang dihasilkan Mbah Nun dan KiaiKanjeng sepanjang perjalanan hidup mereka. 

Waktu itu media sosial sedang awalnya meletup-letup. Mbah Nun ingin Maiyah tidak hanya menjadi penonton yang mengonsumsi informasi, tetapi juga harus menjadi player—penyuplai informasi. Semua ilmu dari Maiyahan yang numpuk di “tandon hidayah” harus diolah, diproduksi, dialirkan. Tapi sumber daya pengolah hanya Mas Helmi seorang, sehingga air yang mengalir hanya setetes demi setetes. Mbah Nun inginnya mengguyur seperti hujan deras.

Makanya saya dipungut. Sebelum saya, Mas Harianto (Gerbang) sudah lebih dulu dititah berjibaku dengan Mas Helmi. Kami bertiga lalu digas buat ngurus “tandon raksasa” ilmu itu. Mbah Nun bahkan bikin jabatan aneh: Redaktur Maiyah. Kepala konvensional dan mainstream kami pun bingung—Maiyah bukan organisasi, hanya sebentuk organisme, bukan juga media massa, kok ada redaktur? Tapi ya sudah, pokoknya bismillah saja.

Maiyahan jalan terus. Tandon ilmu makin meluber sampai tumpah-tumpah. Kami tancap gas—konten informasi harus diperkaya, tidak hanya teks dan audio, tapi juga video dan gambar. Menjelang Ramadlan tahun 2016, Mas Harianto seorang desainer grafis jago mulai mendesain quote-quote Mbah Nun yang ciamik, termasuk desain puisi di rubrik Lubuk yang diluncurkan tepat pada 1 Ramadlan. Saya yang cuma bisa mendesain ala kadarnya, ikut urun membuat infografis. Baru belakangan saya ikut mendesain quote, saat Mas Har sudah tidak lagi aktif di Progress. Mas Helmi tetap fokus mengolah intinya—pencatatan dan penataan ilmu-ilmu Maiyah. 

Kami bertiga kelabakan, karena mengolah ilmu yang sudah menumpuk dan belum terorganisir rapi. Tumpukan ilmu belum rapi, tapi hidayah ilmu dari Allah terus melimpah kepada Mbah Nun. Mustahil disetop. Ia harus dialirkan! Hidayah Allah ini juga sangat deras. Jadilah esai ilmu Daur I yang ditulis Mbah Nun dan terbit setiap hari. Mas Helmi kebagian tugas mengawalnya—membaca dan merapikan naskah itu setiap hari, 309 hari berturut-turut! Nanti, giliran saya yang ketiban mengawal Daur II.

Belum tuntas mengolah, tumpukan ilmu malah ditambah terus. Mbah Nun selalu guyon mengenai tumpukan ilmu ini. Ibarat lumbung padi, gabahnya sudah sangat penuh. Mas Helmi seorang diri mengelolanya tak berdaya, kata Mbah Nun seperti “tikus mati di lumbung padi”. Lalu saya dan Mas Harianto ditugasi membantu. Eh, akhirnya malah jadi “tiga tikus mati di lumbung padi”. Haha.

Tiga tikus sekarat ini tak boleh menyerah. Harus cari ide-ide baru. Pemikiran Mbah Nun yang paling kentara adalah daya kritisnya terhadap modernisme yang mengandung bentuk penjajahan baru—penjajahan pikiran! Paling sukses menghasilkan konsumerisme akut. Iklan-iklan rekayasa audio-visual memaksa kita ngidam barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Semua itu diformulasikan menggunakan ilmu pemasaran yang ditopang ilmu psikologi dan neurosains.

Kebetulan saya menggemari bacaan mengenai strategi marketing. Saya teringat prinsip pemasaran dari maestro macam Philip Kotler dan Hermawan Kartajaya: branding itu kunci. Branding yang kuat bisa menancap di otak, menjadi persepsi yang bisa dimanipulasi—entah buat hasrat konsumtif atau justru ke arah yang baik. Logo adalah salah satu senjatanya.

