CakNun.com

Sebelum Segalanya Usai

Mukadimah Padhangmbulan edisi Januari 2025
Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 3 menit

Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran. (Q.S. Al-Ashr: 1-3)

Surat Al-Ashr merupakan salah satu surat pendek dalam Al-Qur’an yang sering dibaca karena kemudahannya dihafal. Namun, di balik ringkasnya, surat ini menyimpan makna mendalam tentang kehidupan manusia. Dengan pendekatan tadabbur kita tidak hanya membongkar makna pakem surat ini, tetapi juga merekonstruksi pemahaman yang relevan dengan tantangan kehidupan kita. Rekonstruksi diberangkatkan dari kata kunci dalam surat Al-Ashir. Pendekatan ini memungkinkan kita melihat Surat Al-Ashr sebagai seruan bagi perubahan individu dan sosial.

Kesempatan Terakhir

Waktu sering dianggap sebagai aliran yang bergerak linier, berjalan maju, dan terbatas. Apakah waktu adalah entitas yang pasif dan berlalu, ataukah ia juga aliran yang disediakan Allah bagi kita untuk mencipta? Dalam kerangka transformatif waktu menyediakan dirinya sebagai peluang untuk melakukan perubahan.

Waktu sore (al-‘Ashr) yang makna tekstualnya adalah saat matahari mulai terbenam—menjadi simbol bahwa setiap momen adalah kesempatan terakhir untuk bertindak sebelum semuanya usai. Setiap detik, setiap tarikan dan hembusan nafas, setiap detak jantung adalah kesempatan untuk melakukan perbaikan diri, menyelesaikan tantangan, dan mempersembahkan kemanfaatan.

Jadi, fakta bahwa waktu akan terus berlalu tidak dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai panggilan untuk menciptakan perbaikan dan kemanfaatan. Kita tidak hanya berada di dalam dan menghadapi waktu, tetapi juga menggunakannya sebagai peluang perubahan menuju kehidupan yang lebih bermakna.

Bangkit dan Terus Berjalan

Kerugian (al-Khusr) sering dipahami sebagai kondisi negatif yang mengancam manusia. Namun, kita dapat bertanya: apakah kerugian itu selalu buruk? Apakah kerugian selalu berkesan negatif? Dalam bingkai tadabbur kerugian dimaknai ulang sebagai dorongan untuk melakukan evaluasi diri. Ayat ini bukan hanya pernyataan pesimistis tentang nasib kita, tetapi juga refleksi mendalam yang mengajak kita menyadari kelemahan dan potensi (fadlilah) yang belum dioptimalkan.

Kerugian menjadi mekanisme pembelajaran: panggilan untuk bangkit dan bertransformasi. Alih-alih menyerah pada kerugian, kita diajak untuk menjadikannya sebagai momentum kebangkitan. Kerugian dapat menjadi titik awal perjalanan menuju keberhasilan, baik secara spiritual maupun sosial.

Daya Tahan Spiritual, Sosial, dan Mental

Keimanan juga sering dipahami sebagai keyakinan yang bersifat personal. Namun, perspektif tadabbur mempertanyakan apakah iman hanya terbatas pada keyakinan? Ataukah ia juga melibatkan tindakan yang berdampak pada kehidupan sosial? Iman tidak hanya menghubungkan manusia dengan Allah SWT, tetapi juga menjadi kekuatan untuk menciptakan perubahan sosial menuju kehidupan yang bermartabat.

Keimanan yang transformatif mendorong kita untuk bertindak dalam kerangka keadilan, kemanfaatan, dan solidaritas. Iman tidak lagi dipahami secara personal individualis, tetapi sebagai dasar untuk membangun masyarakat yang berorientasi pada nilai-nilai kemuliaan.

Untuk itu diperlukan amal saleh. Ia sering kali dimaknai sebagai tindakan ibadah dan ritual tertentu. Namun, apakah amal saleh hanya berlaku dalam lingkup ritual keagamaan saja? Ataukah ia juga mencakup kontribusi positif dalam masyarakat? Perspektif tadabbur menuntun kita bahwa amal saleh merupakan tindakan yang berdaya dan memberdayakan kehidupan sosial masyarakat.

Amal saleh tidak hanya berupa tindakan individual tetapi juga kolektif (berjamaah) yang mencakup inovasi sosial, pengentasan kemiskinan, pelestarian lingkungan, dan seterusnya. Amal saleh menjadi simbol dari upaya kita untuk merealisasikan iman yang memiliki dampak nyata dalam kehidupan. Setiap tindakan yang didasari iman harus memiliki dimensi kemanfaatan yang luas bagi individu, masyarakat, dan lingkungan.

Lalu, bagaimana memaknai kebenaran? Ia sering disajikan secara absolut sesuai tafsir yang baku. Kebenaran juga kerap mempertengkarkan manusia. Kebenaran melawan kebenaran. Namun mata pandang tadabbur mempertanyakan apakah kebenaran bersifat tunggal? Ataukah ia berlapis dan terus dapat dicari melalui dialog. Kita perlu memaknai ulang kebenaran—benere dewe dan benere wong akeh—sebagai proses rekonstruksi kolektif (berjamaah) yang melibatkan dialog, sinau bareng, dan pencarian yang tak berkesudahan untuk menghampiri cakrawala bener kang sejati.

Menasihati dalam kebenaran berarti membangun kesadaran bersama untuk mencapai keseimbangan, keadilan, dan harmoni sosial. Kebenaran tidak lagi menjadi monopoli individu atau kelompok tertentu, tetapi menjadi pencarian bersama yang melibatkan keterbukaan, kerendahan hati, dan keberanian untuk berubah.

Maka kita memerlukan kesabaran yang bertumpuk-tumpuk. Kesabaran sering kali dimaknai sebagai penerimaan pasif terhadap keadaan. Benarkah demikian? Apakah kesabaran hanya tentang sikap bertahan hidup, ataukah ia juga melibatkan tindakan aktif? Bagaimana jika kesabaran dimaknai sebagai ketahanan aktif untuk menghadapi tantangan dan memperjuangkan perubahan?

Kesabaran adalah daya tahan spiritual, sosial, dan mental untuk mengatasi hambatan menuju kehidupan yang lebih baik. Ia bukan hanya berarti menunggu, tetapi juga bertindak dengan penuh ketekunan dan keteguhan hati. Kesabaran, dengan demikian, menjadi elemen penting sekaligus ekspresi keimanan dan amal saleh yang diaktualisasikan dalam proses perubahan, baik pada level individu maupun masyarakat.

Bagaimana pengalaman saya, Anda, dan jamaah saat berinteraksi dengan surat Al-‘Ashr? Kita berbagi pengalaman melalui Sinau Bareng di Majelis Masyarakat Maiyah Padhangmbulan, Selasa, 14 Januari 2025, pukul 20.00 WIB di Mentoro Sumobito Jombang.

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version