CakNun.com

Puisi Puasa: Menjernihkan Hati, Menjaga Asa

Kenduri Cinta Edisi 254, 14 Maret 2025
Kenduri Cinta
Waktu baca ± 13 menit
Dok. Kenduri Cinta

Puisi, Puasa, dan Keindahan

Meski acara baru dimulai beberapa jam lagi, jamaah sudah mulai berdatangan ke Taman Ismail Marzuki sejak pukul 18.00. Hujan deras siang itu meninggalkan udara sejuk, membuat suasana ngabuburit bagi beberapa jamaah dalam lingkar kecil di berbagai sudut Taman Ismail Marzuki terasa menyegarkan.

Menjelang pembukaan, hangatnya kebersamaan semakin terasa. Jamaah mulai merapat ke area panggung dan beberapa penggiat mulai naik panggung, seperti tradisi yang selalu menjadi bagian integral dari setiap edisi Kenduri Cinta, forum diawali dengan pembacaan sholawat. Hari itu memang forum dibuka sedikit lebih malam dari biasanya, untuk menyesuaikan dengan jamaah tarawih di Masjid Amir Hamzah — yang terletak di sebelah Teater Besar, lokasi Kenduri Cinta malam itu.

Dalam perjalanan Maiyah, Mbah Nun tak lepas dari puisi dan puasa. Beliau konsisten menulis puisi dan mendalami puasa sebagai manifestasi nilai spiritual dalam kehidupan. Dinamika Maiyah sering disebut sebagai puisi — ekspresi keindahan dan penciptaan makna. Mbah Nun juga tetap sederhana tanpa atribut formal seperti gelar sastrawan, menteri, atau kiai.

Kenduri Cinta edisi ke-254 kali ini mengangkat tema Puisi Puasa. Forum Reboan membahas puasa selama tiga minggu dari dimensi spiritual hingga refleksi personal. Proses penentuan judul untuk tema-tema Kenduri Cinta sering memakan waktu cukup panjang. Ada semacam “puasa” dalam menetapkan judul, di mana ide-ide perlu dikaji ulang, direnungkan, dan dipertimbangkan secara matang agar mampu mencerminkan esensi pembahasan. Mizani mengungkapkan bahwa puasa sering dipahami secara sederhana — hanya sebagai pergeseran jam makan. Apakah Allah meminta hamba-Nya berpuasa semata-mata karena itu? Pertanyaan ini menjadi pijakan awal diskusi malam itu.

Karim memulai diskusi dengan bertanya, “Adakah di antara kita yang seumur hidupnya tidak pernah membaca puisi?” Pertanyaan ini menggugah kenangan lama. Ketika ditanyakan lebih spesifik, “Siapa yang dalam satu minggu ini membaca atau menulis puisi?” banyak jamaah mengangkat tangan. Puisi ternyata memiliki tempat penting dalam kehidupan sehari-hari.

Secara etimologi, puisi berasal dari kata “to create”. Sementara keindahan, yang sering dikaitkan dengan puisi, adalah output dari puisi. Ketika kita serius mempelajari puisi, kita akan belajar untuk menciptakan sesuatu dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Bahkan, kalaupun suatu saat kita diamanahi jabatan, pemahaman terhadap puisi ini akan membuat kita menghindari korupsi. Mengapa? Karena keindahan adalah output dari proses penciptaan.

Karim juga menyinggung buku Tuhan Pun Berpuasa karya Mbah Nun, yang menyimpan banyak refleksi tentang esensi puasa. Dalam satu bagian di buku itu, dijelaskan bahwa puasa memiliki dua dimensi yang sangat penting: cinta dan kebebasan dari hawa nafsu. Puasa mengajarkan kita untuk mencintai dengan cara menahan diri, serta membebaskan diri dari belenggu nafsu yang sering kali merusak hubungan antar manusia. Jika kita benar-benar memahami kedua dimensi ini, seharusnya kehidupan sosial hari ini bisa menjadi jauh lebih baik.

Dok. Kenduri Cinta

Ibadah, meski tidak dibutuhkan Allah karena Ia Maha Kaya, menjadi sarana bagi manusia untuk mendekat kepada-Nya. Pram menyinggung hadis tentang jihad terbesar, yakni menahan hawa nafsu. Dalam perspektif Jawa, nafsu terbagi menjadi empat: amarah, lawwamah, supiah, dan mutmainnah. Tujuan puasa adalah mengendalikan tiga nafsu pertama agar mencapai nafsu mutmainnah , yakni nafsu yang tenang dan dekat dengan Allah. Puasa melatih kita menghadapi godaan dan memperkuat kendali diri, sehingga kita lebih peka terhadap kehidupan sosial. Jika berhasil, puasa membuat kita mampu merasakan penderitaan orang lain dan berusaha meringankannya.

Pram melanjutkan diskusi dengan mengutip Surah Az-Dzariyat ayat 56 dan Surah Al-Baqarah ayat 30, yang menyebut bahwa manusia diciptakan sebagai Abdullah sekaligus Khalifatullah di bumi. Keduanya harus berjalan beriringan. Pram kemudian bertanya, “Kapan terakhir kali kita melakukan sesuatu yang kita sukai, sekaligus bermanfaat bagi orang lain?” Pertanyaan ini mengajak kita merefleksikan peran sebagai Abdullah dan Khalifatullah. Ketika keinginan pribadi selaras dengan kontribusi kepada sesama, barulah kedua peran itu dapat dijalankan dengan seimbang.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta, majelis ilmu, sumur spiritual, laboratorium sosial, basis gerakan politik bahkan universitas jalanan yang tidak pernah habis pembahasan SKS nya, kurikulum dan mata kuliahnya selalu bertambah, dosennya adalah alam semesta.
Bagikan:

Lainnya

Topik