CakNun.com

Mbah Nun dan Talal Asad dalam Lintasan Hidup Kami

Lien Iffah Naf'atu Fina
Waktu baca ± 7 menit

Anugerah paling tak terduga dalam rumah tangga saya dan Mas Jamal (redaktur CakNun.com) melibatkan Mbah Nun.

Tahun 2015, tahun ke-4 pernikahan kami, saya diterima sebagai dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mas J akan harus pindah ke kota baru. Terus terang saya dirundung gelisah: Ia nanti akan bekerja apa? Siapa temannya? Mas J berencana akan membangun usaha entah apa. “Dipikir nanti”, katanya. Waktu itu, saya sedang S-2 yang kedua di Hartford Seminary, Amerika Serikat. Mas J menemani saya sejak tahun kedua (Januari 2014), meskipun ia harus tinggal dan bekerja di Philadelphia untuk mencukupi kebutuhan kami karena beasiswa saya yang kecil (diperkecil lagi jumlahnya karena perubahan kurs USD dari IDR 9,600 ke sekitar IDR 12,000), juga untuk membayar utang dari usaha sebelumnya yang harus gulung tikar.

Pada September tahun 2015 itu, ketika saya sudah kembali ke Jogja, Masjid komunitas Indonesia di Philadelphia (al-Falah) membuat acara penggalangan dana. Setahunan sebelumnya, Mas J sempat melontarkan ide untuk mendatangkan Mbah Nun ke Masjid al-Falah. Ketika rencana fundraising ini kemudian muncul pada musim panas tahun 2015, ide lama itu menemukan wadahnya. Takmir sepakat mengundang Mbah Nun dan Bu Via untuk membersamai acara tersebut. Mas J dan beberapa teman diberi tugas mengawal beliau berdua selama di sana. 

(Pertemuan pertama Mas J dengan Mbah Nun dan KiaiKanjeng (CNKK) terjadi pada tahun 1996, ketika ia mondok dan bersekolah di MTs PPMI Assalaam Solo. Itu membawanya sesekali ikut pengajian Padhangmbulan di Menturo ketika kemudian mondok di Ponpes Darul Ulum Jombang (1999-2002). Pada masa awal pernikahan yang saat itu cukup menantang bagi kami, utamanya pada tahun 2014–awal Mas J di AS, Mas J juga mengikuti pengajian Maiyah lewat YouTube sebagai zawiyah yang menguatkan batinnya. Maiyah sendiri bukan hal yang asing buat saya. Ketika kuliah di Jogja sejak tahun 2004, saya beberapa kali datang ke Mocopat Syafaat atau Maiyahan bersama teman-teman).

Selama mengikuti kegiatan Mbah Nun dan Bu Via di Philadelphia ini, Mas J juga terhubung dengan Cak Zakki, adik Mbah Nun sekaligus pimpinan Progress, manajemennya CNKK. Mas J bertugas sebagai penyuplai lokal berita, yang diolah oleh Mas Helmi Mustofa dan Mas Gandhie Tanjung (Allah yarhamhu), untuk ditayang di CakNun.com dan Kenduri Cinta. Menurut ceritanya, saat itu, Mbah Nun memang sempat bertanya ia akan pulang ke mana dan kapan. Ketika dijawab akan tinggal di Jogja dan pulang sebulanan lagi, Mbah Nun hanya pesan, “Nanti kabari Zakki ya kalau mau pulang”.

Mas J benar-benar mengabari Cak Zakki, mengikuti pesan Mbah Nun. Pada sebuah malam di penghujung Oktober 2015, Mas J mendarat di Bandara Adisucipto. Pukul 07.00 WIB besok paginya, Mbah Nun dan Bu Via menjemput ke kontrakan kami untuk sarapan soto di Kadipiro, lalu mengajak kami ke Rumah Maiyah yang lokasinya tak jauh untuk bertemu dengan beberapa tim Progress. Setelah beberapa waktu, ketika kami berbincang di Perpus EAN, Mbah Nun bertanya kepada kami, terutama meminta izin kepada saya sebagai istri Mas J: “Kalau misalnya Jamal saya minta bantu Progress bagaimana?”

