Mengalami Lailatul Qadr Kapan Saja


Bulan Ramadan dan malam Lailatul Qadr adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ramadan datang setahun sekali, sementara Lailatul Qadr hadir dalam satu malam di bulan tersebut. Keistimewaan Lailatul Qadr senantiasa dinanti dan diburu.
Surat Al-Qadr ayat 4 menggambarkan momen ini dengan ungkapan yang mendalam: “Pada malam itu turunlah malaikat dan Roh dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.”
Namun, apakah kita harus memahami ayat ini sebatas peristiwa metafisik? Ataukah ada makna yang lebih mendalam yang dapat kita resapi dalam perjalanan spiritual, intelektual, dan sosial kita?
Tafsir tradisional memahami ayat ini sebagai malam ketika malaikat dan Roh (Jibril) turun membawa ketetapan takdir tahunan yang telah ditentukan oleh Allah. Namun, apakah “turunnya malaikat” (tanazzalul malaaikatu) harus selalu dipahami sebagai peristiwa tekstual, atau dapat dimaknai secara simbolik-substantif?
Siapa atau apa yang dimaksud dengan “Roh” (Ar-Ruuh)? Apakah ini hanya merujuk kepada Jibril, atau ada makna lain yang lebih esensial? Apa arti “min kulli amr” (sebab segala urusan)? Apakah ini tentang kepastian takdir, atau bisa juga berarti dinamika perubahan yang terus terjadi?
Kita tadabburi kata-kata kunci ini satu per satu. Bukankah kita pernah mengalami sesuatu yang sebelumnya terasa sulit tiba-tiba menjadi mudah dipahami? Pernahkah kita merasakan munculnya wawasan baru secara tiba-tiba? Atau menyaksikan cara pandang kita terhadap dunia berubah seketika?
Malaikat dalam ayat ini dapat dimaknai sebagai simbol inspirasi yang “tiba-tiba” turun mengantarkan ilham, wangsit, atau ilmu ke dalam kesadaran manusia. “Turunnya malaikat” tidak selalu peristiwa langit, tetapi juga peristiwa masuknya pemahaman mendalam yang mengubah hidup seseorang.
Momentum “tiba-tiba” itu bisa terjadi kapan saja — saat kita menemukan ide baru, menyadari kebenaran yang tersembunyi, atau mengalami pencerahan yang membawa kita lebih dekat kepada makna hidup yang sejati.
Bagaimana dengan “Roh” (ar-ruuhu fiiha)? Kata “Roh” dalam Al-Quran sering dikaitkan dengan Jibril, kehidupan, dan kesadaran. Dalam konteks ini, roh bisa diartikan lebih dari malaikat Jibril. Roh di sini bisa dimaknai sebagai spirit perubahan atau kekuatan tak kasat mata yang menggerakkan manusia menuju kebangkitan dan perbaikan.
Sejarah membuktikan bahwa perubahan peradaban dibangun ketika manusia mengalami “malam-malam pencerahan” — momen ketika kesadaran baru muncul dan membawa perubahan besar. Gerakan keadilan sosial, kebangkitan ilmu pengetahuan, revolusi pemikiran — semuanya lahir dari momen-momen ini. Roh dalam pengertian mendasar adalah dorongan tak terlihat yang menggerakkan manusia menuju transformasi.
Banyak yang memahami “min kulli amr” sebagai ketetapan takdir yang bersifat tetap dan tak tergoyahkan. Namun, bagaimana jika “min kulli amr” bukan hanya tentang kepastian takdir, tetapi juga tentang peluang membangun kehidupan yang lebih baik? Bagaimana jika “min kulli amr” bukan sekadar malam ketika keputusan Allah diturunkan, tetapi juga malam ketika manusia diberi kesempatan untuk mengubah jalan hidupnya?
Dengan perspektif ini “min kulli amr” bukan lagi tentang menerima takdir, tetapi juga tentang peluang membangun masa depan. Ini adalah momen ketika manusia memilih melakukan perubahan dalam hidupnya, membuka diri terhadap kebijaksanaan, dan menjadi bagian dari arus perubahan menuju kehidupan yang lebih bermartabat.
Jadi, Surat Al-Qadr ayat 4 tidak hanya berbicara tentang turunnya malaikat, tetapi juga tentang transformasi mendasar dalam kesadaran dan kehidupan manusia.
“Malaikat” bukan sekadar “makhluk langit,” tetapi juga wangsit, wawasan, inspirasi, dan kesadaran baru yang mengubah hidup. “Roh” bukan hanya Jibril, tetapi juga energi transformasi spiritual, intelektual, dan sosial yang membawa manusia menuju kesadaran baru. “Min kulli amr” bukan hanya tentang takdir yang sudah ditentukan, tetapi juga peluang bagi manusia untuk menjalani hidup yang lebih bermartabat.
Dengan pemahaman ini Lailatul Qadr bukan hanya “suatu malam” dalam bulan Ramadan. Ia bisa terjadi kapan saja dalam hidup kita. Setiap kali kita mengalami pencerahan yang mengubah jalan hidup kita, saat itu kita mengalami momentum Lailatul Qadr.
Setiap kali kita menerima “wahyu” dalam bentuk wangsit, inspirasi, ilmu, atau kesadaran baru, saat itu Lailatul Qadr turun. Setiap kali kita melakukan transformasi diri dan memperbaiki lingkungan di sekitar kita, saat itu malam yang lebih baik dari seribu bulan sedang terjadi.
Semua itu terjadi karena Lailatul Qadr membawa kita menuju cahaya yang lebih besar: Cahaya Maha Cahaya — cahaya yang menyala dalam hati dan pikiran kita, membimbing kita menuju kehidupan yang lebih bermartabat di hadapan Allah Swt.
Sejahteralah (malam) itu sampai terbit fajar.
Jombang, 13 Maret 2025