Lihat logo Apple dengan buah apel yang krowak tergigit, McDonald dengan M kuning, atau Facebook pakai F biru—langsung mengena tanpa perlu penjelasan. Bahkan TikTok dengan gambar tangga nada dalam kotak hitam, semua langsung nyambung di kepala.

Dengan inspirasi dari prinsip marketing itulah saya berpikir bahwa CAKNUN.COM harus punya logo simbol yang ikonik. Kalau mau “hujan deras” ilmu Maiyah, perlu perwakilan visual sederhana. Logo wordmark “caknun.com” masih kurang greget. Apalagi risiko kultus individu kalau pakai nama langsung. Akhirnya, ide membuat logo simbol saya sampaikan ke Cak Zakki.

Mengapa tidak ke Mbah Nun? Sebab urusan teknis dan manajerial Progress serta CNKK sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Cak Zakki. Dalam salah satu tulisannya, Mbah Nun bahkan telah mendapuk adik ke-11-nya ini sebagai “Pathok Maiyah”. Cak Zakki menyetujui usulan saya, dan proses eksekusi pun segera dimulai. Saya lantas menyerahkan tugas ini kepada ahlinya: seseorang yang telah malang melintang di dunia desain logo dengan reputasi gemilang di kalangan klien lokal maupun internasional. Sekaligus, dia adalah “orang dalam”. Siapa lagi kalau bukan Mas Harianto. Progress menugaskan secara profesional kepadanya meskipun ordal. Tidak pro bono.

Seingat saya, Mas Har membutuhkan waktu sekitar dua minggu untuk menyelesaikan logo tersebut. Sehingga, terciptalah logo Nun. Desainnya simpel, ikonik, dan langsung final dengan revisi minor. Ada dua pilihan warna, disesuaikan dengan latar media penerapannya: merah-putih atau merah-hitam. Saya menyukainya, Cak Zakki menyetujui, dan Mas Penyo langsung mengaplikasikannya di website. 

Tak cuma logo, Mas Har juga merumuskan dua makna filosofis di baliknya. Belakangan, ternyata ada makna ketiga. Saya baru menyadarinya beberapa bulan setelah menjejakkan kaki di Chicago, saat mulai intens menyusun bagan ilmu Maiyah atas permintaan Mbah Nun sebelum keberangkatan saya. Justru makna ketiga inilah yang saya rasa paling mendasar dan menjadi jangkar.

Nun

Makna pertama langsung terpahami: kasat mata dan apa adanya. Huruf “nun” secara fonetik melekat pada nama Mbah Nun, baik dalam pengucapan Indonesia maupun Arab, secara alami.

Cincin

Kisah empat santri terpilih Syaikhona Kholil Bangkalan yang diwariskan pisang emas, kitab, dan cincin telah masyhur. Baik yang diceritakan Mbah Nun sejak era Orde Baru, maupun yang kerap disampaikan almarhum Kyai Muzammil dalam berbagai Maiyahan. Sekadar pengingat: Mbah Romly Tamim (Ponpes Darul Ulum Rejoso) menerima pisang emas, Mbah Hasyim Asy’ari (Ponpes Tebuireng/NU) dan Mbah Ahmad Dahlan (Muhammadiyah) mendapat kitab, sedangkan Mbah Imam Zahid (kakek buyut Mbah Nun) diwarisi cincin.

Ada tafsir menarik tentang ketiga pusaka itu. Bisa dimaknai sebagai lapisan nilai, mirip struktur buah. Atau susunan hierarkis dari dasar hingga puncak. Dari sisi lapisan, pisang emas—simbol ekonomi—adalah kulit terluar, kitab sebagai daging di balik kulit, dan cincin sebagai inti. Sementara hierarkinya: ekonomi (pisang emas) di dasar, ilmu (kitab) di tengah, dan cinta (cincin) di puncak.

Ya, cincin adalah lambang cinta yang mempersatukan. Seperti cincin pernikahan yang menyatukan dua jiwa. Di titik inilah Maiyah berdiri: merangkul semua golongan, aliran, agama, bahkan pro dan oposisi. Tak hanya manusia, seluruh makhluk pun disapa.