Yā Allāh yā Rabbī yā Karīm, belum lama lalu, kami, lebih tepatnya saya (hehe), khawatir Mas J akan bekerja apa dan berteman dengan siapa di Jogja. Ternyata, Allah bukan hanya mengirimkan pekerjaan, tetapi juga saudara dan komunitas. Berkegiatan di Progress ini tanpa diangan, direncanakan, apalagi diminta. Istilahnya, it was not even in our wildest dream.

Baru belakangan kami tahu, Mbah Nun dan tim Progress memang sedang mempertimbangkan kebutuhan tambahan personel waktu itu. Alḥamdulillāh. Ini adalah ketidakterdugaan yang kami rasakan paling ajaib dalam sejarah rumah tangga kami, sekaligus menjadi pembuka kehidupan kami berdua di Jogja setelah lebih dari tiga tahun masing-masing tinggal di kota atau negara yang berbeda. Seiring perjalanan waktu, kami pun menyadari bahwa ini ternyata menjadi wasilah bagi banyak hal baik yang terjadi dalam hidup kami.

Dari keterlibatan Mas J di Maiyah, saya mengenal konsep tadabbur yang sering diwedarkan Mbah Nun. (Mulai tahun 2016 sampai 2018, hampir setiap hari Mbah Nun menulis 628 esai yang diterbitkan dengan tajuk “Daur” dalam CakNun.com, kemudian dicetak menjadi tujuh jilid buku. Banyak esai dalam Daur ini membahas tadabbur. Atau, mungkin lebih tepatnya, Daur secara keseluruhan adalah tadabbur Mbah Nun atas al-Qur’an).

Tak lama setelah Mas J bercerita tentang praktik tadabbur di Maiyah, pada akhir tahun 2016, ada call for papers untuk sebuah antologi buku yang “kebetulan” saya baca dari sebuah mailing list. Waktu itu, editornya membutuhkan satu naskah tambahan tentang bagaimana al-Qur’an hidup dalam komunitas Sufi. Abstrak yang saya kirimkan tentang tadabbur dan Maiyah diterima. Tulisan sederhana itu telah terbit dalam buku Communities of the Qur’an (2019). Tulisan yang serupa juga telah membawa saya ke Universitas Leiden, Belanda (2017).

Secara natural, menulis proposal atau rencana disertasi tentang tadabbur dan Maiyah menjadi satu-satunya ide paling mungkin yang saya punya dalam masa persiapan studi doktoral (2017-2018). Proposal itu, bersama catatan dalam biodata bahwa saya akan menerbitkan tulisan di sebuah antologi buku dan punya pengalaman akademik internasional, menjadi lantaran diterimanya saya di Freie University Berlin dan oleh satu professor di sebuah kampus lain di Jerman.

Proposal itu juga menjadi wasilah diterimanya saya di empat kampus di AS, hingga akhirnya berlabuh di Universitas Chicago (2019) setelah memperhatikan pertimbangan Mas J dan ibu. Selanjutnya, kuliah di UChicago menjadi wasilah petualangan kami berdua ke berbagai belahan dunia di atas peta maupun ke dalam diri.

Sebenarnya, sejak awal ada rasa kurang mantap dengan rencana menulis tentang Maiyah ini. Perjalanan studi juga mengarahkan bahwa yang lebih urgen saat ini adalah melakukan kajian tekstual. Pada akhirnya, disertasi saya memang bukan tentang Maiyah, meski masih membahas konsep yang direncanakan, tadabbur. Belakangan saya sadari, jangan-jangan, sebenarnya ini bukan persoalan kemantapan atau urgensi, melainkan bahwa maqām saya saat ini disuruh meresapi Maiyah sebagai sebuah “tradisi” dulu.

