Sebening Senja, Wakil Rindu Kita


Dibuka dengan “seandainya aku mengerti, perihnya rasa rindu ini, takkan berani ku bermimpi dan memilih untuk berlari…”
Yang terbayang, wajah Simbah. Itu impresi sekaligus interpretasi yang muncul di dalam kepala. Iya semua itu berdasar atas apa yang menjadi pengalaman dan latar belakang masing-masing pendengar ketika mendengarkan single terbaru pakdhe-pakdhe Letto yang berjudul ‘Sebening Senja’. Musik itu punya bahasa sendiri. Lirik atau kata juga punya dunia budayanya sendiri. Keduanya bisa saling mengisi bisa juga berdiri sendiri tanpa harus mempengaruhi antara satu yang lain. Musik bisa dimaknai sendiri begitu juga lirik. Namun keduanya bisa sakinah ketika bersama. Dan Letto selalu membuatnya dari sakinah, mawaddah warohmah.
Dari segi musikal, tebakan saya, bisa salah dong yak, lagu ini sudah direkam lama. Nggak papa sok tahu kan yak disini? Kalau lihat anatomi lagu, isian per bagiannya seperti lagu-lagu single yang lainnya yang diaransemen mungkin era-era pandemi atau sebelum itu. Artinya secara musik ya itu easy listening namun rumit pating plekenik isian melodius juga soundscape yang dibuat. Gitarisnya saja jare nggak bisa nggenjreng, isone metik. Bener sih pelajaran sekolah menyebutkan gitar adalah alat musik petik, bukan genjreng. Dipetik kayak bunga cantik.
Dilanjutkan menuju bagian selanjutnya alias kalau nggak salah bagian refferain.
“Karena cinta yang aku terima serpihan surga, rasa itu dan senyumanmu sebening senja…”
Jelas pra plettonic sudah atau khususnya jamaah Maiyah sudah akrab dengan susunan kata model begini. Susunan kata yang mak nyesss di hati dan membawa diri mengakrabi dan mengakherati hidup di dunia ini. Ya kalau Simbah ngendhikan percuma di Maiyah kalau tidak membuat gembira dan bahagia. Percuma mendengarkan apa saja, termasuk lagu, yang ada di Maiyah namun tidak membuat hati bergembira. Semodel apapun skenarionya pokoke bergembira. Tentu yang ada kadarnya. Bukan yang ala kadarnya.
Sebening Senja menjadi original soundtrack saya ketika umbah-umbah di hari Minggu ini. Umbah-umbah analog saya menyebutnya. Nggak pakai mesin cuci. Bukan antiteknologi atau nggak punya duit buat beli. Melainkan saya pernah kecewa waktu kecil dengan apa itu yang disebut mesin cuci. Pemaknaan saya waktu kecil mesin cuci adalah alat yang kalau kita memasukkan pakaian kotor ke dalamnya, setelah diproses pakaian itu akan keluar dalam keadaan kering rapi seperti habis disetrika. Kenyataannya tidak begitu. Saya dihabisi oleh persepsi saya sendiri. Dan itu terbawa sampai tua begini.
Dilanjutkan “Tak pernah aku sesali perjalanan yang kulewati, tuk memahami kata hati yang memanggilmu tak berhenti…”
Saya bukan orang baik. Dosa tak perlu saya kalkulasi. Termasuk dosa kepada anak-anak dan istri. Kesalahan-kesalahan itu yang masih selalu saya upayakan-upayakan perbaikannya. Mendengar part lagu itu saya jadi ngeh untuk fokus saja kepada perbaikan-perbaikan. Meski hasil remidi itu menurut orang-orang tak akan menjadi 100 nilai. Kalau dapat nilai di bawah 75 begitu remidi dengan hasil yang sempurna, hasilnya maksimal di angka 75. Tak bisa lebih. Bagi saya itu tak masalah. Karena yang penting kesungguhan berjuang melakukan perbaikan. Dulu nggak ada rumah, diupayakan ada rumah. Dulu saya lebih banyak marah, sekarang saya coba susun ulang kata marah menjadi ramah. Perlahan dan terus berjalan.
Simbah menjadi energi yang selalu terbarukan bagi saya untuk melakoni hidup. Nek nggagas rindu (yang kadang membuat perih ini) mungkin saya akan menjalani hidup dengan lungkrah tanpa arah. Namun bagaimana rindu itu menjadi sumbu menujuMu.
Saya kira Sebening Senja menjadi wakil rindu kita semua yang merasakan hal yang sama. Nek arep elek, males, gak niat, begitu eling senyum Simbah, dadi gemregah.
Maaf ini bukan review lagu ya pakdhe pakdhe Letto. Ini catatan biasa saja. Dari seorang laki-laki yang sedang memperbaiki kesalahan-kesalahan di dalam hidup sampai akhir hayatnya. Nuwun. Nuwun. Nuwun…