Puasa Ramadan: Antara Keterpaksaan dan “Simulacra”


Jika diberi pilihan mungkin banyak dari kita lebih memilih untuk tidak berpuasa. Ini adalah respons yang manusiawi, mengingat naluri dasar manusia cenderung mencari kenyamanan dalam makanan dan kesenangan kuliner. Namun, keterpaksaan itu bukan berarti tanpa makna. Justru di dalamnya terdapat proses pembelajaran untuk tunduk dan patuh pada perintah Tuhan, hingga akhirnya keterpaksaan itu diolah menjadi keikhlasan. Ramadan menjadi ladang spiritual yang membawa cahaya kemuliaan.
Pesan ini pernah disampaikan oleh Mbah Nun beberapa tahun lalu. Argumentasi ini kembali muncul dan banyak beredar di media sosial menjelang Ramadan. Namun, apakah gagasan tentang keterpaksaan ini hanya sekadar wacana yang berulang setiap tahun? Ataukah ada perspektif lain untuk memaknainya lebih dalam?
Dalam dunia yang semakin dikuasai oleh simulacra—konsep yang dikembangkan oleh Jean Baudrillard—realitas sering kali tergantikan oleh representasinya. Apa yang kita anggap sebagai “realitas” sebenarnya hanyalah simulasi dari sesuatu yang telah kehilangan makna aslinya. Simbol menjadi lebih dominan daripada esensi.
Fenomena ini juga terjadi selama bulan Ramadan di era modern. Bulan yang seharusnya menjadi momentum pengendalian diri justru berubah menjadi ajang konsumsi besar-besaran. Iklan sirop bermunculan sebelum Ramadan tiba, pusat perbelanjaan menawarkan diskon besar-besaran, dan acara buka bersama menjadi tradisi sosial yang tidak terlewatkan. Semua ini menunjukkan pergeseran makna: Ramadan tidak lagi semata-mata soal refleksi spiritual, melainkan juga perayaan budaya yang dikendalikan oleh media dan industri.
Selain itu, praktik keagamaan selama Ramadan sering kali lebih dipengaruhi oleh kebiasaan sosial ketimbang kesadaran spiritual. Tradisi berbuka bersama, ibadah tarawih berjamaah, dan khataman Al-Quran menjadi ritual yang lebih diutamakan dibandingkan refleksi dan transformasi diri. Akibatnya, seseorang bisa merasa puas hanya dengan menjalankan ritual tanpa mengalami perubahan batin yang sesungguhnya.
Di tengah derasnya arus simulacra ini, argumentasi Mbah Nun tentang keterpaksaan puasa justru menjadi pengingat penting. Mengakui bahwa puasa terkadang dijalani dengan keterpaksaan adalah langkah awal untuk menyadari bahwa Ramadan bukan sekadar representasi yang dibentuk oleh simulacra sosial atau budaya, melainkan proses perjuangan spiritual. Puasa adalah bentuk latihan diri untuk tidak terjebak dalam arus representasi yang menyesatkan, meskipun latihan diri ini terasa berat.
Dalam pemahaman saya, Mbah Nun mengajak kita untuk melepaskan diri dari jebakan simbol sosial dan ekonomi. Kita perlu keluar dari lingkaran simulasi yang melahirkan hyperrealitas dan membebaskan diri dari ilusi tentang Ramadan yang telah dibentuk oleh kepentingan industri dan budaya populer.
Tantangan kita adalah mengembalikan Ramadan kepada makna aslinya—sebagai bulan refleksi, pengendalian diri, dan peningkatan kualitas iman. Kita harus mampu menembus lapisan-lapisan ilusi simulacra dan kembali kepada substansi Ramadan yang sesungguhnya.
Keterpaksaan yang awalnya terasa sebagai beban justru dapat menjadi pengingat bahwa puasa Ramadan bukan sekadar tradisi tahunan, melainkan jalan untuk melawan arus kapitalisme dan budaya konsumtif. Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga tentang menegakkan sikap bermartabat di tengah arus simulacra sosial, politik, ekonomi, dan agama yang ngendhas-ngendhasi kita.
Jombang, 28 Februari 2025