Memang, terutama setahunan terakhir, saya mulai menyadari resonansi gagasan/laku Mbah Nun dengan yang saya pelajari lewat wasilah perjalanan di UChicago. Pertemuan dengan Mas Irfan Afifi (Langgar.co) di Chicago dan Ann Arbor pada Maret 2024 lalu yang memantik kesadaran ini, dengan bulan Januari ini sebagai momen pembulatannya ketika saya tiba-tiba tergerak untuk mengkhatamkan Daur. Misalnya, Mbah Nun sangat jernih dan peka dalam melihat pergeseran, kondisi dan kerusakan khas yang dibawa dunia modern.

Tanpa bacaan ndakik-ndakik, berbekal pandangan dunia yang melanjutkan warisan dari leluhur kita, Mbah Nun adalah figur sangat langka di tanah air yang konsisten tidak nggumun (terkagum) dengan konsep-konsep modern seperti HAM, demokrasi, negara, kemajuan, modernisme, pembangunan, ketertinggalan, globalisasi, hak, kebebasan, kesetaraan, humanisme, religion, sekularisme, pluralisme, liberalisme, fundamentalisme, moderasi, radikalisme, terorisme dll. Mbah Nun justru mengajak untuk menggali, mendudukkan dan mempertanyakan semua itu. Ini bukan berarti Mbah Nun sama sekali anti perubahan; musik Gamelan KiaiKanjeng itu apa kalau bukan sebentuk adaptasi terhadap perubahan!

Mbah Nun hanya sadar dan paham adanya penjajahan lewat kata di dunia kita hari ini, penjajahan yang kebanyakan manusia tidak menyadarinya. Karenanya, Mbah Nun mendorong jamaah Maiyah untuk mendayagunakan potensi akal dan rohani mereka untuk secara jernih memahami lapisan-lapisan persoalan hari ini yang sangat kompleks. Sekali lagi, jangkar ajaran Mbah Nun jelas: tasawuf atau apalah itu namanya, sekumpulan ilmu peninggalan mbah-mbah kita.

Dalam kelindan kompleksitas persoalan hari ini yang jelas di luar kuasa manusia untuk mengatasinya, dan manusia memang tidak semestinya punya nafsu merasa bisa mengubah zaman, Mbah Nun mengajarkan bagaimana menyikapinya, bagaimana menjadi manusia yang berdaulat, untuk ndepe-ndepe kepada Allah memohon Dia mengguyurkan pemahaman, kasih-sayang dan keselamatan-Nya. Ini jangan dipahami sebagai gerak lari dari kenyataan, tetapi sebagai gerak berkesadaran. Masih banyak yang bisa diceritakan di sini, tapi dicukupkan dulu.

Proses pendidikan saya di UChicago, baik di dalam maupun di luar kelas, seakan menjadi rangkaian kurikulum yang menyiapkan saya memasuki dan ikut merasakan jagad kegelisahan dan penghayatan Mbah Nun ini. Saya belajar dua jalur sanad keilmuan di sini, yang ini bukan semata rencana atau pilihan saya, tetapi gambar yang terlihat sesuai dengan bagaimana saya telah diperjalankan sejauh ini.

Pertama, Asadian framework (Talal Asad) sebagaimana diriwayatkan oleh guru-guru saya Hussein Ali Agrama–murid langsung Asad, Alireza Doostdar dan Elham Mireshghi. Kedua, tasawuf sebagaimana diajarkan dan dihidupi oleh guru saya Yousef Casewit. Dua jalur ini, ketika dipersatukan, rasanya berirama dengan apa yang saya pahami tentang Mbah Nun di atas. Saya tidak berpretensi untuk mengatakan bahwa saya telah tuntas belajar. Justru sebaliknya, saya merasa baru memulai perjalanan.

