Otoritas Negara, Tafsir Intelektual, dan Tadabbur Orang Biasa
Al-Qur’an memiliki peran besar sebagai pedoman bagi umat Islam. Namun, cara kita memahami kitab suci ini tidak lepas dari siapa yang memiliki otoritas untuk menafsirkan teksnya. Relasi antara otoritas dan hasil penafsiran menjadi cerminan bagaimana kekuasaan dapat memengaruhi pemaknaan agama dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Tradisi Islam menunjukkan otoritas penafsiran Al-Qur’an sering kali berada di tangan para ulama, cendekiawan, atau lembaga keagamaan. Mereka dianggap memiliki keahlian mendalam tentang Al-Qur’an dan hadis, serta kemampuan memahami konteks sejarah, sosial, dan budaya yang melatarbelakangi teks tersebut. Mereka memiliki pengaruh besar dalam membimbing masyarakat untuk memahami dan menjalankan ajaran agama.
Namun, otoritas tidak hanya dimiliki oleh para ulama. Pemerintah dan negara juga sering kali terlibat dalam menentukan tafsir yang digunakan sebagai acuan hukum dan kebijakan publik. Beberapa negara bahkan memilih atau memformulasikan tafsir resmi yang dianggap paling sesuai dengan ideologi atau kepentingan politiknya. Tafsir tidak lagi hanya menjadi alat untuk memahami teks, tetapi juga menjadi instrumen kekuasaan yang berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.
Tafsir: Membebaskan atau Mengurung Teks?
Tafsir bukanlah sekadar menerjemahkan kata-kata dalam Al-Qur’an. Tafsir adalah proses dinamis yang melibatkan pemahaman mendalam terhadap konteks sejarah, bahasa, dan kebutuhan masyarakat. Ia bukan sesuatu yang kaku, melainkan berkembang seiring perubahan zaman. Namun, proses ini tidak sepenuhnya bebas dari tujuan dan kepentingan. Siapa yang memegang otoritas untuk menafsirkan sering kali memengaruhi bagaimana teks dipahami dan diwacanakan.
Contohnya, jika model tafsir diterima sebagai penafsiran resmi oleh otoritas tertentu, maka tafsir tersebut akan mendominasi cara berpikir masyarakat. Hal ini bisa membentuk pemahaman kolektif terhadap ajaran agama dan bahkan memengaruhi kebijakan sosial, budaya, dan politik. Tafsir yang didesakkan oleh pihak yang memiliki kuasa dapat menjadi alat untuk mengarahkan atau mengontrol perilaku masyarakat.
Ketika otoritas memiliki kendali atas tafsir, mereka dapat membentuk cara pandang masyarakat terhadap agama. Tafsir yang dipilih oleh otoritas bukan sekadar beroperasi pada lingkup teologis, tetapi menjadi alat untuk mengarahkan kebijakan sosial, budaya, bahkan politik. Oleh karena itu, penting untuk memahami bahwa proses penafsiran Al-Qur’an sering kali dipengaruhi oleh relasi kuasa yang ada di masyarakat.
Namun, ini bukan berarti bahwa semua tafsir bersifat manipulatif atau politis. Ada banyak tafsir yang lahir dari upaya tulus untuk memahami pesan-pesan mendalam Al-Qur’an dan relevansinya bagi kehidupan manusia. Tantangannya adalah bagaimana memastikan bahwa tafsir yang kita terima tidak hanya menyuarakan kepentingan pihak tertentu, tetapi benar-benar menggali nilai-nilai universal yang terkandung dalam teks tersebut.
Tadabbur Maiyah: Memaknai Teks dengan Kearifan
Dalam konteks kontestasi tafsir yang sering kali dipengaruhi oleh relasi otoritas, Tadabbur Maiyah hadir sebagai pendekatan alternatif. Upaya ini menekankan pada keterlibatan langsung individu atau kelompok dalam merenungkan makna Al-Qur’an secara mendalam, tanpa harus terikat pada relasi otoritas yang sering kali bersifat hierarkis. Tadabbur Maiyah mendorong setiap orang untuk membaca dan memahami Al-Qur’an dengan hati yang terbuka, sambil tetap menghormati tradisi keilmuan Islam yang telah ada.
Pendekatan ini tidak menolak kompetensi ulama atau lembaga keagamaan, tetapi lebih kepada mengembalikan teks kepada setiap individu sebagai subjek aktif yang berinteraksi dengan Al-Qur’an. Tadabbur Maiyah melihat Al-Qur’an sebagai teks yang hidup — yang maknanya terus berkembang seiring dengan perjalanan manusia memahami dirinya, masyarakatnya, dan Tuhannya.
Jadi, mari kita saling rendah hati. “Tadabur orang-orang biasa yang tidak terpelajar belum tentu kalah fungsional dalam peradaban zaman dibanding tafsir kaum terpelajar.” (Mbah Nun dalam “Kurikulum Hati”).
Jombang, 3 Januari 2025