Inilah makna kedua, cincin cinta yang mendamaikan dan menyatukan. Peran ini dihidupi Mbah Nun bersama KiaiKanjeng, baik dalam meredam konflik di dalam negeri maupun di tanah asing.

Sangkan Paran

Di Johor, Malaysia, pertengahan 2018, Mbah Nun diundang PSH Teratai untuk memberi sangu ilmu kepada para imigran Indonesia di sana. Mereka ingin Sinau Noto Lelaku dari beliau. Saya mencatat uraian pembukaannya kala itu, yang kelak menjadi jangkar penting ilmu Maiyah: bahwa belajar apa pun dan hidup di mana pun di dunia ini, manusia wajib berpijak pada tiga kesadaran rentang—rentang urutan, rentang waktu, dan rentang rute.

Satu. Manusia harus sadar bahwa ia diciptakan Tuhan sebagai “anak bungsu” dalam rentang urutan. Sebagai yang terakhir, ia wajib berakhlak, menghormati “kakak-kakak”-nya: jin, hewan, tumbuhan, tanah, bumi, planet, jagat raya, malaikat, hingga Nur Muhammad. Tak boleh semena-mena. Inilah kesadaran rentang urutan.

Dua. Manusia mesti ingat bahwa hidupnya abadi sejak pertama kali diciptakan. Seperti ketetapan Allah: khalidina fiiha abada. Hidup di alam arwah, dunia, barzah, hingga akhirat—semuanya hidup. Hanya formula eksistensi yang berbeda di tiap fase. “Mati” yang kita pahami kini hanyalah switch, pertukaran dalam proses mutasi ruh. Inilah kesadaran rentang waktu.

Tiga. Manusia harus tetap iling lan waspada bahwa ia berada dalam rentang rute perjalanan: inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Rute inilah yang dilambangkan NUN: lingkaran perjalanan dari Allah menuju (kembali) ke Allah. Sangkan paran (asal dan tujuan) tak boleh terlupa. Mengapa ini jadi jangkar Maiyah? Sebab manusia modern telah kehilangan kesadaran rutenya, bingung tujuan hidup. Sejak kecil, kita diajari pola “lahir-sekolah-kerja-pensiun-mati”. Padahal, itu hanya mampir sebentar dalam perjalanan hidup abadi kita. Mampir hanya mungkin jika kita tahu tujuan akhirnya.

Demikianlah ketiga makna Simbol Nun. Apakah maknanya hanya tiga itu? Oh tentu tidak. Teman-teman bebas memiliki pemaknaan sendiri, yang penting bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain. Contohnya respons kilat yang muncul dalam benak Patub Letto saat pertama kali melihat simbol itu: “Kayak gambare tombol on/off kae Mas!”

***

Meski tak terlibat langsung dalam proses kreatif Simbol Nun, Mbah Nun justru merestui bahkan mendorong “pemasaran” simbol ini. Beliau bahkan menjadi “brand ambassador”-nya dengan konsisten menampilkannya di publik—lewat jaket, rompi, dan gadget yang beliau kenakan, atau mancis Zippo hitam yang saya pesan khusus langsung dari pabriknya di Bradford, Pennsylvania.

Strategi penguatan branding ini, saya rasa, cukup sukses menyasar sebagian publik Nusantara. Buktinya, saat saya mengenakan jaket berlogo nun di dua negara berbeda—Maroko dan Amerika—tiga orang Indonesia yang tak saling kenal berkomentar serupa: “Sering ikut Maiyah ya, Mas?”[]

Chicago, 5 Maret 2025

Jamal Jufree Ahmad
Staff Progress Sekretariat Cak Nun dan KiaiKanjeng. Redaktur dan desainer grafis CAKNUN.COM. Kontributor utama Wikipedia entri Emha Ainun Nadjib. Tinggal di Chicago.
Bagikan:

Lainnya

Topik