Ini hanya untuk menggambarkan bagaimana saya di sini dididik sehingga pelan-pelan mengembangkan rasa dan gelombang untuk bisa menerima, meresapi, mengolah dan mengelaborasi apa yang diajarkan Mbah Nun dalam melihat dan menyikapi kondisi hari ini. What he has to say makes sense. Ilustrasi mudahnya, buku Daur Mbah Nun terasa seperti padatan, yang lebih utuh dan indah, dari kegelisahan sekaligus jawaban yang terbentuk selama saya di sini.

Tiba-tiba, dalam lamat-lamat lamunan saya, saya dibuat ingat pesan Mbah Nun ketika kami sowan pamit lima setengahan tahun yang lalu, yang kira-kira isinya begini: “Sampean tidak harus menjadi Cak Nur, Buya Syafi’i, atau Amien Rais, Mbak. Sampean temukan jalan sampean sendiri”. Bagaimana kalau ternyata jalan yang saya temukan itu, pada akhirnya, adalah jalan yang selama ini Jenengan ajarkan, Mbah?

Hati saya lukruh seketika ketika sampai kepada kesadaran terakhir ini. Dalam perencanaan saya yang terbaik sekalipun, tak mungkin saya mampu membuat skenario bahwa Mas J akan bertemu dengan Mbah Nun di Philadelphia tahun 2015, dan bahwa pertemuan itu akan turut menarik saya ke dalam pusaran permenungan intelektual dan spiritual yang ujungnya sejauh ini mengarah kepada ajaran dan laku hidup Mbah Nun itu sendiri. Lucunya–Tuhan memang suka ngajak bercanda, Dia harus memperjalankan saya jauh-jauh ke Chicago hanya untuk menemukan, kemudian menyadari, jalan itu. Mungkin supaya saya mengalami “proses otentik” saya sendiri.

Kalau kata Mas J, yang kuliah itu bukan hanya saya, dia juga. Kami memang punya banyak kegelisahan dan pertanyaan (hidup) yang senada—Mas J diwarnai oleh Mbah Nun, sementara saya oleh Asad, dan pemahaman saya yang masih terlampau tipis atas tradisi tasawuf. Karenanya, dalam selipan obrolan tak penting laiknya suami-istri yang lebih panjang, kami sering tukar pikiran. Saya mendengarkan refleksi dan pandangan Mas J. Demikian halnya, Mas J mendengarkan cerita saya pasca kuliah, baca, atau ketika ada permenungan tertentu. Hingga baru beberapa waktu ini, ia berujar: “Jangan-jangan bahwa obrolan kita terasa menyokong satu sama lain itu ya karena ada kesenandungan frekuensi antara renungan Mbah Nun dan Asad?”

Saya amini penakaran Mas J ini, terutama bahwa menurut pengalaman saya sendiri, memahami proyeknya Asad membantu menghadirkan getaran yang lebih dalam dan konkret atas rasa njarem yang pernah disampaikan Mbah Nun. Kok bisa demikian, ya karena rasa njarem ini juga menyebar halus dalam tulisan-tulisan Asad, seperti juga terasa dalam perbincangan ketika saya dan dua teman sowan kepadanya pada Desember 2024 lalu.

Asad menyediakan framework yang membantu saya melihat kondisi dunia modern dengan lebih apa adanya, menyelidiki asumsi-asumsinya, juga merunut cerita yang mengantarkan kita sampai di titik ini. Mbah Nun mendedahkan kondisi dunia modern ini, ditambah mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan, ḥikmah. Tiga paragraf terakhir ini adalah urusan yang perlu bertahun, kalau tidak berdekade, untuk bisa kami hayati dan uraikan.[]

*versi utuh dari tulisan ini telah diterbitkan di Langgar.co

Lainnya

Mbah Nun 1996

Mbah Nun 1996

“Okay siap-siap, mari ngene tak susul,” pesan balasan WA Mbah Nun masuk.

Jamal Jufree Ahmad
Jamal Jufree

Topik